VIVAnews - Bank Indonesia memutuskan tetap mempertahankan BI rate di level 9,5 persen.
Keputusan tersebut diambil dalam rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia yang digelar Kamis 6 November 2008. Demikian disampaikan Gubernur BI Boediono di Gedung Depkeu, Jakarta. "Tetap, alasannya lihat rilis," kata Boediono.
Dalam siaran pers BI disampaikan, keputusan diambil setelah dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap perkembangan ekonomi dan keuangan, baik dalam negeri maupun luar negeri serta arah perkembangan laju inflasi.
Dalam menghadapi gejolak keuangan global yang berlanjut dan perlambatan ekonomi dunia yang semakin nyata, BI memandang penting untuk menjaga kebijakan moneter yang tetap, sehingga dapat mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya menjaga stabilitas moneter.
Di dalam negeri tekanan inflasi memang mulai mereda meski laju inflasi masih cukup tinggi, mencapai 11,77 persen. Dengan memperhitungkan faktor risiko serta tekanan inflasi yang masih akan timbul hingga akhir tahun, BI memperkirakan inflasi Indeks Harga Konsumen pada akhir tahun 2008 ada di kisaran 11,5-12-5 persen dan pada 2009 akan turun pada kisaran 6,5-7,5 persen.
Dari sisi nilai tukar, BI senantiasa melakukan kebijakan stabilisasi rupiah yang diarahkan pada upaya menghindari gejolak nilai tukar yang terlalu tajam.
BI telah menaikan suku bunga acuan sejak lima bulan terakhir (Mei sampai Oktober 2008) setelah sepanjang Januari-April 2008 stagnan di posisi 8 persen. Kenaikan ini dipicu krisis ekonomi global dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang membuat inflasi membumbung tinggi. BI berkepentingan menahan laju inflasi, sehingga pada Mei bank sentral memutuskan menaikkan BI rate menjadi 8,25 persen dan diikuti bulan-bulan selanjutnya.
Pada Juni posisi BI rate 8,50 persen, Juli sebesar 8,75 persen, Agustus dinaikkan menjadi 9 persen, September menjadi 9,25 persen dan Oktober 9,5 persen.