Yang Kebetulan Hingga Punya Misi Besar

Sumber :

VIVAnews – PEMILU legislatif 2009 terasa berbeda. Kali ini Pemilu diwarnai dengan kian banyaknya pengusaha terjun sebagai calon anggota DPR. Mereka berasal dari berbagai sektor bisnis. Ada pengusaha jasa internet, pemilik butik, bos properti, pengusaha batu bara hingga konsultan.

Motivasi mereka masuk dunia politik macam-macam. Ada yang dicalonkan karena kebetulan, ada pula yang mempunyai misi besar. Karena itu, perjuangan menuju Senayan terus mereka geber. Merogoh kocek miliaran rupiah tak jadi soal, dan kalau perlu keluar, masuk kampung pun dilakoni.  Yang penting bisa lolos jadi anggota Dewan.

Berikut ini profil sebagian dari puluhan atau mungkin ratusan caleg yang berasal dari pengusaha.

PRITTA SATYANTI

Kepribadian dan jalan hidupnya seperti tidak jauh berbeda. Pritta Satyanti adalah sosok yang susah ditebak. Pengalaman hidupnya pun demikian, penuh dengan kejutan. Mulai dari pekerjaan, bisnis hingga terjun ke politik. “Perjalanan hidup saya penuh dengan kebetulan,” ujar dara kelahiran Jakarta,  29 Januari 1974 ini.

Perempuan muda berpenampilan trendy ini menceritakan kisahnya dari awal mula membangun bisnis pakaian hingga terjun ke dunia politik yang semula tak pernah dibayangkannya.

Pritta menuntaskan studinya di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid pada 1996. Satu tahun berselang dia bekerja di sebuah kantor swasta. Cukup lama Pritta menjadi merintis karir. Sampai tahun 2005.

Dia sempat beberapa kali keluar masuk perusahaan. Mulai dari PT Bukaka Teknik Utama, Bank Dunia hingga kebetulan diajak seorang kawan yang ditunjuk menjadi PT Direktur Jamsostek di era Presiden Megawati. Namun, gejolak di Jamsostek pada 2005 membuat Pritta memutuskan mundur. ''Jamsostek bukan tempat saya,'' kata wanita berparas ayu ini.

Hengkang dari Jamsostek, dia banting setir menekuni dunia bisnis yang sudah mulai dirintis sejak setahun sebelumnya.

Dia melanjutkan usaha butik pakaian yang diberi nama QQ di ITC Kuningan, Jakarta. Dalam bahasa Mandarin, Qiu berarti 9, angka yang dicintainya. Karenanya, harga blazer pun dibandrol dari filosofi angka 9. Misalnya, Rp 99 ribu atau Rp 54 ribu.  “Maksudnya, 5 ditambah 4 hasilnya 9,” kata alumnus Al-Azhar, Jakarta ini.

Lima tahun menggeluti bisnis butik, usaha terus berkembang. Jumlah karyawannya kini sudah tujuh orang. Soal omzet, Pritta tak mau buka kartu. “Semua berjalan serba tidak sengaja.”

Sedang asyik dengan butiknya, tiba-tiba pada 2006, seorang kawan mengajaknya bergabung ke partai politik. Tanpa banyak pikir, dia menyetujui ajakan kawan. Terjunlah Pritta ke dunia politik. Sebuah arena yang benar-benar baru bagi dirinya. 

Pritta terkejut lantaran karirnya di politik cepat melesat. Awalnya, dia dimandati menjadi wakil bendahara Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). Pada 2008, Pritta menjadi pelaksana harian Pimpinan Kolektif Nasional.

Kejutan datang lagi pada 2008. Tiba-tiba dia ditunjuk mewakili PDP sebagai calon legislatif DPR No 3, daerah pemilihan tiga yang meliputi Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu. “Ini aneh. Saya tidak tahu kenapa,'' katanya.

Dia hanya menebak kemungkinan penunjukkan dirinya terkait porsi perempuan di legislatif. Karena itu Pritta tidak terlalu ambisius. Dia tak membuat atribut atau berkeliling kampanye seperti digelar caleg lainnya. Bahkan, sampai saat ini, Pritta mengaku belum mengeluarkan duit untuk mendanai kampanye. ''Belum ada sepeser pun,'' ujarnya. ''Saya nggak mau buang garam ke laut.''

