Saat Korupsi 'Mengalir' ke Daerah

Sumber :

VIVAnews - Sejak adanya otonomi daerah, maka kekuasaan dan kewenangan pun terdesentralisasi ke daerah-daerah. Menurut teori, di mana ada kekuatan berkumpul, di situ ada kecendrungan untuk korup.

Otomatis, korupsi memang telah bergeser dari pusat ke daerah sejak adanya otonomi daerah. Sebab, penguasa daerah memiliki kewenangan untuk membangun daerahnya masing-masing. Kepala daerah juga memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan keuangan.

Disayangkan, desentralisasi kekuasaan ini ternyata tidak diikuti dengan penguatan pengawasan desentralisasi. Akibatnya, audit Badan Pemeriksa Keuangan selalu menemukan kebocoran-kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Tragisnya, kebocoran ini terjadi di semua daerah. Angka kasarnya mencapai 30 persen. Ini tentunya sebuah jumlah yang sangat besar. Belum lagi jika ditambah kasus-kasus penyelewengan kewenangan lainnya.

Namun, korupsi yang paling harus diwaspadai adalah korupsi yang dikendalikan dari pusat. Contohnya seperti pengadaan mobil kebakaran dan dana upah pungut pajak. Apalagi  upah pajak ada dasar hukumnya, yakni peraturan menteri dalam negeri.

Korupsi di daerah ini akan semakin menggila jika tidak ada pengawasan yang maksimal dari aparat penegak hukum.

Mungkin, jumlahnya akan sama besar atau lebih besar ketimbang korupsi di masa kekuasaan sentralisme Orde Baru. Hanya bedanya, penikmat uang haram ini lebih banyak dan merata di penguasa-penguasa daerah.

Karena itu ke depan, pidana khusus (pidsus) kejaksaan di daerah harus segera direvitalisasi untuk meminimalisir kebocoran-kebocoran anggaran itu. Kalau hanya mengandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi, akan sulit.

Di masa depan, KPK mungkin akan ada di daerah di mana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan. Tapi, hal itu tidak akan cukup. Lebih baik mengandalkan pidsus kejaksaan yang ada di seluruh provinsi bahkan kabupaten. Revitalisasi ini mutlak dilakukan jika memang ada komitmen untuk pengawasan terhadap 'raja-raja kecil' di daerah.


Dibandingkan Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan memang memiliki kelemahan, yaitu harus meminta izin pada penguasa saat akan memeriksa gubernur atau bupati. Kalau statusnya naik jadi tersangka juga harus izin lagi. Rumit sekali birokrasinya.

ICW sudah mendorong agar DPR dapat menghapus jalur birokrasi itu di UU Susunan dan Kedudukan. Untuk pejabat  daerah, DPR juga harus melakukan revisi terbatas di UU Pemerintah Daerah. Itu kalau memang  DPR punya komitmen pemberantasan Korupsi.

Pemberantasan korupsi tidak bisa dilaksanakan dengan hanya penindakan. Tidak cukup. Di sisi lain, pencegahan tak kalah pentingnya. Di sini, pengawasan pengelolaan keuangan daerah menjadi kunci vital dalam pemberantasan korupsi baik di daerah maupun pusat.

Pengawasan yang ada saat ini, mulai dari pengawasan internal dan Badan Pengawas Daerah, tidak berfungsi  karena sistem mereka tidak kuat. Kalau pun ada sanksi, jaring-jaring pengawas ini malah menyulitkan penerapan sanksi.

Solusinya, kembali ke kejaksaan lagi. Badan ini memang perlu direvitalisasi segera. Selain itu, program reformasi birokrasi yang diluncurkan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara bisa dikerjakan.

Indonesia memang membutuhkan pengawasan eksternal. Terutama yang independen seperti Komisi Yudisial -sebelum kewenangannya dieliminasi-  dalam mengawasi dunia peradilan.

Namun, itu akan memakan waktu lama. Saat ini, pemerintah lebih baik memaksimalkan institusi yang ada. Mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, dan semacamnya.

Disarikan dari wawancara dengan Febri Diansyah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW).