Siapa Helmy Fauzy

Sumber :

BOGOR - Tutur katanya ramah. Bahasa tubuhnya bersahabat. Sangat betah berbincang-bincang dengan rakyat kecil. “Dari sana saya bisa menangkap, apa sebenarnya yang terjadi di tengah masyarakat,” kata pria berkacamata itu kepada VIVAnews.

Dia adalah Helmy Fauzy, seorang calon legislatif (caleg) nomor urut satu (1) Dewan Perwakilan Rakyat tingkat pusat (DPR-RI) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Daerah Pemilihan Kabupaten Bogor.

Helmy Fauzy dikenal konsisten memperjuangkan nasib rakyat kecil, apalagi yang dipermainkan penguasa. Untuk persoalan ketidakadilan ini, perjuangan Helmy sudah tembus hingga Jenewa.

Helmy adalah orang Indonesia pertama yang mengangkat kasus pelanggaran HAM di Indonesia ke sidang Komisi HAM PBB di Jenewa. Itu terjadi pada 1992. Helmy mengangkat kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh.

Sejak itu, tiap tahun Helmy hadir ke sidang Komisi HAM PBB. Setelah rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto tumbang pada 1998, Helmy tak lagi menghadiri PBB. ”Karena saya berkeyakinan, dalam alam reformasi, kita harus memperkuat mekanisme domestik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,” katanya.

Itulah sebabnya, Helmy bergabung dengan KPP HAM untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur (sekarang menjadi negara Timor Leste) sebelum dan sesudah jajak pendapat (1999).

Helmy juga menanamkan rasa empati pada rakyat kecil di tengah keluarganya.  Anak-anaknya sering diajaknya turun ke desa-desa untuk melihat realitas kehidupan rakyat kecil.

Istrinya Dwi Ria Latifa, adalah seorang pengacara dan aktifis perempuan. Dwi yang pernah menjadi kuasa hukum Xanana Gusmao (sekarang Presiden Timor Leste) itu, kini adalah juga pengacara Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP yang juga mantan Presiden RI), dan Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI).

**

Jiwa kritis Helmy bukanlah datang serta merta. Kiprah pria kelahiran Balikpapan 27 Februari 1964 ini, sudah terlihat sejak kuliah di Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung. Dia dikenal sebagai mahasiswa kritis menyoroti berbagai kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.

Sejak 1980-an, dia aktif menentang setiap kebijakan pemerintah yang saat itu terkenal sangat tidak prorakyat.

Salah satu aktifitasnya dalam membela rakyat ditunjukkannya ketika dia turun menjadi yang terdepan bersama gerakan mahasiswa lainnya membela petani Cimacan-Cipanas pada 1989. Ketika itu, penguasa dan pengusaha berkolusi merampas tanah rakyat untuk dijadikan lapangan golf.

Selain itu, ia juga terlibat langsung mendampingi petani Badega di Garut, Jawa Barat. Di sini petani menjadi korban pembangunan yang mengabaikan keadilan. “Hati kita mesti bergetar melihat ketidakadilan yang begitu massif,” katanya. “Ketidakadilan ini muncul karena kebijakan negara yang tak berpihak kepada rakyat”.

Perjuangan alumni Institute of Social Stidies (ISS), Den Haag, Belanda, ini kemudian meningkat lebih luas melalui medium politiki. Dia memilih PDIP. “Idiologi partai ini cocok dengan jiwa saya,” katanya. Dia ternyata sangat setia dengan partai yang bersemboyan “Partai Wong Cilik” itu.

Sejak 1998, Helmy telah aktif terlibat dalam aktifitas kampanye PDIP. Kemudian pada 2004, Helmy menjadi salah seorang pengelola Mega Center yang berkantor di kediaman Presiden Megawati. Kini Helmy adalah salah seorang fungsionaris di Departemen Informasi dan Komunikasi DPP PDIP.

Hati Halmy tak pernah beralih ke lain partai. Dia percaya, partainya itu memang sangat memfasilitasinya dalam berjuang untuk rakyat kecil. ”Saya melihat PDI Perjuangan, pada hakekatnya adalah sebagai alat perjuangan rakyat,” kata Helmy.


**

Sepuluh tahun berlalu sudah Helmy aktif di PDIP. Kini dia dipercaya menjadi salah seorang calon legislatif mewakili partainya itu. Tak tanggung-tanggung, dia ditaruh di nomor urut pertama. Helmy mulai bersosialisasi dan berkampanye sejak Juni 2008.

Di sela-sela memperkenalkan diri, Helmy melihat sebuah kasus yang menimpa rakyat.”Situasinya masih mirip dengan masa orde baru, padahal sekarang sudah zaman reformasi,” katanya.

Kasus yang dimaksud Helmy adalah peristiwa perampasan tanah yang dialami warga Cigudeg, Kabupaten Bogor, pada September 2008. Salah seorang korban, Arsyad, berkeluh kesah pada Helmy, bahwa usaha penambangannya telah diobrak-abrik aparat.

Padahal, usaha milik Arsyad adalah legal, bahkan dibangun di atas tanah miliknya sendiri. Aparat tak hanya merusak usahanya, rumah Arsyad pun tidak luput dari sasaran penghancuran. “Kenapa tiba-tiba tanah kami diklaim milik Perum Perhutani Kabupaten Bogor,” kata Arsyad kepada Helmy.

Selain Arsyad ada 6.000 kepala keluarga yang mengalami nasib yang hampir sama. Kemudian, Helmy mendampingi mereka mengadu Komnas HAM. Helmy mengatakan, masyarakat tidak berani memperkarakan tindakan perampasan dan intimidasi itu, sehingga dia bersedia memfasilitasinya.

"Salah satu bentuk ancaman yang didapat petani, yakni aparat meletuskan  peluru ke udara jika petani tetap nekat memanen hasil kerja mereka,” katanya. ”Bahkan jika ada yang berani melawan, si aparat memukul dan mengancam petani itu. Ini sudah barang tentu tak boleh dibiarkan.”

Di saat sedang berkampanye, Helmy juga rela mengurus
masyarakat Kampung Rengganis, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, yang tengah mengalami masalah. Mereka adalah korban pelanggaran dan perampasan hak-hak masyarakat atas tanah.

Padahal tanah yang mereka kuasai itu telah disahkan Agraria Jawa Barat atas nama Menteri Pertanian pada 31 Desember 1964 melalui surat bernomor 205 D/VIII-54/64.

Dalam surat itu, disebutkan tanah bisa dikelola dan digarap masyarakat yang tinggal di Desa Argapura/Cintamanik pada massa itu. Karena itu, Helmy kembali membawa mereka ke Komnas HAM. ”Aparat negara bertindak represif dalam menangani persoalan tanah,” katanya.

**

Helmy bercita-cita, suatu saat kelak bisa total membela kepentingan rakyat Indonesia. Itulah sebabnya dia menjadi seorang caleg. ”Niatnya, bagaimana wakil rakyat dapat menjalankan amanat penderitaan rakyat,” katanya.
 
”Bukan menjadi wakil rakyat yang baik karena baik belum tentu benar. Niat baik belum tentu baik buat rakyat. Akan tetapi kalau kita berjalan di jalan yang benar insya Allah hasilnya akan baik,” ujar Helmy.

Helmy melihat persoalan-persoalan besar yang melanda bangsa ini bisa dituntaskan. ”Kita harus kembali memetik pelajaran dan semangat dari buah pikiran para pendiri bangsa,” katanya. Helmy menyebut contohnya adalah Soekarno-Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Hasyim Asyhari, dan sejumlah pejuang yang legendaris lainnya.