Pritta tahu diri. Pesaing di daerah pemilihan tiga Jakarta tergolong berat.  Ada Adang Daradjatun, Roy BB Janis, Ruyandi Hutasoit, Sylvia Sumarlin.  Namun, untuk pemilu 2014, dia mengaku bakal habis-habisan. “Saat itu mungkin saya sudah matang.”

TAN FU YONG

Mulyono Tanuwijaya (Tan Fu Yong) lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 15 Januari 1947. Ia memulai usaha utamanya di dunia real estate, sejak 1972. Bisnisnya  kemudian berkembang pesat karena saat itu Tan memiliki dua bapak angkat  berpengaruh di Makassar. Mereka adalah Mayjen AY Witono, Panglima Komando Wilayah Pertahanan Sulawesi 1972-1976. Ayah angkat lainnya adalah Mayjen Andi Matallata, tokoh berpengaruh di Sulawesi Selatan.

Bermula dari tanah 2,5 hektare di Makassar, kemudian terus berkembang hingga mencapai 140 hektare pada 1990. Ia membeli tanah tersebut Rp 8 miliar. Saat itu grup pengembang di bawah nama Multan Grup, mencapai puncak kejayaan di Makassar,

Pada 1988, Tan hijrah ke Jakarta untuk ekspansi bisnis. Enam tahun kemudian, bersama TNI AD, dia membangun gedung perkantoran delapan tingkat di Jalan Veteran No 4, Jakarta Pusat. Dengan sistem build operate transfer (BOT) selama 20 tahun, gedung itu selesai pada 1997. Tak kurang uang US$ 11 juta habis untuk membangun gedung itu.

Sibuk di Jakarta, tanah di Makassar tidak terurus. Tanah seluas 80 hektare di Tanjung Bunga malah bermasalah. Sertifikat miliknya ditandingi sertifikat lain. Akhirnya tanah yang sekarang bernilai Rp 800 miliar itu lepas dari tangannya.

Bak jatuh tertimpa tangga. Bisnis di Jakarta juga tersandung masalah. Gedung yang dibangun bersama TNI AD malah jadi sengketa hukum. TNI tak mau menyerahkan surat pemakaian gedung. TNI pun tak ingin Tan mengoperasikannya.

Saat berurusan di pengadilan, Tan menang di tingkat Pengadilan Negeri. Namun, di Mahkamah Agung, dia kalah. Dia kemudian mengajukan PK atas kasus itu karena telah merugi US$ 11 juta. Dia benar-benar merasa dizalimi dunia hukum.

Sejak itu, Tan berhasrat masuk dunia politik. Pada 2004, sebenarnya dia pernah maju menjadi calon legislatif DPR dari Partai Keadilan Persatuan Indonesia untuk daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Saat itu dia menghabiskan biaya hingga Rp 500 juta. Namun Tan gagal terpilih.

Belajar dari pengalaman Pemilu 2004, dia tak mau lagi mengendarai partai kecil. Maka, pada 2008, dia bertekad memilih tujuh partai besar yang lolos electoral threshold. Lantas, ia menjatuhkan pilihan pada Partai Amanat Nasional. Ia  menjadi Caleg DPR No 8, Daerah Pemilihan Tiga Jakarta Barat-Jakarta Utara. “Kalau terpilih saya ingin masuk Komisi III DPR, komisi hukum,” katanya.

Alasannya, dia ingin melawan kezaliman yang dialami saat berurusan dengan hukum. Menurut dia, ketidakpastian hukum telah membuat bisnisnya berantakan.

Jika terpilih, dia pun siap-siap mewariskan bisnis yang beroperasi di Jakarta, Surabaya dan Makassar kepada anaknya. Tujuannya, agar kelak tak terjadi benturan kepentingan.

BAMBANG SOESATYO

Empat kali gagal menembus tembok gedung Dewan Perwakilan Rakyat tidak membuat pengusaha Bambang Soesatyo patah arang. Pria berusia 47 tahun yang aktif di Partai Golkar ini maju kembali untuk kelima kalinya sebagai calon anggota legislatif.

