Penggabungan Mesir-Suriah

Sumber :

VIVAnews – Pada tanggal 22 Februari 1958, Presiden Suriah Shukri al-Kuwatli dan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser menandatangani pakta pendirian Republik Persatuan Arab (RPA).

Bergabungnya Suriah dengan Mesir menandai puncak keberhasilan diplomasi Nasser di dunia Arab. Nasser telah tampil sebagai tokoh terkemuka di kalangan bangsa Arab sejak berhasil memenangi perang Suez melawan Inggris dan Israel pada tahun 1956.

Sejak saat itu, sikap politik Nasser menjadi panutan banyak pemerintahan dan oposisi di negara-negara Arab. Banyak rakyat Arab yang mengidolakan Nasser dan mendesak pemerintahnya untuk bersatu dan maju bersama Mesir.

Sentimen pro-Nasser sangat kuat berkibar di kalangan rakyat Suriah. Alhasil, sejak berakhirnya perang Suez, beberapa tokoh politik Suriah, terutama dari Partai Baath yang berkuasa, mulai mendekati Nasser untuk menjajagi persatuan kedua negara.

Persatuan dengan Mesir diharapkan akan meningkatkan popularitas Partai Baath di kalangan rakyat sehingga akan mengurangi pengaruh partai komunis Suriah yang tengah naik daun.

Sementara kalangan bisnis Suriah berharap berdirinya RPA memberikan akses kepada mereka untuk menggarap pasar Mesir yang potensial. Sayangnya, alih-alih mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi dari persatuan dengan Mesir, kalangan elit dan rakyat Suriah malah menjadi subordinasi di bawah dominasi Mesir.

Personil sipil dan militer Mesir mulai mengambil alih kendali pemerintahan Suriah. Sementara para pemimpin Suriah yang dipaksa tinggal di Kairo merasa terputus hubungannya dengan konstituen mereka di Damaskus.

Akses terhadap sumber ekonomi baru di Mesir juga gagal diraih kalangan bisnis Suriah sebagaimana harapan awal mereka. Pada tahun 1961, faksi anti-integrasi mengambil alih kekuasaan di Suriah dan menarik negara tersebut dari Republik Persatuan Arab yang berujung pada bubarnya cita-cita Nasser mempersatukan bangsa Arab.