Tak Semua Muslim Teroris

Sumber :

VIVAnews - DIA selalu tampak jernih dan tenang, meski urusannya agak berat bagi seorang akademisi: pertahanan negara. Tapi, Prof Dr Juwono Sudarsono, 67 tahun, tampak matang sebagai Menteri Pertahanan. Mungkin karena dia sudah melayani lima Presiden RI, dengan empat kali menjadi menteri, dan sekali ditunjuk sebagai duta besar.

Juwono adalah salah satu tokoh sipil yang mendorong reformasi militer di Indonesia. Mantan guru besar di Universitas Indonesia itu kerap dikontak wartawan manakala  hubungan politik sipil-militer muncul kembali ke permukaan.

Awal bulan lalu, misalnya, ada kabar soal gerakan “Asal Bukan S”. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menyinggung isu itu. Akibatnya, spekulasi politik pun merebak. Disebut-sebut, ada sejumlah perwira militer menjegal Susilo Bambang Yudhyono kembali menjadi Presiden RI.

“Kalimat itu terpotong di media”, ujar Juwono menjelaskan. Lalu, benarkah netralitas politik TNI kini terancam? Wartawan VIVAnews Nezar Patria dan Amril Amarullah menemui Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat, dua pekan lalu.

Selain menyinggung peran militer pada masa reformasi, Juwono juga menjelaskan posisi Indonesia dalam kerjasama keamanan dengan Amerika dan Singapura.  Berikut petikan wawancara itu.

Menjelang Pemilu 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan ada sejumlah perwira membawa isu ‘Asal Bukan S’.  Masihkah ada problem netralitas TNI dalam politik?
 

Beliau mengatakan ada isu menganjurkan ‘Asal Bukan S' . Tapi saya yakin itu tidak benar.  Kata-kata itu diangkat cuma bagian awalnya saja, lalu jadi bulan-bulanan wartawan, pengamat dan DPR. Latar belakang ucapan itu persis lima tahun lalu.  Panglima TNI waktu itu, Jenderal Endriartono Sutarto menyatakan TNI harus netral.  UU TNI jelas menyebutkan tentara tidak boleh berpihak dan terlibat politik praktis. Sebelum Pak SBY dilantik sebagai Presiden dulu, saya dipanggil ke Cikeas, empat hari sebelum pelantikan. 

Dipanggil untuk tugas khusus?

Beliau berpesan pada saya melakukan dua hal penting, menjaga netralitas TNI, dan penertiban sistemik pengadaan Alutsista (alat utama sistem persenjataan) di Dephan dan Mabes TNI. Waktu itu, selama pemerintahan Bu Mega (Megawati Sukarnoputri), banyak sekali kasus penggelembungan, baik di Mabes TNI maupun Departemen Pertahanan.

Lalu soal gerakan ‘Asal Bukan S’, apa konteksnya?

Itu pengalaman pribadi SBY sebelumnya. Waktu itu, sebagai calon presiden pada Pemilu 2004 , sempat satu kali ada perorangan TNI dan satu perorangan Polisi yang mendesak beliau tidak  mengajukan diri sebagai calon presiden.  Jadi, pesannya jangan sampai hal itu terulang lagi. Dua aparat negara ini keduanya bersenjata. Satu polisi, satu TNI. Jangan sampai terseret atau menyeretkan diri oleh tokoh-tokoh partai politik. 

Hal lain yang diperbincangkan apa?

Beliau mengatakan, “Saya ingin mempelopori pesta politik yang cantik”.  Beliau ingin mendidik kita semua agar cara lama rekayasa, apakah halus, atau kasar, jangan terulang lagi pada Pemilu 2009.  SBY sendiri pernah dihalang-halangi aparat Pemda dan petugas polisi setempat waktu kunjungan (pada kampanye 2004).

Struktur teritorial TNI sering bergesekan dengan politik sipil.  Apakah ini membuka peluang bagi TNI bersikap tidak netral?