Dunia politik sesungguhnya sudah digeluti ayah tujuh anak ini sejak masih belasan tahun. Saat itu ia sudah aktif organisasi bentukan Partai Golkar, AMPI dan kelompok induk organisasi partai berlambang beringin itu, Kosgoro. “Ayah saya TNI, dulu kan tentara anggota Golkar," kata Bambang saat ditemui VIVAnews di kantornya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

Pertama kali didapuk sebagai calon anggota dewan, Bambang masih 19 tahun. Ia disokong AMPI. Saat itu motivasinya hanya sekadar ingin belajar. "Nggak berharap memang, nomor urutnya saja 18," kata dia yang saat itu sudah mulai berbisnis.

Pada pencalonan kedua dengan nomor urut 8, saat Golkar di bawah pimpinan Harmoko, pecinta motor besar Harley Davidson ini sudah belajar. Sedangkan dua pencalonan lainnya saat partai dipimpin Akbar Tandjung. Ia sudah serius, namun belum beruntung. "Saya anggap ini bukan kegagalan," katanya.

Tidak heran jika pada pencalonan kelima ini, ia menerapkan sejumlah strategi jitu agar lolos mendulang suara di Daerah Pemilihan VII yang meliputi Purbalingga, Banjarnegara dan Kebumen. Dia termotivasi bisa menang di tiga daerah yang masih jauh tertinggal itu.

Agar meraih dukungan besar, pengusaha hutan dan batu bara ini tak sayang menggelontorkan uang miliaran rupiah untuk memasang iklan, baliho dan bendera bergambar dirinya. Sejak Oktober 2008, ia juga menyempatkan diri setiap minggu menyambangi ketiga daerah pemilihannya.

Sewaktu dicalonkan pada 2004 lalu, Direktur PT Kodeco Timber ini meraih dukungan 33 ribu suara. Dukungan itu kini menjadi modal awal karena ia membutuhkan sedikitnya 120 ribu suara untuk merebut kursi DPR. "Saya menyebar ribuan baliho," kata Ketua Komite Bidang Perdagangan Dalam Negeri Kadin Indonesia ini.

Sebanyak 4.000 baliho berbagai ukuran disebar. Ia juga menyebar 30.000 bendera bergambar dirinya dan partai, beriklan di radio dan koran lokal seperti Banyumas Pos dan Suara Merdeka. Di dua surat kabar itu ia memasang iklan di halaman satu dan 'menyewa' satu halaman yang memuat kegiatan sosialisasinya.

Cukup? Belum. Ia juga rajin ke luar masuk kampung hingga ke pelosok, khususnya di Banjarnegara, Jawa Tengah. Mengundang ibu-ibu pengajian juga rutin dijalaninya.

Strategi ini cukup jitu. Wajah dan aktivitasnya semakin dikenal masyarakat. "Malah ada ibu hamil yang berniat memberi nama anaknya seperti nama saya," kata Bambang sambil tertawa.

Bambang tak pelit mengungkapkan berapa dana digelontorkan. "Pokoknya saya siapkan Rp 3 miliar. Tidak lebih, kalau tidak dibatasi bahaya," katanya. Dari dana itu, sejak Oktober 2008 sampai Februari 2009 sudah terpakai Rp 1,56 miliar.

Untuk membantu petani di wilayah pemilihannya, dia sudah punya agenda. Dia ingin menjadi distributor kentang dan salak yang dihasilkan petani Purbalingga dan Banjarnegara. Ia akan menghidupkan pabrik pengalengan makanan yang terbengkalai. "Saya ingin meningkatkan penghasilan petani setempat," katanya.

Mahasiswa program S3 Ilmu Filsafat di Universitas Gajah Mada ini optimistis bakal mulus melaju ke senayan. Ia tidak khawatir 'meninggalkan' bisnisnya di bawah bendera Kodeco Timber dan Gali Gemilang Galindo (3G) beralih ke dunia politik.

Menurut dia, usahanya sudah ditangani orang-orang profesional. Sedikitnya 800 karyawan dan 600 buruh lepas bernaung di bawah perusahaannya. Mereka mengurusi 19 ribu hektare lahan hutan di Kalimantan Selatan dan 578 ribu hektare di Papua.


