Joseph S. Nye

Obama dan Kekuatan Amerika

VIVAnews - Salah satu tantangan pertama yang dihadapi Presiden Barack Obama adalah dampak krisis keuangan yang tengah berlangsung. Krisis ini mengarah kepada pertanyaan, bagaimana postur kekuatan Amerika di masa depan.

Thailand Prime Minister Welcomes Albino Buffalo to Government House

Suatu artikel di majalah The Far Eastern Economic Review menyatakan bahwa "Gonjang-ganjing di Wall Street jadi pertanda awal runtuhnya kekuatan Amerika." Presiden Rusia, Dmitri Medvedev, melihat krisis ini sebagai pertanda bahwa kepemimpinan Amerika di tingkat global telah mendekati akhir. Bahkan Presiden Venezuela, Hugo Chavez, sudah menilai bahwa Beijing (China) kini malah lebih dipandang ketimbang New York.

Masalahnya, di tengah krisis, dolar sebagai simbol kekuatan keuangan Amerika justru tengah bangkit ketimbang ikut-ikutan lesu. Seperti yang dikemukakan Kenneth Rogoff, profesor dari Universitas Harvard dan mantan ketua dewan ekonom IMF," Sungguh ironis, saat kita sedang hancur-hancuran, orang-orang asing malah menghamburkan lebih banyak uang ke kita. Mereka tidak tahu kemana lagi harus pergi. Mereka tampak lebih percaya diri akan kemampuan kita mengatasi masalah kita ketimbang diri kita sendiri."

Peluang Liverpool Gaet Xabi Alonso Mengecil

Dulu ada anggapan bahwa bila Amerika bersin, seluruh dunia akan menderita demam. Saat ini, banyak yang menilai bahwa dengan bangkitnya China dan negara-negara petro-dolar (produsen minyak), lemahnya ekonomi Amerika bisa membuatnya terasing dari seluruh dunia. Namun, saat Amerika Serikat sedang terkena virus flu keuangan, yang lain juga tertular.

Maka, para pemimpin yang tadinya senang melihat penderitaan pihak lain (AS) kini malah ikut-ikutan takut. Mereka takut akan jaminan keuangan di AS.

Netizen Murka Disebut Suara Paslon 02 Nol: Mungkin Aku yang Dimaksud Angin Tak ber-KTP

Krisis seringkali mengabaikan kearifan di masa lalu. Memang benar, krisis kali ini menunjukkan kekuatan dasar ekonomi Amerika masih tetap mengesankan. Buruknya kinerja di Wall Street dan para pengambil keputusan di Amerika telah merugikan negara ini dalam menerapkan pendekatan soft power (kekuatan lunak), yaitu model ekonominya yang atraktif.

Krisis saat ini tidak akan berbuah hasil yang fatal bila AS mampu menanggung kerugian-kerugian yang diderita sekaligus mencegah munculnya kerusakan yang lebih dahsyat. Forum Ekonomi Dunia masih menilai ekonomi Amerika sebagai yang paling kompetitif di dunia. AS masih memiliki bursa tenaga kerja yang fleksibel, standar pendidikan yang tinggi, situasi politik yang stabil, serta terbuka atas berbagai inovasi.  

Namun kekhawatiran melingkupi masa depan pengaruh Amerika untuk jangka panjang. Dewan Intelijen Nasional AS memproyeksikan bahwa dominasi Amerika pada tahun 2025 bakal banyak berkurang. Salah satu superioritas Amerika, yaitu kekuatan militer, bakal melemah di masa depan. Namun bukan berarti ini dapat diartikan sebagai "bangkitnya kekuatan-kekuatan yang lain."

Kekuatan  selalu tergantung pada konteks. Dalam situasi dunia saat ini, kekuatan  didistribusikan dalam suatu pola, yang bisa dibilang mirip dengan permainan catur tiga dimensi yang rumit.

Di posisi atas, kekuatan militer bersifat tunggal (unipolar) dan mungkin akan berlangsung lama. Namun di posisi tengah, kekuatan ekonomi sudah bersifat beragam (multipolar). Pemainnya adalah AS, Eropa, Jepang, China, dan lain-lain. Masing-masing punya peran penting.

