Siksaan

Sumber :

VIVAnews - Dalam benak saya setelah mengalami berada di penjara selama beberapa bulan, penjara identik dengan siksaan. Siksaan yang terjadi dalam penjara tentunya tingkatannya berbeda-beda,mulai dari yang ringan sampai yang paling berat dan bisa meninggalkan cacat fisik maupun mental.    

Istilah Lembaga Pemasyarakatan adalah pembodohan masyarakat dan sekaligus membodohi para pejabat di pemerintahan. Dengan berlindung dibelakang nama : Lembaga Pemasyarakatan, para pejabat yang bertanggung jawab mengelola penjara beranggapan bahwa semuanya di dalam penjara berlangsung sesuai cita-cita pencipta sebutan tersebut, padahal kenyataannya adalah seperti antara bumi dan langit.

Hidup dalam penjara di bulan-bulan terakhir 1965 dan awal 1966 adalah siksaan fisik sekaligus siksaan batin bagi para penghuninya. Setiap hari,sesudah matahari terbenam,kami para tahanan didalam bangsal hanya bisa menunggu lonceng berdenting menunjukkan waktu. Dari menara disusut penjara lonceng itu dipukul secara teratur setiap jam dan suaranya terdengar jelas dari dalam bangsal.

Semua orang merasakan syarafnya tegang menjelang gunyi lonceng bila sudah berdenting sembilan kali dan semua tahanan akan berdebar menunggu denting lonceng yang kesepuluh.    

Pada saat itu biasanya petugas penjara membuka pintu yang memisahkan kantor dengan halaman dalam penjara.Diiringi gerimis dimlam-malam bulan Desember, petugas berjalan menyusuri selasar dibawah teritis sambil menggenggam ikatan kunci-kunci yang berdenting saat beradu di kesunyian dan keheningan malam.

Petugas akan berhenti di depan bangsal 1, membuka pintu cukup lama dan kemudian menutup kembali. Beberapa tahanan berjalan mengiringi langkah petugas penjara, meninggalkan bangsal menuju pintu keluar.

Malam-malam seperti inilah yang membuat tahanan lain yang tidak mendapat panggilan menjadi tegang. Kalau tahanan dipanggil malam-malam begini ke Kodim, hanya satu kepastian yang ada dalam benak : siksaan!

Tahanan dipinjam dari penjara untuk diperiksa,atau dalam istilah saat itu : di-bon! Entah pengebonan ini pakai surat permintaan dan ada tanda terima saat tahanan dibawa keluar penjara,tak seorang pun tahu.

Baru pada hari berikutnya,saat bangsal dibuka dan kami boleh keluar berjemur, penghuni bangsal atau kamar 2 bisa masuk ke kamar 1 dan tahu siapa-siapa yang di bon ke Kodim. Kami pun dibuat sibuk dengan merawat teman-teman yang semalam dibon.Dengan segala cara kami berusaha mengurangi penderitaan teman-teman.

Bilur-bilur bekas pukulan kami coba untuk mengurangi rasa sakit antara lain dengan arak putih. Siksaan standar yang dialami teman-teman : pukulan dan stroom, jari kaki ditindih meja dan diatas meja penyiksa duduk, pukulan dengan benda keras.

Salah seorang teman, Gembor Prawoto yang asal Cilacap dan bersama kami bekerja di Cilegon,mendapat pukulan keras dengan kayu sehingga membuat telinganya sebelah nyaris tuli.

Penempatan tahanan dalam bangsal rupanya memang sengaja dipisah, bangsal 1 diisi para fungsionaris organisasi partai, organisasi pemuda, organisasi buruh dan sebagainya, sedang bangsal 2 dihuni kroco-kroco. Karena hampir setiap malam yang dipanggil adalah penghuni bangsal 1.

Di Kodim Serang saat itu yang terkenal sebagai algojo penyiksa adalah Kapten Tjasman,yang menilik dari namanya adalah orang Cirebon. Asisten yang tidak kurang buasnya adalah Letnan Zamzam.

Tujuan pemeriksaan dengan siksaan-siksaan tersebut adalah membuat tahanan tidak tahan dan terpaksa membuat pengakuan palsu bahwa dirinya tahu tentang G-30-S  atau Gerakan 30 September,yang kadang disingkat Gestapu (agar mirip dengan polisi era Nazi Hitler Gestapo - Polisi Rahasia Nagara).

