Mendulang Suara 2009

Akibat 'Serangan Udara'

VIVAnews - BETAPA jenakanya Partai Demokrat. Di kota Jayapura, Papua, sejak bulan lalu, ada baliho bertulisan begini: “Partai Demokrat mendukung kader Partai Demokrat Barack Obama, menjadi Presiden Amerika Serikat”. Di tengah baliho, ada gambar wajah Obama tersenyum.

Tentu, itu bukan kampanye Partai Demokrat dari Amerika Serikat. Di sebelah Obama, ada gambar Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri Partai Demokrat asli Indonesia. Lalu, ada pula Lukas Enembe, politikus lokal, pimpinan partai itu di  Papua.

“Itu ide dari saya,” ujar Henok Ibo, Wakil Ketua Demokrat Puncak Jaya, dan juga wakil bupati di daerah itu, Kamis, 20 Nov. 2008. Lantas, apa alasan memacak baliho di Jalan Sentani, Jayapura itu? “Di Amerika, Obama diusung dari Demokrat,” kata Ibo. Dan di Indonesia, ujar dia, toh juga ada Partai Demokrat.

Tapi, di Papua, Demokrat bukan partai terbesar. Pada pemilu 2004, partai itu cuma menyabet tiga dari 56 kursi di parlemen daerah. Jadi, Ibo berharap ketenaran Obama di Amerika bisa menular ke Papua. “Orang Papua suka tokoh. Mereka suka Obama”, kata Ibo. Di Indonesia, tokoh andalan Demokrat seperti halnya Obama itu, jelaslah Susilo Bambang Yudhoyono.

Sejak maju berlaga di pemilu 2004, Demokrat seperti mengekor kesohoran Yudhoyono, yang kerap disapa SBY itu. “SBY dan Demokrat seperti dua sisi mata uang,” ujar Ahmad Mubarok, Wakil Ketua Partai Demokrat di Jakarta, Kamis, 21 Nov. 2008 lalu. 

Pada pemilu langsung presiden 2004, Yudhoyono menang. Partai Demokrat meraup suara 7 persen. Awalnya, banyak yang pesimis, partai itu bisa mencorong lagi. Tapi, hasil pengamatan Lembaga Survei Indonesia (LSI), pertengahan November lalu, menyuguhkan data mengejutkan.

Kesaksian Warga, Gempa Garut Dirasakan Besar dan Terdengar Rumah Gemeretak dan Kaca Bergetar

Menurut temuan lembaga itu, jika pemilu diadakan saat ini juga, Partai Demokrat menyapu suara 16,8 persen. Angka itu di atas Golkar, juara pada pemilu 2004. Partai beringin itu hanya mendapat 15,9 persen. Survei dilakukan LSI atas 2.197 responden, dari 26 Oktober-5 November 2008. Tingkat kesalahan, kata lembaga itu, kira-kira 2,2 persen.

Meroketnya suara Demokrat, menurut LSI, adalah berbanding lurus naiknya ketenaran SBY. Riset lembaga itu menemukan tingkat kepuasan publik atas pemerintahan Yudhoyono bertambah.

Padahal, pada riset dari lembaga sama Juni lalu, kinerja pemerintahan SBY merosot pada angka 25 persen. Pada bulan itu, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Tapi, pada November ini, mendadak publik puas. Angka kepuasan buat SBY melenting sampai 63 persen.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, tak membantah kaitan erat antara SBY dan Partai Demokrat. Dia berkata, jika popularitas Presiden Yudhoyono naik, maka peringkat Demokrat ikut terkerek. Begitu juga sebaliknya. Bila popularitas Yudhoyono turun, rating Demokrat pun anjlok. “Jadi konsisten,” katanya.

Selain soal naiknya bahan bakar minyak, kata Mubarok, ada pula dugaan keterlibatan Aulia Pohan dalam korupsi dana Bank Indonesia. Aulia Pohan adalah besan Yudhoyono.

Banyak yang ragu, apakah presiden bisa tegas dengan kasus menimpa besannya itu. Hasilnya, pada Juni itu, popularitas Yudhoyono melorot di bawah Megawati Sukarnoputri. Calon presiden dari PDI Perjuangan itu berjaya dengan 30 persen suara.

Popularitas Yudhoyono kembali naik, justru setelah Aulia Pohan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada September, angkanya 32 persen. Dua bulan kemudian, melesat jadi 38 persen. Megawati, saingan terpenting Yudhoyono, merosot dari 30 persen, menjadi 18.

Tak hanya itu pengaruhnya. LSI juga menemukan fakta, sekitar 10,8 responden menggangap Partai Demokrat partai terbersih dari korupsi. Sementara Partai Keadilan Sejahtera, hanya mendapat 9 persen. Inilah kekalahan pertama Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai bercitra bersih sejak Pemilu 2004.

Selain kinerja Yudhoyono sebagai presiden, kata Mubarok, ada juga resep lain. “Kita mulai dari serangan udara,” ujarnya. Maksudnya, ‘serangan udara’ adalah serbuan iklan di media massa, dari televisi sampai koran dan majalah. “Setelah itu baru kita mulai kunjungan ke basis-basis”. 



Taktik ‘serangan udara’ itu rupanya ditiru Partai Gerakan Indonesia Raya, atau Gerindra. Partai ini menjagokan bekas Panglima Kostrad Mayjen (Purn) Prabowo Subianto ini sebagai Calon Presiden RI. Mereka seperti menapak tilas keberhasilan Demokrat.