Sedangkan posisi bawah merupakan wilayah hubungan lintas-negara yang berada di luar kendali pemerintah. Pemainnya adalah para individu seperti bankir yang mampu mentransfer uang yang jumlahnya bisa melampaui anggaran negara. Selain mereka, juga ada para teroris yang bisa menyelundupkan senjata dan para peretas (hacker) yang mengacak-acak operasi internet.

Di bagian bawah papan catur itu muncul tantangan-tantangan baru, seperti penularan wabah penyakit dan perubahan iklim. Di bagian inilah kekuatan tersebar secara luas, tak bisa lagi membicarakan kekuatan yang unipolar, multipolar, atau hegemoni.

Bahkan buntut dari krisis keuangan saat ini adalah berpacunya perubahan teknologi secara terus-menerus sehingga membuat pusing. Namun dampak politik dari krisis ini akan menjadi berbeda bagi kelompok negara-bangsa dan kelompok bukan negara-bangsa.

Dalam politik antar negara, faktor paling penting adalah berlanjutnya "kebangkitan kembali Asia." Pada tahun 1750, jumlah populasi di Asia adalah tiga perlima dari populasi dunia dan menyumbang tiga perlima dari output ekonomi dunia.

Pada tahun 1900, akibat revolusi industri di Eropa dan Amerika, Asia hanya menyumbang seperlima dari output ekonomi dunia. Namun, pada tahun 2040 Asia diproyeksikan kembali menguasai dunia seperti di masa silam.

Bangkitnya China dan India mungkin menciptakan instabilitas, namun situasi itu bisa mendatangkan inspirasi. Belajar dari sejarah, kita bisa mengetahui bagaimana kebijakan dapat mempengaruhi hasil. Satu abad yang lalu, Inggris menghadapi bangkitnya kekuatan Amerika tanpa ada konflik. Namun, dunia gagal mengantisipasi bangkitnya Jerman dan dua masa perang dunia tak terhindarkan.

Bangkitnya aktor-aktor non-negara juga harus diantisipasi. Pada tahun 2001, sebuah kelompok non-negara mampu membunuh lebih banyak orang Amerika ketimbang yang dilakukan Jepang saat menyerang Pearl Harbor.

Selain itu, wabah penyakit yang disebarkan oleh unggas atau penumpang di pesawat bisa menewaskan lebih banyak orang ketimbang dari senjata-senjata yang digunakan pada Perang Dunia Pertama dan Kedua. Masalah yang ditimbulkan dari penyebaran kekuatan di kalangan aktor non-negara bisa lebih sulit ditangani ketimbang pergeseran kekuatan antar negara.

Tantangan bagi Barack Obama saat ini adalah lebih banyak lagi isu dan masalah yang muncul di luar kendali negara yang paling kuat sekalipun. Meski AS sukses dalam menghimpun kekuatan tradisional, kemampuan itu kian sulit untuk menghadapi situasi perpolitikan dunia.

Itu adalah efek dari revolusi informasi dan globalisasi. situasi itulah yang membuat Amerika sulit untuk mencapai kepentingannya di tingkat global bila bertindak sendirian.

Contohnya, stabilitas keuangan internasional sangatlah vital bagi kemakmuran Amerika. Namun, AS perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain. Selain itu, AS juga harus membentuk kemitraan internasonal dalam mengantisipasi perubahan iklim global, yang mengubah kualitas hidup mahluk di muka bumi.

Di dunia yang kini kian rentan oleh berbagai hal, mulai dari penyelundupan obat terlarang, wabah penyakit, dan terorisme, Amerika juga harus memobilisasi koalisi internasional untuk menghadapi berbagai ancaman dan tantangan.

Sebagai ekonomi terbesar di dunia, kepemimpinan Amerika akan tetap penting. Masalah yang menghinggapi kekuatan Amerika sejak krisis keuangan bukanlah pertanda kemunduran, namun menjadi suatu petunjuk bahwa negara terkuat sekalipun tidak bisa mencapai tujuannya tanpa bantuan pihak-pihak lain. Untungnya, Barack Obama memahami masalah itu.

Joseph Nye Jr. adalah mantan asisten menteri pertahanan Amerika Serikat dan kini profesor Universitas Harvard yang baru-baru menulis buku "The Powers to Lead." Artikel ini disadur dari Project Syndicate, 2008 (www.project-syndicate.org)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya