RUU Pornografi Rawan Dipolitisasi

Sumber :


VIVAnews - Ketua Subkomisi Pendidikan dan Litbang Komnas Perempuan Neng Dara Affiah mengatakan, RUU Pornografi menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan satu golongan. "Mau dibantah bagaimana pun tetap timbul kecurigaan itu, di lapangan simbol-simbol yang dipakai untuk mengegolkan RUU ini merupakan simbol tertentu,”ujar Neng dalam diskusi Pro-Kontra RUU Pornografi di Universitas Paramadina Jakarta, Selasa (14/10).

Neng juga mengatakan RUU Pornografi sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat. Rancangan ini, menurut Neng, lahir  2002 ketika sejumlah kelompok keagamaan panik dengan kebebasan media. Ketika itu muncul media massa yang lazim disebut pers kuning. Namun kini, fenomena itu sudah hilang. "Jadi apa relevansinya? Setelah saya cermati,rancangan undang-undang ini tidak mendidik masyarakat untuk berpikir logis dan sistematis," kata Neng.

Dosen psikologi dan filsafat Universitas Indonesia, Bagus Takwin, menilai kerangka pemikiran RUU ini masih mentah. Persoalan muncul karena ada penafsiran bahwa RUU mengatur hasrat seksual manusia. "Seharusnya mengatur ekspresi hasrat seksual, artinya menunjukkan bahwa manusia tidak bergerak hanya berdasarkan insting,” kata Bagus.

Menurut anggota Panitia Khusus(Pansus) RUU Pornografi ,Azlaini Agus,  Pansus akan mengikuti mekanisme politik yang ada untuk  mengegolkan RUU ini. "Kalau pun nanti harus voting, itu mekanisme yang harus diambil, tapi sementara ini kami tetap membahas dan juga melakukan lobi," kata Azlaini dalam diskusi pro-kontra RUU Pornografi di Universitas Paramadina Jakarta, Selasa (14/10).

Azlaini mengaku tidak memahami alasan sejumlah provinsi yang melancarkan ancaman disintegrasi jika RUU ini disahkan. Menurut dia, penolakan pasti disebabkan kurangnya informasi. Padahal, ujar Azlaini, DPR telah banyak melakukan sosialisasi dan uji publik yang terakhir dilakukan di Bali.

Politisi Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini mempersilakan masyarakat untuk terus memberi masukan, bahkan setelah RUU disahkan. "Ada mekanisme hukum lewat Mahkamah Konstitusi, DPR harus lapang dada, itu proses demokrasi," kata Azlaini.