Tidak.  Binter (pembinaan teritorial)  itu kan warisan masa perjuangan.  Dulu ada tentara rakyat, tentara perjuangan, tentara nasional, dan baru tentara profesional.  Kita bukan menuju model profesionalisme tentara di Barat. Kembali ke barak itu kan untuk negara maju. Kalau di sini masyarakatnya belum mantap. Masih banyak kemiskinan, tingginya angka kematian, kesulitan akses air minum,  listrik belum merata, dan banyak anak belum bisa mendapatkan pendidikan.

Jadi, dalam soal strategi pertahanan, kemiskinan termasuk ancaman?

Ya, karena pendekatannya adalah kebutuhan dasar manusia. Survival bagi orang, yang pertama adalah kebutuhan biologis. Jangan karena suku atau agama tertentu saling cekcok, rebutan satu sama lain. Agar cekcok berkurang,  maka penuhi kebutuhan pokoknya.  Termasuk juga penghargaan dan perlindungan martabatnya.

Seberapa rawan soal kemungkinan cekcok itu?

Toleransi menjadi rawan,  terutama kalau ada persepsi persaingan jabatan, sumber daya alam, dan anggaran DPRD.  Misalnya di Ambon, Papua, dan Poso. Hal itu sepele. Tetapi yang sepele itu harus menjadi perhatian bagi (pemerintah) pusat. Bhineka Tunggal Ika itu hidup dalam kenyataan, bukan hanya dalam mulut. Bergaung betul in reality.

Anggaran pertahanan di APBN 2009 makin kecil.  Dengan dana terbatas, apa yang menjadi prioritas?

Kita tahu, dari angka makro sekitar Rp 6.000 triliun, APBN kita sekitar Rp 780 triliun. Angka kasarnya adalah 20 persen untuk Polkam,  40 persen perekonomian, dan 40 persen Kesra.  Mengapa? Karena ekonomi ini harus dibangun, infrastruktur, sekolah, dan jembatan. Layanan negara ini menjangkau sebanyak mungkin orang.  Seperti BOS, BLT, program-program santunan. Departemen Agama mendapatkan anggaran terbesar, karena menyantun program perdamaian pasca konflik. Jadi, 80 persen anggaran habis untuk infrastruktur umum. Begitu pentingnya program kesejahteraan rakyat  dan perekonomian itu, maka kita mengalah. Kementrian politik dan keamanan, departemen pertahanan dan TNI, hanya menerima Rp 33, 6 trilun.

Di tengah krisis ekonomi global, bagaimana mengelola strategi pertahanan kita?

Saya kira peran TNI sekarang mendukung aparat sipil, termasuk polisi. Jadi, semacam menjaga dan mengukur tingkat kehadiran aparat. Bagaimana yang pas, supaya orang-orang resah di lapangan ini tidak meledak ke tindakan kekerasan. Ini paling sulit. Sekarang diatasi oleh tingkat kapten dan letnan. Mereka ini orang-orang lapangan. Kita masih mengukur sampai dimana tingkat kehadiran polisi dan TNI itu pas menghadirkan keseganan. Misalnya bagi para pendemo. Sehingga mereka tidak berani lewat garis polisi.

Selama ini sudah ada standar kehadiran aparat keamanan itu?

Sekarang  tidak. Tetapi saya kira Panglima TNI dan Kapolri sudah sepakat  tidak lagi BKO atau on call, tetapi melekat dari polisi bahwa sewaktu-waktu tentara bisa di dipanggil.  Yang penting kita bisa menggelar kesepakatan aturan pelibatan informal. Itu bisa dicapai dan diprakarsai oleh masing-masing komandan di lapangan. 

Jadi, butuh kecakapan membaca keadaan di lapangan?

Ya, kapan menggunakan pentungan, gas air mata dan kapan tembakan peringatan. Tapi itu tidak mudah. Di negara-negara maju, kalau polisi sudah menggunakan garis polisi, para demonstran bisa menghormati. Itu karena kedua belah pihak cukup aman.  Kalau di sini aparatnya kurang sejahtera, masyarakatnya juga.  Jadi, sama-sama marah.