PUTU SUPADMA RUDANA

Lahir di Denpasar 23 April 1974, Putu Supadma Rudana, adalah pengusaha muda yang ikut pemilu 2009. Namanya tercantum sebagai calon legislatif (DPR-RI) dari Partai Demokrat nomor urut 10. Iklannya kini bertebaran di Bali. Profilnya juga terpampang di portal www.putusupadmarudana.com.

Sulung dari empat bersaudara ini adalah putra seorang tokoh di Bali, Nyoman Rudana. Keluarga Rudana terkenal sebagai pemilik galeri top di Bali. Dialah yang mendirikan Museum Rudana yang mengoleksi 500 lukisan.

Karena itu tak heran jika Putu Supadma berpendidikan bagus. Menyelesaikan pendidikan tinggi di Maryville University of St. Louis, Amerika, pada 1996. Setahun kemudian di universitas yang sama dia menyelesaikan program Master in Business Administration.

Besar di lingkungan seni, Supadma akhirnya juga mengembangkan bisnis ayahnya dengan lebih luas lagi. Pada 2000, dia mendirikan GRP (Grup Rudana dan Putra) Corporation. Di dalamnya ada GRP Art Incorporated (profit dan non profit) yang menjadi tempat bernaung Museum Rudana, Rudana Fine Art Gallery, Rudana Art Foundation, Genta Fine Art Gallery dan The Candi Fine Art Gallery.

Kemudian ada GRP Investment Enterprises, perusahaan yang bergerak di industri ritel bahan bakar minyak dan properti. Lalu, GRP Trading Company dan GRP Consulting. Selain itu, hampir semua aktifitasnya berada di wilayah seni.

Kendati baru setahun menjadi anggota Partai Demokrat, Supadma mengatakan sudah punya pengalaman berpolitik. Dia memang aktif berorganisasi. Supadma adalah salah seorang Ketua Himpunan Museum Bali. Dia juga wakil ketua Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi di Bali. "Memang di Demokrat skala politiknya lebih luas, saya ingin berada di wilayah itu," katanya.

Supadma mengaku tak mencari materi di parlemen. "Justru saya yang akan banyak mengorbankan materi. Saya yakin, ini sebuah pengabdian," katanya. Salah satu yang ingin diperjuangkan adalah nasib para seniman. "Mereka semua harus sejahtera. Kaya materi dan kaya batin," katanya. "Kalau semua kaya, kita akan dapat manfaatnya."

Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan memperjuangkan hak intelektual para seniman. Dan itu tak terbatas di sektor seni lukis. "Juga untuk karya intelektual lainnya," kata dia. "Di Amerika, segala hak intelektual sangat dihargai"


KEMAL AZIS STAMBOEL

Dia memegang posisi penting di sejumlah perusahaan. Itu mulai dari Presiden Direktur di  PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia, Country Leader di IBM Business Consulting Indonesia, Komisaris di Krakatau Steel, Merpati Airlines, dan PT Holcim.

Namun, jabatan itu mulai di lepas satu per satu. Sejak 2004, dia memutuskan berhenti dari dunia swasta. Dia memilih terjun ke arena publik. Ketika itu ia diundang pemerintah sebagai anggota dewan pengawas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh. Setahun kemudian, ia ditunjuk menjadi anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional.

Kini dia memilih akan bertarung di jalur politik dengan kendaraan Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS). “Saya harus mundur, aturannya seperti itu,” ujar Kemal kepada VIVAnews di Jakarta, Jumat, 6 Maret 2009.

Urusan bisnis, hampir semuanya telah ditinggalkan. Kalaupun ada, hanya sebagai konsultan yang sudah lama ditekuninya atau komisaris di perusahaan swasta, seperti Komisaris Holcim.  “Tentu tak bisa dilepas semua.”

Pria kelahiran Malang 17 Agustus 1949 tersebut menjadi calon anggota legislatif pada April ini. Kemal diusung partainya menjadi calon anggota DPR untuk Daerah Pemilihan Jawa Barat 11 yang membawahi Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Tasikmalaya.

