Nama Yudhoyono Hanya Disebut Dua Kali

Sumber :

VIVAnews - Sejarah mencatat, Pemilihan Presiden 2004 dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono. Yudhoyono menang duel melawan incumbent Megawati Soekarnoputri, mantan bosnya di Kabinet Gotong Royong.

Patahan sejarah itu sepertinya sangat membekas di kepala Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Taufiq Kiemas. Dalam buku biografi politiknya 'Jembatan Kebangsaan' yang memiliki 302 halaman, hanya dua kali nama Yudhoyono disebut.

Nama Yudhoyono pertama kali disebut di halaman 219, pada bab "Belajar dari Kekalahan". Bukan hanya itu, penyusun buku Rustam F Mandayun, Muhammad Yamin, Helmy Fauzy dan Imran Hasibuan menulis peristiwa 2004 itu bukan sebagai kekalahan melainkan "kurang suara".

"Dalam pemilihan presiden/wakil presiden yang digelar secara langsung, kandidat yang diusung PDI Perjuangan --Megawati Soekarnoputri dan Kiai Haji Hasyim Muzadi --"kurang suara" dibanding pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla," tulis mereka.

Untuk merasionalisasi penyebab "kurang suara" itu, para penulis buku yang diluncurkan Kamis 19 Februari 2009 lalu itu menyatakan ada dua penyebabnya, eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah perubahan perilaku pemilih yang mengalihkan suaranya ke partai lain. Faktor internal karena PDIP tidak konsisten melaksanakan amanat kongres partai di Semarang tahun 2001.

Nama Yudhoyono berikutnya disebut pada halaman 224, masih dalam bab "Belajar dari Kekalahan". Pada bagian ini, buku yang diterbitkan Rumah Kebangsaan & Q Communication itu menjelaskan reposisi PDIP yang kalah dalam Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam Kongres II PDIP di Denpasar, 23 Maret-2 April 2005, Taufiq Kiemas sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat menggagas reposisi PDIP dalam politik nasional. Pada bagian inilah, buku biografi politik menyebutkan nama Susilo Bambang untuk kedua kali sekaligus terakhir kali.

"Langkah repositioning yang cukup signifikan dilakukan PDI Perjuangan kemudian adalah mengambil sikap sebagai kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla."

Sebagai konsekuensi dari oposisi itu, PDI Perjuangan tidak boleh menempatkan kader-kadernya di jabatan struktural pemerintahan atau eksekutif di tingkat nasional. Fungsi fraksi di parlemen kemudian dioptimalkan memerankan sikap oposisi.