Susilo Bambang Yudhoyono

Sumber :

10 Fakta Tentang SBY

1.Lahir di Pacitan  9 September 1949

2.Masuk Akademi Militer Magelang 1970

3.Menikahi Kristiani Herawati,putri Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo

4.Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning,AS (1982-1983)

5.Command and General Staff College di Fort Leavenworth(1990-1991)

6.Menjadi Pangdam Sriwijaya  tahun 1996

7.Menteri Pertambangan dan Energi  26 Oktober  1999,

8.Menkopolsoskam jaman Gus Dur dan Menko Polkam Jaman Mega

9.Mundur dari Menko Polkam 11 Maret 2004

10.Dilantik menjadi Presiden Indonesia ke 6 Oktober 2004

Soal Citra SBY Rajanya

"Saya ingin melanjutkan kerja demi pembangunan bangsa dan negara untuk 5 tahun lagi. Namun belum saatnya sekarang saya mengumumkan, tapi nanti! Nanti setelah Pemilihan Presiden 2009 resmi digelar."

Itulah pidato Susilo Bambang Yudhoyono di depan ratusan kader Partai Demokrat di arena Pekan Raya Jakarta, Minggu, 19 Oktober 2008, malam. Sang Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat memberikan isyarat, bersedia maju kembali dalam Pemilihan Presiden 2009 mendatang.

Pidato Yudhoyono itu menjawab kegundahan Partai Demokrat yang sudah menyiapkan Yudhoyono sebagai calon presiden 2009. Juga kegundahan sejumlah Dewan Perwakilan Daerah Partai Golkar yang dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pekan lalu, berniat mengusung  duet  Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk kedua kalinya.

Popularitas pria kelahiran Pacitan, 9 September 1949, mulai menanjak setelah menjadi Menteri Pertambangan dan Energi di era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Setelah dipindah ke kursi Menteri Koordinator bidang Politik, Sosial dan Keamanan, menggantikan Jenderal Purnawirawan Wiranto, popularitas menantu almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi itu kian berkibar.

Saat menjadi Menteri Kordinator bidang Politik, Sosial dan Keamanan ini, sikap Yudhoyono benar-benar diuji. Dialah yang memegang mandat Dekrit Presiden yang dikeluarkan Abdurrahman Wahid  --yang isinya membubarkan  Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyarawatan Rakyat dan Golkar.  Yudhoyono memilih menyimpan dekrit itu di laci meja. Dan Abdurrahman Wahid kemudian yang terjungkal dari kursi presiden.

Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian naik menjadi Presiden. Yudhoyono mencoba maju menjadi wakil presiden. Gagal. Para wakil rakyat di Senayan lebih memilih Hamzah Haz. Namun Mega tetap memberikan kursi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada Yudhoyono. Selaku menteri, Yudhoyono tampil memikat kepada publik. Sang Presiden yang pelit berkomentar seakan tenggelam di balik penampilan sang menteri yang rajin menebar senyum itu.

Diam-diam, terjadi persaingan di antara dua orang ini. Menjelang Pemilihan Presiden secara langsung untuk pertama kalinya, Yudhoyono mundur dari kursi menteri pada 11 Maret 2004. Yudhoyono mempersiapkan diri menjadi calon presiden, dengan kendaraannya, Partai Demokrat.

Partai Demokrat kemudian mempopulerkan nama Yudhoyono dengan SBY, singkatan dari Susilo Bambang Yudhoyono. Berpasangan dengan politisi Partai Golkar, Jusuf Kalla, Yudhoyono bertarung melawan  empat pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya. Yudhoyono-Kalla diajukan oleh tiga partai, yakni Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Pada putaran pertama, pasangan yang hanya dijagokan oleh 3 partai yang jika ditotal hanya memiliki 11 persen suara Pemilu, ini meraih suara terbesar:  39.838.184 suara atau 33,57 persen.
Yudhoyono-Kalla harus bertarung di putaran kedua melawan presiden incumbent, Megawati, yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Partai pendukung pasangan Amien Rais-Siswono Yudohusodo, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional, mengalihkan suara ke Yudhoyono. Sementara Partai Golongan Karya yang jagoannya, Wiranto-Salahuddin Wahid, kalah, memberikan dukungan justru pada Megawati. Namun, lagi-lagi, Yudhoyono menang dengan total suara 69.266.350 atau 60,62 persen. Yudhoyono menjadi presiden pertama dalam sejarah Indonesia yang dipilih langsung oleh rakyat!

Selang satu bulan setelah menduduki kursi presiden, Yudhoyono dihadapkan dengan bencana alam gempa bumi yang menghentak Nabire, Papua, pada 26 November 2004. Sebulan setelah itu, gempa bumi dan bencana tsunami terbesar sepanjang sejarah Indonesia menghantam Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Sumatera Utara. Korban mencapai ratusan ribu nyawa. Indonesia berduka, dunia tersentak. Kepemimpinan lulusan terbaik Akademi Angkatan

Bersenjata tahun 1973 itu menanggulangi bencana diuji. Di balik bencana mahadahsyatnya, tsunami membawa berkah karena mendamaikan bumi Serambi Makkah itu dari konflik berkepanjangan. Yudhoyono bersama Jusuf Kalla berhasil mendekati kombatan Aceh untuk duduk bersama di Helsinki membahas rute perdamaian. Lahirlah Memorandum of Understanding yang ditandatangani pihak Gerakan Aceh Merdeka dan Indonesia yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia saat itu, Hamid Awaluddin. Nama Yudhoyono pun melambung di dunia internasional, dan sempat dinominasikan meraih Nobel Perdamaian.

Popularitas Yudhoyono mengalami pasang surut meski tetap tak terkalahkan oleh tokoh-tokoh lain yang dibuktikan oleh berbagai survei. Popularitas Yudhoyono sempat menyurut ketika menaikkan tarif bahan bakar minyak, listrik dan telepon pada tahun 2005. Kenaikan tarif ini diikuti program pemasyarakatan bahan bakar gas yang dipaksakan melalui pengurangan pasokan minyak tanah. Kritik bertubi-tubi menyerang Yudhoyono-Kalla. Namun Yudhoyono membalas kenaikan ini dengan mengucurkan bantuan langsung tunai pada masyarakat miskin.

Popularitas Yudhoyono kembali diuji ketika harga minyak dunia membumbung tinggi pada pertengahan 2008. Tak mau mengambil risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi, Yudhoyono kembali membuat keputusan tak populer dengan menaikkan harga minyak untuk kedua kalinya. Bantuan langsung tunai pun kembali dikucurkan untuk mengimbangi angka inflasi. Namun popularitas Yudhoyono keburu melorot tajam, dan tokoh politik seperti Wiranto memanfaatkannya.

Wiranto menuduh Yudhoyono telah mengingkari janjinya karena menaikkan lagi harga bahan bakar minyak. Namun serangan-serangan lawan-lawan politik ini tak bisa menggoyahkan keunggulan popularitas Yudhoyono atas lawan-lawan politiknya. Bahkan sejumlah Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar, dalam pandangan yang disampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional, Sabtu, 18 Oktober 2008, lalu mengusulkan supaya pasangan Yudhoyono-Kalla dipertahankan untuk Pemilihan Presiden 2009.