Beberapa nama penghuni bangsal 1 adalah Soemantri, Ir.Soerjo Darsono,Tubagus Surja Atmaja, Maryaman, Nurti, Moeljadi SH dan sebagainya adalah pelaku-pelaku lapangan pelaku lapangan yang berbahaya dan patut dihukum berat.

Tugas para penyiksa adalah mendapatkan pengakuan dari tahanan dengan cara apapun. Para penyiksa adalah mesin-mesin yang berjalan secara otomatis, seolah manusia tanpa otak dan hati nurani,menyiksa,memeras dan menghasilkan kertas dengan ketikan rapi berisi pengakuan dan tanda tangan tahanan.

Saya sebagai penghuni bangsal 2 tidak pernah mendapat panggilan malam atau dibon dan hanya mendapat giliran diperiksa siang hari oleh dua jaksa : Ridwan Mahmud SH dan Marjono SH.

Di Kodim saya sedih melihat buku-buku dalam bahasa Rusia  berserakan dilantai dan jadi ganjal duduk jaksa.Ini pasti koleksi saya yang disita dari asrama bujangan,koleksi yang saya kumpulkan bertahun-tahun akhirnya terbuang sia-sia. termasuk semua buku harian,album foto.
    
Sialnya,jaksa membaca isi salah satu catatan harian saya dimana ada tulisan :  Jaksa serang brengsek! (saya pernah dipanggil kejaksaan sebagai saksi untuk kasus pencurian di proyek baja Trikora,setelah berjam-jam menunggu ternyata pemeriksaan batal karena jasa tidak hadir dan kekesalan itu tercatat dalam buku harian)

Penghuni bangsal 2 memang tidak mendapat siksaan fisik, melainkan siksaan batin. Setiap malam berdebar-debar menunggu denting lonceng 10 x saat pengebonan terjadi,dan masing-masing bertanya-tanya dalam hati : siapa yang di-bon malam ini?

Bagi napi siksaan yang dialami tidak jauh bedanya dari tahanan, saat itu belum ada istilah tapol atau tahanan politik. Narapidana atau disingkat napi yang sudah hampir bebas dan dipercaya oleh petugas,diberi tugas sebagai "tamping", tidak jelas berasal dari bahasa apa atau singkatan apa, dan seorang tamping bisa keluar masuk penjara dengan bebas, termasuk bepergian keluar untuk belanja dan sebagainya.

Tetapi jangan coba-coba melarikan diri karena sekali lari dan tertangkap kembali, hukumannya sangat berat. Kami menyaksikan seorang tamping yang berusaha lari dan tertangkap kembali, dihajar seharian oleh beberapa petugas.
 
Dan hukuman fisik berikutnya tangan diborgol dengan kaki, dihubungkan  pakai  rantai pendek. Hari ini pergelangan tangan kanan diborgol ke pergelangan kaki kiri, sehingga tidur dan berjalan anda harus bongkok. Hari berikut dipindah, pergelangan tangan kiri diborgol kekaki kanan dan seterusnya sampai seminggu atau lebih.

Dan hukuman borgol ini masih ditambah dengan hukuman kering alias tidak diberi minum sehari atau lebih api kelaparan dan kehausan, tidur melingkar seperti udang dalam sel dingin tanpa alas apapun! Dan ini terjadi dinegara berazaskan : Pancasila! Muak!

Tujuan memasyarakatkan napi jadi hilang dan yang muncul adalah dendam, napi suatu saat  keluar penjara dengan dendam akan mengulangi kejahatannya.  Perlakuan terhadap kami, para tahanan G-30-S mengingatkan saya pada suatu  sindiran penulis Barat John Gunther dalam buku "Inside Russia to-day".

Isi tulisan ini tentu dengan maksud menjelek-jelekkan Uni Soviet,yang merupakan  musuh utama Amerika dalam era Perang Dingin. Pada suatu hari Stalin menelepon Kepala Polisi Rahasia Beria. "Kamerad Beria,tas saya entah kemana,tolong cari!" "Siap kamerad,akan saya laksanakan!".
 
Besoknya Stalin menelepon kembali untuk memberi tahu bahwa tas sudah diketemukan,tetapi belum sempat Stalin berbicara,Beria sudah keburu nyerocos : "Saya sudah memeriksa 25 tersangka dan kami periksa intensif,hasilnya : 4 bunuh diri, 17 mengaku mengambil tas dan 4 belum selesai kami periksa!"

Pemeriksaan para tahanan G-30-S persis sama seperti yang dilakukan Beria!