Komisi Kejaksaan Bukan Tukang Pos

Sumber :

VIVAnews - Dalam penegakan hukum, diakui atau tidak, kejaksaan punya posisi strategis. Dalam Undang-Undang Kejaksaan misalnya. Ditegaskan, bahwa lembaga ini berwenang melakukan penuntutan dan sebagai eksekutor putusan hakim.

Kejaksaan juga bertanggungjawab pada presiden. Posisi ini mengakibatkan kejaksaan  berada di titik kritis. Yakni dihadapkan pada pilihan apakah akan menegakan hukum tanpa mengindahkan pesan-pesan politik, atau, hanya melaksanakan tugasnya sebagai alat pemerintah.

Harus diakui, kejaksaan juga merupakan lembaga politik. Dia menentukan perkara-perkara apa yang akan dituntut di pengadilan. Namun, keputusan untuk menuntut atau tidak menuntut sebuah perkara pidana, juga bisa ditafsirkan sebagai tindakan tebang pilih.

Padahal, kejaksaan memiliki prioritas dalam menyelesaikan perkara pidana. Sebab,  layak tidaknya sebuah perkara dilimpahkan ke persidangan, merupakan bagian dari penegakan hukum pidana.

Maka, dilihat dari tugas dan kewenangannya, kejaksaan sesungguhnya memiliki kewenangan besar. Tak hanya menuntut, jaksa juga berwenang menyelidiki semua kasus tindak pidana. Termasuk kasus korupsi.



Sebagai lembaga dengan kewenangan besar, kejaksaan harus diawasi. Sesuai dengan Keputusan Presiden No 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan, terdapat Jaksa Agung Muda Pengawasan sebagai pengawas internal kejaksaan.

Salah satu fungsi pengawasan internal adalah mengusut dan memeriksa  laporan pengaduan atas  penyimpangan dan penyalahgunaan jabatan atau wewenang jaksa. Pengawasan internal juga berwenang mengusulkan penindakan terhadap pegawai kejaksaan yang terbukti melakukan perbuatan tercela, atau terbukti melakukan tindak pidana.

Akan tetapi, pelaksanaan pengawasan internal menimbulkan pertanyaan besar. Karena posisinya berada di bawah Jaksa Agung, banyak elemen masyarakat yang ragu.

Akibatnya, keputusan pengawasan internal mendapat penolakan publik. Sebab, masyarakat terlanjur tidak percaya. Bagi masyarakat, pemeriksaan internal lebih diwarnai semangat melindungi korps.

Dan, seiring transparansi dan demokratisasi, peran masyarakat tak bisa diabaikan. Termasuk hak untuk mengawasi jaksa. Karenanya, masyarakat dapat melakukan pengawasan secara horisontal terhadap kerja kejaksaan.

Apalagi, pengawasan masyarakat mempunyai tempat dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Adanya sistem sosial berupa pengawasan masyarakat, membuat sistem peradilan tidak dapat bekerja seenaknya sendiri. Pengawasan langsung tak bisa diabaikan.

Kejaksaan juga harus bekerja sesuai acuan perundang-undangan. Namun, lembaga ini harus rela membuka diri terhadap aspirasi masyarakat.

Pemerintah pun tak tinggal diam. Keinginan masyarakat mengontrol kejaksaan diakomodasi dengan membentuk Komisi Kejaksaan melalui Pasal 38 UU no 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.



Sebenarnya, tak ada perbedaan prinsip tugas pengawasan internal dengan Komisi Kejaksaan. Namun, berdasarkan pasal 12 ayat 2 Peraturan Presiden No  18,  terdapat ketentuan bahwa Komisi Kejaksaan dapat mengambil alih pemeriksaan pengawasan internal.

Pengambilalihan dilakukan jika aparat internal kejaksaan tidak menunjukan kesungguhan dalam pengawasan. Atau, hasil pemeriksaan internal tidak sesuai. Dan, terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal.

Berdasarkan pasal tersebut,  sesungguhnya ide pembentukan Komisi Kejaksaan adalah untuk meningkatkan kualitas kerja kejaksaan. Komisi Kejaksaan karenanya merupakan pengawasan eksternal.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Kejaksaan dibantu oleh sekretariat yang kedudukannya berada di lingkungan Kejaksaan Agung. Dan, secara fungsional, bertanggungjawab pada Komisi Kejaksaan.

Sejak dilantik oleh presiden pada 16 maret 2006, Komisi Kejaksaan telah melaksanakan tugas sesuai dengan wewenang yang dimiliki. Yakni memantau kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia di lingkungan kejaksaan. Hasil pemantauan itu telah dilaporkan pada presiden.

Dalam pantauannya ke seluruh kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri, Komisi Kejaksaan menemukan  sarana dan prasarana yang tidak memadai. Juga sarana transportasi yang minim, dan jabatan-jabatan yang kosong.



Komisi Kejaksaan selama ini bertugas menerima aduan masyarakat. Selama tahun 2006, ada 398 laporan. Setelah dikaji, sebanyak 204 surat diteruskan ke Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti.

Pada tahun 2007, laporan naik menjadi 435 buah. Sebanyak 227 laporan diteruskan. Sedangkan pada 2008, sebanyak 425 surat diterima Komisi Kejaksaan dan telah diteruskan sebanyak 251 surat.

Sepintas, tugas pokok dan fungsi Komisi Kejaksaan hanya menjadi tukang pos. Terutama untuk menerima laporan-laporan yang disampaikan masyarakat.

Akan tetapi, jika laporan pengaduan masyarakat diteruskan ke Jaksa Agung, Komisi Kejaksaan wajib mempertanyakan tindak lanjut penyelesaian.

Dalam waktu tertentu, jika tak direspon, Komisi Kejaksaan dapat meminta penjelasan tertulis. Bahkan, meminta rapat koordinasi.  Maka, Komisi Kejaksaan bukan sekedar tukang pos.

Disarikan dari makalah 'Eksistensi Komisi Kejaksaan dalam Negara Hukum yang Demokratis' oleh M Ali Zaidan, Komisioner Komisi Kejaksaan. Disampaikan dalam Diskusi bertema 'Refleksi dan Proyeksi Komisi-Komisi Negara', di Hotel Millenium, Jakarta, 22 Januari 2009.