Presiden Kalla: Seberapa Mungkin?

Sumber :

VIVAnews— BOLA itu menggelinding terus. Seperti kian tak tertahankan. Setelah mendeklarasikan kesiapannya untuk maju sebagai calon presiden Partai Golkar, Jusuf Kalla terus merangsek maju. Alih-alih memperlihatkan tanda-tanda akan “rujuk” dengan pasangannya saat ini, Presiden Yudhoyono, Kalla malah makin gesit bermanuver.
 
Tak tanggung-tanggung, Kamis, 12 Maret 2009, ia bertemu dengan Megawati Soekarnoputri, saingan utama Yudhoyono pada pemilihan presiden mendatang.
 
Pertemuan yang menyedot perhatian publik itu berlangsung siang hari di sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol 66, Menteng, Jakarta Pusat. Petinggi dua partai terbesar ini bertemu sambil bersantap siang bersama. Di meja utama, duduk Mega, Kalla, Ketua Dewan Penasehat Golkar Surya Paloh dan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP Taufiq Kiemas. Di meja yang lain duduk Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung; putri Mega, Puan Maharani; Wakil Ketua Umum Golkar, Agung Laksono; dan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Golkar Burhanuddin Napitupulu.
 
Lebih menarik lagi, acara ini tak sekadar berhenti dengan kongkow-kongkow politik. Di akhir pertemuan, Kalla dan Megawati meneken lima butir kesepakatan. Salah satu yang paling patut didiskusikan adalah kesepakatan mereka untuk “membangun pemerintahan yang kuat.”
 
Ini sinyal bahwa Kalla-Mega akan berduet di bawah payung koalisi Golkar-PDIP? Tentu belum dapat dipastikan. Dan masih sulit dibayangkan bakal terjadi.
 
Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, Rully Chairul Azwar, menjelaskan partainya belum memutuskan akan berkoalisi dengan partai mana. Menurutnya faktor penentu koalisi adalah paket calon presiden-wakil presiden. Jika hal ini tak terpenuhi, koalisi tentu jadi mustahil. Padahal, saat ini Mega dan Kalla sama-sama akan maju sebagai calon presiden. Karena itu, kata Rully, “Pertemuan Imam Bonjol ini baru taraf penjajakan awal.”

Senada dengan Rully, Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung pun mengatakan kesepakatan itu baru sebatas diarahkan untuk menurunkan ketegangan politik dan menawarkan stabilitas pemerintahan di periode mendatang. "Kalau di pemerintahan sekarang tidak ada Golkar, akan terjadi gejolak," kata Pramono, bersemangat.

Menarik untuk diikuti, forum ini akan terus bersambung. Petinggi Golkar dan PDIP sudah berencana menggelar sejumlah pertemuan lainnya. “Sabar saja. Akan ada kelanjutannya,” Mega menegaskan kepada wartawan.

Juga patut dicatat bahwa Kesepakatan Imam Bonjol bukan ujuk-ujuk terjadi. Bab pendahuluannya telah mulai ditulis sejak dua tahun lalu di Tokyo. Saat itu Surya Paloh dan Taufiq Kiemas bertemu dan lalu menggagas Koalisi Kebangsaan—dengan Golkar dan PDIP sebagai pilar utama. Saat itu, TK (begitu Taufiq biasa disapa) sudah gamblang menyatakan jika Golkar menjadi nomor satu dalam pemilu legislatif, maka calon PDIP cukup duduk di kursi RI-2. Begitu pula sebaliknya.
 

 
Para pengamat menilai koalisi Kalla-Mega masih terlalu dini untuk dipastikan. Arti strategis manuver ini harus lebih dilihat dalam konteks nasib duet SBY-JK di masa mendatang.
 
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, pengamat politik Eep Syaifullah Fatah melihat indikasi perceraian SBY-JK tidaklah sedramatis yang kini dikabarkan. Menurutnya, sebagai pasangan yang diprediksi banyak survey paling berpeluang menang, mereka akan kembali bersatu dalam pemilu mendatang.  Meski demikian, toh Eep mengakui situasi terakhir membuat komunikasi antar keduanya jadi amat bermasalah. "Dengan pernyataan Kalla beberapa saat terakhir, sangat sulit," katanya.
 
Lebih jauh dari Eep, pakar politik Bachtiar Effendi menilai pertemuan Mega-JK itu punya impak cukup signifikan untuk mengepung SBY dan Partai Demokrat. “SBY jadi merasa terkucilkan dan terkepung oleh dua kekuatan besar di Indonesia,” Bachtiar menganalisis.
 

 
Kalla memang sedang terus menggalang kekuatan. Tiap akhir pekan, ia sulit ditemui di kantornya.
 
Dia terus intensif mengkonsolidasikan mesin politik Golkar di daerah. Jumat hingga akhir pekan ini, dia bersafari ke empat daerah sekaligus: Aceh, Pekanbaru, Padang, dan Yogyakarta. Sebelumnya, dia terbang Sulawesi Selatan. Di sana, saat bertemu pimpinan Golkar setempat, Kalla disambut dengan spanduk dan teriakan: “JK for President.”
 
