Perjanjian Pranikah, Perlukah?

Sumber :

VIVAnews - Saat cinta sedang indah-indahnya, mengapa harus diganggu dengan hal-hal ‘pahit’ yang belum tentu terjadi, sih? Mungkin, ini juga reaksi Anda dan pasangan saat menyikapi perjanjian perkawinan. Tapi, yang perlu disadari membuat perjanjian perkawinan bukan berarti mengundang hal yang negatif.

Justru, saat-saat di mana Anda berdua sedang dekat-dekatnya, masalah perjanjian pranikah (pre-nuptial agreement) pantas diangkat. Ini dapat menjadi jalan untuk mempelajari lebih dalam keinginan Anda dan  juga pasangan. Dengan cara ini, Anda juga mulai menata pola komunikasi untuk membentuk hubungan yang setara.

Kalau begitu, benarkah perjanjian pranikah ini tidak hanya sekadar mengatur pembagian harta? Mengapa kita perlu mempertimbangkannya?

Undang-undang perkawinan di negara kita menganut asas harta bersama gono-gini.  Jadi, kalau pria dan wanita menikah, meskipun hanya salah seorang dari mereka yang mencari nafkah, maka nafkahnya itu menjadi harta yang diperoleh dalam perkawinan. Artinya, kalau pasangan itu bercerai, semua harta harus dibagi dua, kecuali harta bawaan.

Mungkin saja, tak semua orang bersedia ‘mencampur’ harta hasil jerih payahnya dengan pasangannya. Misalnya, bila A wanita bekerja, sementara suaminya tidak bekerja, mungkin saja A tidak mau membagi harta hasil perolehannya itu ketika perceraian terjadi.

Nah, jika ada perjanjian perkawinan, hal tersebut bisa diatur. Maksudnya, setiap harta Anda, menjadi harta Anda. Harta suami, menjadi harta suami. Harta di sini juga termasuk utang.

Tapi, perjanjian perkawinan tak hanya berisikan pembagian harta, perjanjian itu juga berguna untuk melindungi dan memperjelas hak dan kewajiban seseorang dan calon pasangannya, baik selama perkawinan berlangsung, atau akibat-akibat hukum setelah perkawinan putus karena perceraian atau kematian.

Hal-hal seperti pembagian harta, pemeliharaan dan pengasuhan anak, pembagian biaya keluarga, bahkan penyelesaian perselisihan dalam rumah tangga, bisa dituangkan dalam perjanjian tersebut. 

Untuk itu memang diperlukan kesiapan mental dan kedewasaan agar kedua belah pihak harus benar-benar sepakat dan rela, tidak ada keterpaksaan. Dengan begitu, prosesnya akan lebih mudah. Namun, kalau salah satu belum merasa perlu, maka samakan dulu persepsi mengenai hal ini.

Intinya, kedua belah pihak tidak boleh merasa terpaksa. Bila tujuan membuat perjanjian perkawinan tidak sama, bisa jadi nanti malah menjadi beban dan berpengaruh pada kehidupan perkawinan itu sendiri. 

Membuat perjanjian perkawinan bukan berarti mengurangi keromantisan hubungan. Cinta kan, harus tetap realistis, yang artinya mengedepankan aspek rasional. Karena itulah diperlukan perjanjian perkawinan.