Sepenggal Cerita dari Sungai Gelam

Sumber :

VIVAnews - Kematian enam orang korban serangan harimau membuka babak baru konflik antara manusia dan sang raja hutan. Harimau yang lapar memangsa manusia, si pengganggu. Sebaliknya, manusia yang geram merasa punya alasan untuk balas dendam.

Kondisi itu membuat tim 'penangkap harimau' bekerja lebih berat. Melindungi manusia dari harimau dan melindungi harimau dari manusia. Tim langsung bergerak tiap kali informasi ada serangan harimau.

Langkah pertama, tim menenangkan masyarakat yang berduka, marah, dan ketakutan. Selanjutnya mereka memasang perangkap harimau, meletakkan umpan hidup dalam perangkap, menyiapkan kamera dan alat-alat lain untuk menangkap harimau. Setelah ditangkap, harimau akan dipasang alat pemindai GPS dan dilepas ke habitatnya  atau daerah konservasi.

Hari itu, Sartono (40) bersama enam anggota timnya tiba di daerah perkebunan sawit di Sungai Gelam, Jambi. Di lokasi itu, tiga orang sudah jadi korban. Rabai Abdul Muthalib (45) penyedap karet ditemukan tewas mengenaskan di dekat sungai. Suyud (50) dan anaknya Imam Mujianto (21) tewas saat sedang tidur di pondok ketika. Harimau memangsa meninggalkan jasad mereka dalam kondisi mengenaskan. Teror mencekam seluruh desa

Sartono tahu, jika timnya tak cepat bertindak, penduduk akan melakukan aksi balas dendam, menembak atau meracuni harimau. Jumlah harimau sumatera yang susut akibat kerusakan hutan dan konflik dengan manusia, berangsur musnah. Saat ini diperkirakan tinggal 250 harimau sumatera. Bandingkan dengan kondisi tahun 1970-an, jumlah harimau sumatera masih 1.000.

Selama berhari-hari, anggota tim bersama ahli zoologi dari London, Inggris mendaki di bawah matahari terik, demi mengumpulkan bukti dan keteterangan. Kadang jerih payah mereka tanpa hasil.

Meski berpredikat 'penangkap harimau', rasa ngeri tetap saja ada ketika berpapasan dengan sang raja hutan. "Tentu saja saya takut, siapa yang tidak? Kami berpengalaman, tapi kami bukan manusia super," kata Sartono.

Seekor harimau betina berhasil masuk perangkap. Setelah memangkas kambing hidup, petugas memasukannya binatang buas sepanjang enam kaki itu ke kerangkeng. Awalnya, binatang yang diberi nama Salma itu tenang. Namun itu tak berlangsung lama. Salma berontak, tubuh besarnya yang beratnya mencapai 90 kilogram dihantamkannya ke kerangkeng.

"Tenang, tenang, kami datang untuk menyelamatkan kamu," bisik staf badan konservasi, Nurazman Nurdin, berusaha menenangkan.

Penangkapan Salma menarik perhatian para penduduk desa. Suara para penduduk yang tercekam teror, bahkan tak berani salat berjamaah di masjid, terpecah. Sebagian, mendukung relokasi Sama, sebagian yang lain berharap para petugas mengakhiri hidup harimau betina yang sudah memangsa manusia itu.

Penduduk pun merasa khawatir, mereka ngeri membayangkan masih banyak harimau yang berkeliaran. Kekhawatiran warga terbukti.

Tak lama pasca penangkapan Salma, tiga orang penebang liar menjadi korban. Karena diserang di habitat harimau, petugas tak punya alasan untuk melakukan relokasi.

Dalam keadaan normal, harimau sumatera menjauhi manusia. Kalaupun mereka membunuh manusia, harimau tak akan menyentuh jasadnya. Insiden harimau memangsa manusia, adalah pertanda. Para harimau mengalami depresi dan lapar. "Mereka tak punya tempat lagi untuk hidup," kata Nurazman Nurdin. Habitat harimau makin menipis ketika 667.000 hektar hutan dialihfungsikan menjadi ladang kelapa sawit.

Populasi harimau terancam, stok makanan mereka menipis. "Kita tak bisa mengharapkan harimau jadi vegetarian," kata Nurazman, tersenyum. Manusia masuk ke wilayah teritorialnya akan jadi sasaran empuk.

Tantangan terberat dalam upaya konservasi harimau adalah konflik dengan manusia. Menurut data Departemen Kehutanan, 10 harimau dibunuh tiap tahunnya sejak 1998.

Tak hanya motif balas dendam. Pembantaian harimau juga dilakukan dengan motif ekonomi. Nilai seekor harimau mati adalah US$ 3.300 atau sekitar Rp 39.600.000, lebih banyak dari jumlah pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia dalam setahun. (AP)