Di Jawa Barat, Kalla juga terus menegaskan sikapnya untuk menjadi orang nomor satu Republik. “Sebagai Ketua Umum, saya harus menjalankan amanat daerah yang menginginkan saya jadi presiden,” katanya, ”Apalagi yang pertama mengusulkan adalah Ketua Golkar Jawa Barat."
 
Pernyataan kesiapan Kalla maju sebagai calon presiden tak lepas dari desakan keras dari pengurus daerah Golkar. Usai Rapat Koordinasi Nasional Golkar pada Februari 2009 lalu, mayoritas pemimpin 33 DPD Golkar mendaulat sang Ketua Umum untuk maju tak gentar.
 
Belakangan, sokongan ini semakin mengkristal. Proses penjaringan internal calon presiden Golkar yang disebar ke daerah tampaknya akan menghasilkan kesimpulan yang sama. “Suara untuk Pak Jusuf Kalla yang terbanyak,” kata Agung Laksono. Menurut rencana hasil seleksi ini akan dibahas usai pemilu legislatif, dalam Rapat Pimpinan Nasional Khusus Golkar pada 23 April 2009. Di forum inilah calon presiden dan wakil presiden dari Golkar akan diputuskan.

Bahkan di Yogyakarta, Sabtu lalu, 14 Maret 2009, 28 pengurus DPD Golkar yang seperti tak sabar lagi, dengan suara bulat secara resmi mengusulkan Kalla sebagai satu-satunya calon presiden dari Beringin.


 
Ke luar Beringin, Kalla terus bermanuver membuka berbagai pintu koalisi. Dan gayung segera bersambut. Sejumlah partai melihat pernyataan kesiapan Kalla menjadi calon presiden bak pucuk dicinta ulam tiba. Mereka langsung menyambar kesempatan emas yang sebelumnya tertutup, di saat paket SBY-JK seperti tak tergoyahkan.
 
Kini muncul kabar, pencalonan Kalla ke kursi presiden akan ditopang Koalisi Empat Kaki, terdiri dari Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
 
Pada pekan terakhir Februari, Kalla telah bertemu dengan para petinggi PKS, termasuk Presiden PKS Tifatul Sembiring dan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Sembari berbalas pantun, Tifatul mengisyaratkan PKS berniat menggandengkan Kalla dengan Hidayat.
 
Sepekan sesudahnya, giliran Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang sowan ke kantor pusat Golkar di Jalan Anggrek Neli Murni, Jakarta. Di sana, Suryadharma bersepakat untuk melakukan kerjasama politik bersama Jusuf Kalla.
 
Pertemuan Golkar-PAN memang belum terjadi. Meski demikian, Sekretaris Jenderal PAN Zulkifli Hasan dengan penuh semangat telah menyatakan “partai matahari biru” menyambut gembira niat Kalla maju sebagai calon presiden. “Itu sudah sepantasnya,” ia menyatakan.
 
Meski tidak akan sekuat pada pemilu sebelumnya, gabungan suara keempat partai pada pemilu mendatang diprediksi akan menyediakan landasan yang memadai untuk Kalla berlaga di pemilu presiden. Ketentuan mensyaratkan seorang calon presiden harus didukung partai atau gabungan partai yang mengantungi sekurang-kurangnya 20 persen suara pemilu legislatif.
 
Menurut survei terakhir tanggal 9-20 Februari yang digelar empat lembaga sekaligus—CSIS, LP3ES, LIPI dan Puskapol UI—Golkar diramalkan akan meraih 14,27 persen, PKS 4,07 persen, PAN 2,91 persen, dan PPP 4,15 persen. Jadi, totalnya sekitar 25,4 persen—lebih dari cukup untuk mengusung Daeng Ucup, nama panggilan Kalla, masuk bursa presiden.
 

 
Jadi, Kalla akan terus melaju sendirian meninggalkan Yudhoyono?
 
Matematika survei pemilihan presiden mengindikasikan: mestinya tidak. Menurut hasil polling CSIS terakhir, jika terus bergandengan tangan, paket SBY-JK tak perlu susah payah berlaga di dua putaran pemilu untuk sampai ke Istana Negara kembali. Hanya dalam satu ronde, duet ini diproyeksi akan menyabet 51,1 persen.
 
Tapi kalau mereka bercerai, peluang keduanya akan sama-sama beresiko. Terkhusus buat Kalla yang kini terus berkutat di peringkat bawah hasil survei. Hingga akhir Februari 2009, untuk posisi presiden, Kalla cuma dipilih 1,9 persen dari 2.957 responden.
 
Wakil Sekjen Golkar Rully Chairul Azwar mewanti-wanti tekad Kalla untuk maju sebagai calon presiden pada akhirnya akan dibenturkan dengan realitas pada pemilu legislatif mendatang. Rully mengatakan, “Jika suara Golkar tidak signifikan, ya kami mau bicara apa?"
 
Tapi, who knows? Di dunia politik, dua tambah dua tak selalu sama dengan empat.
 
Coba dengar pernyataan Ketua DPP Golkar Burhanuddin Napitupulu berikut ini. Semula merupakan pendukung paket SBY-JK, kini Burhan malah hakulyakin Kalla tak bakal menjilat ludahnya kembali. “Saya tahu karakter orang Makassar. Kalau dia (Kalla) sudah bicara seperti itu (menyatakan siap jadi calon presiden), tidak akan dianulir.”