Pengusaha Minta Kewajiban CSR Dicabut

VIVAnews - Para pengusaha meminta ketentuan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai kewajiban perusahaan. Pasalnya, CSR merupakan sukarela dan bukan kewajiban seperti yang tercantum pada pasal 74 UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas.

Menurut Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Hariyadi B Sukamdani yang menjadi perwakilan pengusaha pada sidang pertama uji materiil terhadap pasal tersebut di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 3 Februari 2009 mengatakan ada kerancuan mengenai pemahaman TJSL dan CSR yang terdapat pada pasal 74.

Kemenko Polhukam Susun Rencana Bangun Sistem Pertahanan Semesta di IKN

Pengusaha itu mengajukan uji materiil pada Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor 53/PUU-VI/2008. Sedangkan pleno hakim terdiri dari Ketua Moh Mahfud MD, HM Arsyad, Muhammda Alim, HM Akil Mochtar, Achmad Sodiki, Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan, serta Maria Farida Indrati.

TJSL dalam UU 40/2007 tentang perseroan terbatas didasari pesatnya kegiatan CSR perusahaan, karena adanya masalah pelanggaran lingkungan oleh perusahaan. Antara lain, di bidang pertambangan dan migas. "Jika yang dimaksud adalah pelanggaran lingkungan yang diberlakukan adalah UU sektoral," kata Hariyadi.

UU sektoral, tutur dia, antara lain terdapat pada UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 41/1999 tentang Kehutanan, UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU7/2005 Sumberdaya Air.

Hariyadi menambahkan, apabila CSR dijalankan sebagai kewajiban (mandatory) dan bukan lagi sebagai kegiatan sukarela (voluntary) akan memberikan penggandaan kewajiban bagi pengusaha yang disebabkan kewajiban perpajakan dari sektoral sekaligus dari CSR.

4 Pelaku Terorisme Moskow Ternyata di Bawah Pengaruh Obat-Obatan Terlarang

Sementara itu, tutur dia, di negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, dan Eropa, CSR merupakan kegiatan sukarela yang tidak diatur Undang-Undang.

"Indonesia satu-satunya negara yang mengatur CSR sebagai kewajiban dalam hukum formal dan mewajibkan perusahaan melaksanakan dan menganggarkan, serta memberikan sanksi," ujar Hariyadi.

Terpopuler: Sandra Dewi Kena Hujat karena Suami sampai Sopyan Dado Meninggal

Adanya kewajiban dan sanksi kata Hariyadi, yang terdapat pada pasal 74 dan penjelasannya seringkali dipakai sebagai dasar bagi masyarakat agar perseroan menjalankan CSR, sehingga mengganggu jalannya perusahaan.

Pengusaha, menurut Hariyadi, terkejut pada saat penetapan UU 40/2007 sebagai Undang-Undang. Sebab, CSR tidak termasuk dalam daftar inventarisasi masalah yang diterima pengusaha. Bahkan, dalam pelaksanaannya, CSR tidak memiliki standar yang jelas.

Permohonan itu diajukan Kadin, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), serta beberapa perusahaan lainnya yang berharap MK mengabulkan usulan tersebut. Sebab, hal itu bertentangan dengan persamaan dalam hukum seperti pada UUD 1945 pasal 28D ayat (1) dan pasal 28I ayat (2), serta 33 ayat (4).

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita

Golkar: Kabinet Tidak Boleh Dibatasi karena Prerogatif Presiden

Wakil Ketua Umum Golkar mengatakan bahwa tak boleh ada pembatasan dalam membentuk kabinet, karena merupakan hak prerogatif presiden.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024