Jadi kalau polisi mengancam akan menggebuk masyarakat harus menggunakan indera cukup tinggi mengukur di lapangan. Intuisi dari komandan di lapangan. Ini tidak bisa diajarkan di Sesko atau buku-buku kepemimpinan. Harus didapatkan dari pengalaman.

Soal krisis ekonomi global, ada dampak ke pertahanan nasional?

Sepertinya sekarang  ada kecenderungan nasionalisme finansial. Misalnya, di Inggris. Sebagai anggota Uni Eropa, sebetulnya pemerintah Inggris harus membantu pekerja yang datang ke sana. Ini bisa kita pahami karena alasan politis. Para pemimpin harus paham soal ini. Ada kaitan antara globalisme, regionalisme, dengan nasionalisme. 

Soal pertahanan regional, perjanjian militer kita dengan Singapura, apa lanjutannya?

Itu sudah gagal.  Dari awal kita sandingkan perjanjian pertahanan (Defense Cooperation Agreement-DCA) dengan perjanjian ekstradisi.. Semula disepakati dan akan dibantu secara pararel. Kita sudah teken April 2007.  Rupanya pemerintah Singapura membatalkan, karena kalau ekstradisi dan pertahanan disandingkan, maka Singapura harus mau menangani kasus BLBI 97 sampai 2001. Waktu itu kita sampaikan bahwa otoritas moneter Singapura hanya melakukan ketentuan pada November 2002. Sedangkan kita maunya semua uang bermasalah, dari 1997 dan 2001,  ikut digugat secara hukum, dan bisa dikembalikan ke Indonesia. Singapura hidupnya dari uang jasa, baik panas maupun tidak panas. Jadi, mereka tidak mau. Akhirnya, keduanya batal.

Tak ada upaya pembicaraan lebih lanjut?


Sekarang kita tanpa DCA sudah bisa lebih baiklah. Jadi tiap angkatan, tiap matra ada kerjasama. Bedanya dulu mereka minta daerah latihan di Sumatera Selatan. Daerah Laguna kalau mereka latihan dengan Australia. Banyak yang menentang DCA, bukan karena DCA-nya, tapi mereka menentang ekstradisinya. Banyak orang Indonesia berkepentingan agar perjanjian ekstradisi jangan sampai disepakati. Mereka orang-orang bermasalah dengan BLBI, yang nanti bisa digugat baik uangnya maupun orangnya.

Angkatan Laut akan membangun pangkalan di Pulau Nipah. Sekarang fokus pertahanan kita di pulau terluar?

Sekarang penjurunya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Fredi Numberi. Ada juga Pak Joko Kirmanto. Dua menteri lain adalah Marie Pangestu, juga Sri Mulyani. Kita sedang hitung sekarang berapa biaya patut kita kerahkan membangun Nipah sebagai daerah yang akan kita manfaatkan.

Barangkali memetik biaya dari kapal yang membuang jangkar di situ, menunggu masuk ke Singapura. Selama ini daerah itu dipakai kapal-kapal parkir menunggu di sana tanpa retribusi. Itu sebenarnya bisa dimanfaatkan.

Kalau dengan Australia,  kerjasama masih soal ancaman terorisme?


Perjanjian kita terbaru adalah dalam kerangka Lombok Treaty, terkait persoalan keamanan. Salah satunya adalah kerjasama pelatihan antar angkatan bersenjata. Tetapi diutamakan sebenarnya imigrasi, polisi dan patroli bersama. Tapi kita harus hati-hati.

Mengapa?

Ada kalanya orang-orang Australia, Amerika dan Singapura maunya bantuan mereka diarahkan untuk mengatasi teroris beragama Islam. Kita mengatakan, kita memang negara berpenduduk muslim paling banyak.  Tetapi tidak semua orang Islam teroris kan. Jadi kalau mau membantu, beri bantuan teknis saja. Tapi kalau menangkap, menahan apalagi memproses secara hukum, itu harus di bawah kita secara legal. Jangan atas desakan Singapura atau Amerika. Jadi, kita harus lebih hati-hati. Kita tetap menentukan syarat-syarat utama dari penahanan, penangkapan, dan pengadilan.