Hidup di Tengah Krisis Ekonomi Dunia

Sumber :

VIVAnews - Tahun 2009, merupakan tahun penuh tantangan dan ujian. Kini, dunia sedang di puncak gelombang krisis ekonomi terberat sejak Depresi 1929. Perlambatan ekonomi akan semakin nyata, khususnya pada semester pertama. Para pengelola kebijakan dan pelaku ekonomi pun sedang berpikir keras bagaimana bisa melewati masa sulit ini dengan selamat.

Krisis keuangan global yang muncul pada awal semester kedua 2007 ditandai dengan terungkapnya sejumlah bank dan lembaga keuangan di Amerika Serikat dan Inggris yang kesulitan keuangan. Aset-aset kredit perumahan yang berkualitas subprime mortgages atau sub-standar mulai macet.

Ternyata peristiwa itu hanya pucuk gunung es. Selanjutnya, eskalasi makin cepat, imbasnya makin luas dan dalam. Krisis kredit perumahan berkembang menjadi krisis global. Aliran kredit mampet karena pemodal lebih suka menyimpan tunai atau emas ketimbang memberi pinjaman. Lembaga keuangan di berbagai negara mengalami tekanan berat, bahkan sebagian bangkrut.

Pemerintah di banyak negara terpaksa melakukan bail out dan bank sentralnya memompakan likuiditas dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ironisnya, lembaga-lembaga keuangan tetap tertekan. "The financial sector is broken," kata Paul Volcker.

Pemerintah dan bank sentral banyak negara melakukan apapun, termasuk langkah tak konvensional untuk menyelamatkan keadaan. Untuk menghentikan proses spiral ke bawah - sektor keuangan macet hingga mengganggu sektor riil - otoritas moneter mengguyurkan likuiditas besar-besaran dan semua pemerintah meluncurkan paket stimulus.

Bahkan, banyak negara melakukan intervensi, menerapkan blanket guarantee  simpanan di bank, menjamin atau mengambilalih aset-aset bermasalah, menginjeksi modal bank, hingga mengakuisisinya.

*

Jika melihat tanda-tanda itu, situasi dan prospek ekonomi global memang suram. Namun, dengan melihat permasalahan ekonomi dunia secara obyektif dan apa adanya, kita bisa mengambil langkah-langkah agar bisa menjawab masalah ini.

Pada tingkat global, saya melihat titik terang. Di episentrum krisis, Amerika Serikat, ada harapan baru dengan adanya pemerintah baru dengan tim ekonomi baru yang berjanji segera mengambil aksi mendesak untuk mengatasi krisis. Koordinasi antar negara besar juga menguat.

Bagi Indonesia, imbas krisis tak bisa dihindari. Ketika di puncak krisis global yang ditandai bangkrutnya Lehman Brothers dan psikologi pasar domestik goncang pada November 2008, pemerintah terpaksa mengambilalih Bank Century. Perbankan Indonesia juga tak terhindar dari masalah produk derivatif, meski skalanya lebih kecil dibandingkan negara berkembang lain, apalagi negara maju.

Namun, di tengah situasi kurang menguntungkan, posisi Indonesia bukan yang terburuk dibanding negara lainnya. Postur makro ekonomi tidak terlalu jelek. Industri perbankan juga mantap. Indonesia malah beruntung karena exposure bank pada subprime mortgages minimal.

Ketika orang menganggap kita tertinggal mengintegrasikan sektor keuangan dengan jaringan keuangan global, ini justru menjadi blessing in disguise karena menyelamatkan kita dari dampak krisis lebih serius.

Karena itu, saya cenderung setuju dengan pandangan ini. Ini menjadi pelajaran bagi kita agar tidak terlalu semangat untuk maju atau ingin dianggap maju sebelum kita mengerti benar risiko-risiko yang bisa ditimbulkan dan sebelum kita siap dengan rambu-rambu untuk mengelolanya.



Kini, Indonesia perlu memposisikan diri agar menjadi negara berkembang pertama yang dapat mengambil manfaat dari kebangkitan keuangan global. Di sini, kuncinya adalah bagaimana membuat Indonesia dipandang sebagai tempat aman dan nyaman untuk bisnis dan berinvestasi. Investor harus yakin ekonomi makro dikelola dengan baik dan sustainable, serta perbankan tetap solid.

Pengalaman adalah guru terbaik. Berkaca dari krisis, satu pelajaran mendasar yang bisa dipetik adalah kembali ke khittah, back to basic. Sebab, krisis sekarang adalah konsekuensi perkembangan sektor keuangan yang lepas dari akarnya, yakni kegiatan ekonomi riil. Dalam satu dasawarsa ini, inovasi produk dan lembaga keuangan berkembang luar biasa. Ini dipermudah oleh revoluasi teknologi informasi dan liberalisasi keuangan global.

Di banyak negara, sektor keuangan menarik banyak orang karena jadi jalur cepat menjadi kaya. Mereka yang gesit, inovatif dan berani ambil risiko mendapat imbalan sepadan. Namun, produk keuangan yang makin variatif, canggih dan kompleks punya efek samping fatal, makin sulit menilai risikonya.

Instrumen keuangan makin lepas dari underlying transaction yang seharusnya melandasi. Bahkan, berkembang menjadi gelembung atau bubble. Karena dinamika internal, gelembungnya membesar hingga akhirnya pecah. Krisis pun terjadi.

Karena itu, ajakan kembali ke khittah berlaku bagi semua lembaga keuangan, khususnya perbankan. Fungsi utamanya adalah menjembatani pembiayaan kegiatan penyediaan barang dan jasa, yakni kegiatan nyata. Tapi, bank bisa bertindak lebih dari sekadar perantara, misalnya menambah likuiditas melalui penciptaan uang giral. Kegiatan ini berisiko, tetapi risiko harus dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab.

Bank bertugas membiayai kegiatan yang punya underlying transaction yang jelas dan harus dihitung risikonya. Bermain spekulatif bukan domain bankir. Bank harus menjauhi kegiatan yang mengandung unsur bubble atau menerapkan sistem pengelolaan risiko yang efektif.

Jangan lupa, krisis ini membuktikan konsep universal banking bukan model tahan krisis. Kita perlu kaji lagi konsep secara seksama. Kebijakan industri yang lebih maju harus diikuti dengan penyiapan rambu-rambu pengelolaan risiko yang mantap.

Saya melihat konsep narrow bank lebih dekat dengan khittah bank dan terbukti lebih tahan krisis. Apalagi, krisis saat ini dan sebelas tahun lalu menunjukkan bahwa ketahanan sektor perbankan merupakan benteng pertahanan utama negara terhadap badai keuangan.

Pelajaran lainnya adalah prinsip dasar pengelolaan makro ekonomi konvensional terbukti tetap relevan menghadapi badai. Negara yang mengawal indikator dasarnya seperti defisit anggaran, transaksi berjalan, rasio utang, cadangan devisa, inflasi, suku bunga, dan nilai tukar umumnya memiliki posisi lebih baik menghadapi krisis.

Namun, belajar dari krisis ini pula, kita perlu mengajukan sejumlah pertanyaan mendasar yang bisa menjadi pedoman memposisikan Indonesia di era globalisasi. Misalnya, bagaimana keseimbangan terbaik bagi ekonomi kita, antara pasar domestik dan ekspor, antara sektor keuangan dan riil, antara orientasi keluar dan ke dalam, antara pembiayaan dalam dan keluar negeri.

Analisis ini disarikan dari pidato Boediono, Gubernur BI,  pada pertemuan tahunan perbankan 2009 pada 30 Januari 2009 di gedung Bank Indonesia, Jakarta.