Tentang Operasi Penculikan Aktivis Tahun 1998

Sumber :

Meski sudah 11 tahun berlalu, namun tahun 1998 masih terus menyisakan kenangan kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.  Peristiwa 1998 tidak habis-habisnya diangkat ke berbagai buku, termasuk buku Sintong Panjaitan, "Perjalanan Seorang Prajurit: Para komando" yang ditulis oleh Hendro Subroto.

"Ternyata dalam melaksanakan tugasnya demi kesetiaan terhadap bangsa dan negara, mereka harus masuk penjara.  Padahal mereka secara taktis dan teknis tidak melakukan kesalahan dalam pelaksanaan tugasnya.  Mereka hanya prajurit yang melaksanakan perintah atasan secara profesional.  Mengapa TNI harus menghukum mereka?  Sintong merasakan bahwa peristiwa itu merupakan pengalaman terpahit dalam sejaran ABRI.  Ia mengharapkan agar hal itu jangan sampai terjadi lagi.  Peristiwa itu hendaknya menjadi yang pertama dan terakhir dalam sejarah Kopassus."

Demikianlah secuplik kisah Sintong Panjaitan yang diambil dari dua paragraf terakhir dalam sub-bab "Operasi Penculikan 1998" pada bukunya.  "Mereka" yang dimaksud Sintong tentu adalah Tim Mawar Kopassus.  Sintong bahkan menangis saat mendengar keputusan bahwa Tim Mawar dijatuhi hukuman penjara.

Sintong tampaknya mempunyai ikatan emosional yang sangat kuat dengan para anggota Tim Mawar.  Ia mengaku punya andil dalam mendidik mereka saat ia berada di Korps Baret Merah tahun 1964-1987.  Mereka yang dilatihnya antara lain Prabowo Subianto - mantan Danjen Kopassus yang diberhentikan dari dinas militer pasca peristiwa 1998, Luhut Pandjaitan, A.M. Hendropriyono, Agum Gumelar, Sutiyoso, Sjafrie Sjamsoeddin, Tarub, dan Muchdi Pr.

Menurut Sintong, dalam organisasi militer terdapat 2 macam tugas, yaitu tugas yang diperintahkan langsung dari atasan kepada bawahan, dan tugas atas inistiaf pribadi.  Dalam lingkungan ABRI, tindakan spontan sering diambil untuk menyelamatkan bangsa dan negara.  Namun hal itu harus dilakukan secara hierarkis sesuai prosedur militer yang berlaku.  Bila tidak, maka akan menimbulkan maslah di kemudian hari.  Hal inilah yang rupanya terjadi pada tahun 1998.

Tahun 1998 merupakan tahun krusial saat Indonesia mengalami peralihan kepemimpinan dan peralihan era, dari Orde Baru menuju Era Reformasi.  Tahun ini juga diwarnai dengan operasi intelijen berupa penculikan terhadap para aktivis prodemokrasi.  Karena peristiwa inilah Letjen TNi (Purn) Prabowo Subianto diadili oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP).  Ia dianggap bersalah karena tidak mengetahui kegiatan bawahannya yang dilakukan dalam wewenang komandonya.

Rupanya menjelang Pemilu 1998 dan Sidang Umum MPR 1998, Danjen Kopassus Mayjen TNI Prabowo memandang perlu untuk mengambil langkah preventif terhadap kegiatan kelompok radikal yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional.  Prabowo kemudian memberikan perintah lisan kepada Bambang Kristiono - Komandan Satgas Merpati - untuk mengumpulkan data tentang kegiatan kelompok radikal.

Mayor Bambang Kristiono kemudian segera membentuk Tim Mawar beranggotakan 10 orang perwira dan bintara dari Detasemen 81/Antiteror.  Tim yang bergerak secara rahasia dan undercover ini bertugas mengungkap adanya ancaman terhadap stabilitas nasional.

Kekhawatiran atas peningkatan kegiatan aktivis kelompok radikal, memicu dilakukannya penangkapan terhadap mereka.  Mereka yang ditangkap bukannya dicomot secara sembarangan, namun harus berjenis kelamin laki-laki, belum berkeluarga, belum terkenal, tapi mempunyai intensitas kegiatan yang menonjul.

Lebih lanjut, Sintong menuturkan bahwa Prabowo memang tidak memiliki wewenang operasional secara organisasi, namun ia melakukannya dengan pertimbangan moral demi keselamatan bangsa dan negara.

Operasi penculikan 1998 lantas menjadi runyam karena tidak pernah dilaporkan kepada KSAD Jenderal TNI Wiranto, maupun kepada panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung.  Hal ini juga diakui oleh Prabowo dalam sidang DKP - yang berujung pada pemecatan dirinya dari kemiliteran.

Walaupun begitu, Prabowo lolos dari jerat hukum, sementara seluruh anggota Tim Mawar dijatuhi hukuman pidana penjara.  Ketidakpuasan Sintong sangat terlihat di sini.  Ia menegaskan, meskipun Tim Mawar mengaku mendapat perintah dari Mayor Bambang Kristianto, seharusnya ditelusuri juga lebih jauh mengenai asal perintah yang sebenarnya.

"Jangan sampai anak buah kita sendiri yang melaksanakan perintah atasan secara legal, diadili," ujar Sintong menutup kisahnya di bab itu.