Lima Tahun Mampu Aborsi 4.380 Janin

Sumber :

VIVAnews – Lulusan sarjana kedokteran gigi Universitas Mahasaraswati, I Ketut Arik Wiantara ini memang cukup kontroversial. Gelar SKg yang diperolehnya di bangku kuliah dipelesetkan menjadi Spesialis Kedokteran dan Ginekologi.

Arik memang cukup beruntung. Saat disidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar tahun 2005 lalu, dia hanya divonis 2 tahun 6 bulan. Padahal dari penyelidikan saat itu, Arik telah membuka praktik aborsi ilegal sejak tahun 2000 dan baru dapat diungkap oleh polisi Polda Bali, 2 Februari 2005 yang rata-rata setiap harinya dapat mengaborsi dua pasien.

Diperkirakan janin yang berhasil dihilangkan dengan alat penyedotnya mencapai 4.380. Tarif yang harus dibayar pasien berkisar antara Rp 800 ribu hingga Rp 4 juta, disesuaikan dengan usia kandungan.

Pengungkapan terjadi ketika ada seorang pasiennya yang bernama Nyoman Muriasih, 20, warga Denpasar yang mengalami perdarahan hebat dan nyawanya tak dapat diselamatkan.

Arik kembali ditangkap polisi pada 15 November lalu setelah ada seorang pasiennya Ni Komang Asih, 30, yang tewas usai menggugurkan kandungan di tempat prakteknya.

Upacara Pembersihan
 
Warga yang tinggal di lingkungan rumah dokter gigi jagal janin I Ketut Arik Wiantara merasa malu. Untuk itulah, lingkungan Banjar Bengkul, Panjer ini akan menggelar upacara pembersihan atau mecaru.

Hal ini diungkapkan Bendesa Adat Pakraman Panjer, Nyoman Budiana. "Ini sudah kasus yang kedua. Kita berharap penegak hukum dapat menjatuhkan hukuman yang terberat," terang Budiana, Rabu, 19 November 2008.

Pihak desa adat, kata Budiana yang juga dosen Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) ini, tak bisa menjatuhkan sanksi adat lantaran Arik hanyalah seorang pendatang dan tak masuk dalam banjar adat.

Dengan dua kalinya kasus ini terjadi dan untuk membersihkan lingkungan, warga akan menggelar pecaruan panca sata, yaitu upacara yang menggunakan lima jenis binatang.

Disinggung soal kemungkinan pihak desa akan melakukan pengusiran terhadap keluarga Arik, Budiana mengatakan cukup sulit lantaran statusnya sebagai pendatang. "Mungkin kalau dia warga adat sanksinya lebih mudah. Jadi sepenuhnya kita serahkan pada pihak berwenang saja," tegasnya.

Laporan: Wima Saraswati/Bali