Sejak disahkan pada April lalu, Gerindra terus melaju. Ketua Umumnya, Prof. Dr. Suhardi, ahli kehutanan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dia terkenal bersahaja, dan kerap naik sepeda onthel ke kampus. Suhardi mengaku partai baru ini berkembang cepat akibat rajin beriklan di media.

Kantor partai itu terletak di kawasan perumahan Jalan Brawijaya IX No.1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ada lima mobil terparkir di halaman, saat VIVAnews berkunjung ke sana, Kamis 20 Nov. 2008. Pada setiap kaca belakang mobil itu tertempel gambar Prabowo Subianto. Tentu, ada garuda, lambang Gerindra. Dan, tak lupa, seekor macan.

Aksi Mulia Prajurit Wing Komando I Kopasgat Sentuh Warga Kampung Jatiwaringin Pondok Gede

Satu kalimat tampaknya mau menjelaskan arti gambar macan itu: “Kembalikan Indonesia Menjadi Macan Asia Bersama Prabowo Subianto.” Pada pemilu 2004 lalu, Prabowo rajin tampil di televisi menjelang pemilu. Iklannya terkenal karena menonjolkan macan mengaum.

Partai Gerindra menyimpulkan Indonesia sedang krisis luar biasa. “Pangan kita terlalu mahal,” ujar Suhardi. Dia menyebut energi makin langka dan mengancam bangsa, hutan gundul, dan  debit mata air kian turun. “Saya usul ke Prabowo, mengubah bangsa ini harus pakai partai”.

Suhardi bertemu Prabowo tiga tahun silam. Mereka aktif di Himpunan Keluarga Tani Indonesia. Dari situlah, gagasan mendirikan partai mulai bergulir. Bagi Suhardi, partai adalah alat mewujudkan kesejahteraan petani. Prabowo setuju, dan Suhardi pun didapuk menjadi menjadi Ketua Umum Gerindra.

Ijeck dan Bobby Nasution Bertemu di Jakarta Bahas Pilkada Sumut 2024, Ini Hasilnya

Sejak itu, Gerindra melesat. Kecepatannya mengagumkan. Partai itu, misalnya, memenuhi syarat administrasi partai baru hanya dalam tiga pekan. Kini, Gerindra punya 473 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan 33 Dewan Pimpinan Daerah (DPD).

Iklannya pun mulai gencar di televisi. Sosok Prabowo muncul dengan profil kehidupan petani. Tentu, ada juga program Gerindra untuk pedagang kecil dan nelayan di layar kaca. Pendeknya, Gerindra terkesan partai merakyat. Satu identitas, yang secara tradisional, menjadi citra partai nasionalis seperti PDI Perjuangan.

Mungkin itu sebabnya, tokoh PDI Perjuangan ragu dengan propaganda Gerindra itu. “Petani itu milik PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Nahdlatul Ulama (NU),” ujar Taufiq Kiemas, tokoh PDI Perjuangan, pertengahan bulan lalu di Megawati Istitute, Jakarta Pusat. Kata Taufiq, petani secara historis dekat dengan PNI dan NU.

Pada masa orde baru, PNI lalu melebur bersama sejumlah partai lain menjadi Partai Demokrasi Indonesia.  Jadi, petani adalah basis kultural dua unsur partai itu. Sulit, kata Taufiq, kekuatan lain bisa masuk ke petani. “Ibaratnya, PNI itu kejawen atau kuda lumpingnya, dan NU itu doanya," kata Taufiq tertawa.

Tapi, suka tak suka, dengan ‘serangan udara’, Prabowo Subianto menembus jajaran empat besar calon presiden pemilu nanti. Hasil survey LSI mencatat Prabowo menggondol 6 persen suara, persis setelah Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang dapat 9 persen. Sementara, Presiden Yudhoyono mangkal di papan teratas (38 persen), disusul Megawati (18), Wiranto (4). Tokoh lain seperti Amien Rais, Jusuf Kalla, dan Akbar Tanjung, masing-masing kebagian 2%.

Suara Partai Gerindra juga ikut terdongkrak. Menurut LSI, partai itu meraih 3,7 persen dari 1.249 responden. Artinya, Gerindra bercokol pada urutan enam besar. Itu artinya melewati posisi partai lama seperti Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Tapi, partai itu toh perlu mengurus jaringan anak cabang. Biayanya juga tak kecil. “Hitung saja harga sewa kantor antara Rp 10-Rp 20 juta,” ujarnya. Ada 473 cabang dan 33 pengurus daerah yang butuh dana sewa kantor.

Biaya itu, kata Suhardi, didrop langsung  dari kantor pusat.  Bila pukul rata sewa kontrakan rumah untuk sekretariat partai Rp 15 juta, maka Prabowo harus merogoh kocek  Rp 7,59 miliar. Belum lagi iklan politik partai itu yang cukup deras sejak Februari hingga sekarang.

Berapa ongkos iklan Gerindra? Suhardi mengaku tak tahu. Kata dia, urusan iklan, Prabowo langsung turun tangan. Soal sumber dana pun, Suhardi tak tahu banyak. “Yang jelas, dana itu berasal dari Prabowo, Hasyim, dan keluarga besar Djojohadikusumo.”

Yoki

Menggenggam Kilau Emas, Kisah Inspiratif Yoki Hardian Tenggara

Dengan fokus pada kualitas emas dan kepercayaan konsumen, Yoki optimis dapat terus bersaing dan berkembang di pasar yang dinamis dan terus berubah.

img_title
VIVA.co.id
28 April 2024