Agar lolos sebagai caleg, dia pun mulai aktif memperkenalkan diri dan bersosialisasi ke masyarakat. Masuk kampung, keluar kampung pun dilakoninya.  “Baliho hanya sedikit, yang banyak cuma stiker-stiker,” ujarnya.

Dia berpendapat, bertemu dengan masyarakat lebih efektif dibandingkan dengan memasang baliho. Alasannya, masyarakat akan lebih ingat kalau pernah bertatap muka secara langsung.

Perjalanan jauh dari rumahnya di kawasan Jl. Bangka, Jakarta ke daerah Garut pun kini sudah menjadi kegiatan rutin. Padahal itu butuh waktu empat jam. Belum lagi dari Garut ke Tasikmalaya memerlukan waktu lima sampai enam jam perjalanan. Dari minggu ke minggu, ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Kemal bersyukur, PKS memiliki struktur organisasi rapi hingga tingkat RT. Karena itu, sangat mudah bagi caleg memperoleh dukungan dari masyarakat. Pengurus di tingkat RT yang mengatur pertemuan dengan warga. Itu biasa dilakukan di masjid atau mushola yang diikuti oleh 100 – 200 orang.

Dia juga memanfaatkan dokter PKS yang siap membantu memberi layanan kesehatan tanpa dibayar. Pola seperti ini, membuat Kemal tak perlu merogoh kocek besar. Dia hanya mengeluarkan duit untuk biaya perjalanan dan penginapan, serta baliho kecil. Apakah sampai 500 juta? “Tidaklah,” jawabnya.

Lantas apa yang dijanjikan bagi pemilihnya? Kemal menjawab, “Kepada simpatisan, kami paparkan program pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan membangun pertanian.”


SUKUR NABABAN

Lahir di Sumatera Barat 14 Oktober 1968, Sukur Nababan menghabiskan masa kecilnya keluar masuk hutan di pedalaman Tapanuli. Maklum, saat itu ayahnya tengah mendirikan sekolah di berbagai tempat di Tapanuli.

Dia lalu kuliah di jurusan Teknik Mesin Universitas Sumatra Utara. Setelah selesai kuliah, Nababan sempat berpindah-pindah tempat kerja. Ia sempat menghabiskan waktu 13 tahun sebagai General Manager sebuah perusahaan Penanaman Modal Asing. Tapi ia akhirnya memutuskan berhenti dan mulai berwiraswasta.

Ia mendirikan bisnis PT Melia Nature Indonesia, perusahaan yang memasarkan produk-produk kesehatan milik Mother Nature Health Products, sebuah perusahaan di Sidney, Australia.

Kini ia menjadi calon legislatif PDI Perjuangan Dapil Jabar VI (Bekasi-Depok) dengan nomer urut 2. Nababan mengakui ini pengalaman pertamanya dalam dunia politik. “Sebelumnya tidak pernah,” ujarnya.

Selama ini ia mengaku lebih memilih berjuang di luar sistem. Menurut Nababan, ada dua faktor yang mendorong dia masuk dunia politik. Pertama, masalah keterpurukan situasi ekonomi lima tahun terakhir. Terutama soal tingginya harga BBM, sembako, dan bahan pokok lain.

Ia mencatat sejak 2004 sampai 2008 BBM sudah naik tiga kali. Alasannya harga minyak bumi di luar negeri naik. Tapi ketika harga BBM luar negeri turun, pemerintah hanya menurunkan BBM secara bertahap.

Kedua, terkait masalah sistem ketenagakerjaan dan pertanian di Indonesia. Ia menilai kemajuan yang dibuat pemerintah hanya menciptakan mental pengemis. Mentalitas bangsa hanya ditempa menjadi mentalitas uang. “ bukannya mentalitas kreator.”

Awal mula perkenalan Nabanan dengan politik dia akui dimulai di Bekasi. Saat itu dia dimintai bantuan oleh Mochtar Mohamad untuk membantu dalam Pilkada Walikota Bekasi bulan Januari 2008. Dia pun ikut serta menjadi tim sukses. Dan ternyata calonnya menang.

Dengan bekal menjadi tim sukses itu lah, Nababan kini mencoba peruntungannya di dunia politik.