Hasil Pemilu 2009

Senjakala Beringin

VIVAnews— KALLA berjalan penuh percaya diri ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) 20 Menteng, Jakarta Pusat. Matahari pagi cahayanya kekuning-kuningan, Kamis 9 April lalu.

Viral Ramalan Hard Gumay Soal Chandrika Chika: Kurangi Aktivitas yang Banyak Melanggar Aturan

Antrian ke bilik suara mulai ramai. Kalla tiba bersama istrinya, Mufidah. Wajahnya cerah. Dia begitu murah senyum.   
Setelah mendapat surat suara, keduanya menuju ke bilik. 

“Sudah mantap?”, tanya dia kepada Mufidah. Perempuan berbaju kurung kuning itu tak menjawab. Dia tersenyum.

8 Negara dengan Penurunan Tercepat di Asia

Lalu mereka berdua masuk ke bilik suara yang bersebelahan. Setelah tiga menit, Kalla keluar. Dia memasukkan kertas itu ke kotak suara. Mufidah belum tampak. Rupanya, dia masih berada di dalam bilik.

"Dia masih mikir. Gagal kampanye saya selama ini," kata Kalla bercanda.

Tak lama, Mufidah selesai. Mereka pun pulang. TPS di Jalan Karawang Menteng itu masih menunggu warga lain.

Siang hari.

Jusuf Kalla terkejut. Ada 130 pemilih di TPS itu tidak memilih alias golput.  "Ya Allah, begitu banyak,” kata Kalla. Hanya 140 yang memilih. Padahal pemilih terdaftar 270 orang.

”Tapi yang paling penting, di TPS lain kita boleh kalah," kata Kalla. ”Di sini tak boleh”, ujarnya. Maksudnya, dia Ketua Umum Golkar. Maka di TPS 20 Menteng, partai beringin itu tak boleh tumbang.

Sore hari.

Penghitungan suara di TPS itu sudah berakhir. Partai beringin itu mendapat 23 suara. Sementara, Partai Demokrat 48 suara. Posisi ketiga adalah PDI Perjuangan, dan Partai Gerakan Indonesia Raya 18 suara.   

Golkar kalah telak.



Kekalahan di TPS 20 Menteng itu seolah pertanda buruk bagi Kalla. Takdir itu kian jelas ketika pada malam hari, saat hasil penghitungan cepat (quick count) menunjukkan kecenderungan perolehan Golkar.

Hasil penghitungan cepat Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), misalnya.  Tercatat Demokrat mendapat 19,7 persen, Golkar 14, 8 persen, PDI Perjuangan 14,7 persen.

Memang hasil itu tak menunjukkan kenyataan akhir. Penghitungan cepat adalah hasil dari pantauan 2000 TPS. Tapi selain LP3ES, hasil penghitungan cepat dari dua lembaga survei lain, menunjukkan hasil sama.

Cirus Surveyor Group, misalnya. Hasil lembaga itu merekam Partai Demokrat 20,61 persen, Golkar 14,57 dan PDI Perjuangan 14,26 persen. Data dari Lembaga Survei Indonesia juga mirip. Golkar 13, 98 persen. Di atasnya ada PDI Perjuangan 14,41 persen, dan Partai Demokrat 20,46 persen.

Tentu, kecenderungan itu mau tak mau membuat petinggi Golkar sulit tidur nyenyak. Pada Pemilu 2004 silam, Golkar adalah partai pemenang dengan menggondol suara nasional 21,58 persen. Kalau melihat kecenderungan hasil penghitungan cepat Pemilu 2009, maka suara Golkar kini anjlok rata-rata tujuh persen.

Tapi, toh masih ada harapan. Penghitungan cepat bukan hasil akhir. “Sifatnya sementara, belum bisa ditanggapi,” kata Kalla pada malam harinya. Dia menggelar junpa pers di Markas Golkar, Jalan Mangunsarkoro 2, Menteng.

Secara tersirat Kalla tampak lapang dada. Dia mengatakan bisa menerima apa yang terjadi.



Apa sebab suara Golkar turun? Wakil Direktur LP3ES Sudar D. Atmanto mengatakan itu akibat munculnya banyak partai baru. Misalnya, Partai Hanura dan Gerindra. Padahal pada 2004, ketua Partai Gerindra dan Hanura adalah calon presiden dari Partai Golkar.

Dua partai baru itu, kata Sudar, turut menggerus suara Golkar. Survei LP3ES sebelumnya menunjukkan hal itu. Sayangnya, Golkar telat membuat antisipasi.

Faktor lain, kata Sudar, Golkar kini tak punya tokoh sentral. Di partai itu ada sederet nama: Jusuf Kalla, Sri Sultan Hamengkubowono X, Agung Laksono, dan Surya Paloh.  “Boleh saja banyak tokoh. Tapi figur akhir hanya satu,”ujar Sudar. Ini penting agar Golkar bisa solid.

Direktur Cirus Andrinof Chaniago juga melihat hal serupa. Golkar kalah karena tak ada tokoh kuat, dan bisa mendongkrak citra partai. Di barisan anggota dewan, Golkar juga biasa saja. Tak ada prestasi menonjol.

Akibatnya, pendukung Golkar lari ke partai lain. “Suara Golkar lari ke Demokrat,” kata Adrianof.  Sebab lain, Golkar tak membawa pesan baru dalam kampanye lalu. Masyarakat akhirnya melirik partai yang paling menjanjikan.

Soal larinya suara Golkar ini, Cirus punya banyak temuan menarik. Antara lain, suara Partai Demokrat membengkak karena ada sumbangan dari bekas pemilih Golkar. Jumlahnya lumayan, 21 persen.

Sementara, Gerindra kebagian 20,45 persen suara dari bekas pemilih Golkar. Hanura tak ketinggalan. Partai itu juga ketiban rezeki, 22 persen suaranya datang dari pelarian Partai Beringin.

Begitu mudah suara pendukung itu pergi. Golkar tampaknya mengidap masalah ikatan partai dan pemilih. Dalam bahasa Saiful Mujani, Direktur Lembaga Survei Indonesia, “tidak ada magnet massa di Golkar”.

Menurut Saiful, Jusuf Kalla memang Ketua Umum Golkar. Tapi Kalla bukan pusat kekuasaan di partai itu. Ada nama lain seperti Surya Paloh dan Agung Laksono. Mereka kebetulan semua saudagar. Padahal ada kultur di Jawa, penguasa tak datang dari kelas pedagang.

Ini berbeda dengan sosok Yudhoyono. Kata Saiful, Yudhoyono bukan pedagang. Dia tipe aristokrat. Tapi, bukan model aristokrat lama, seperti keturunan raja atau ningrat. SBY adalah aristokrat hasil pendidikan negara, yaitu tentara.

Saiful menilai suara Golkar paling banyak digerogoti Demokrat. Contohnya Jawa Barat. Dulu Jawa Barat adalah basis Golkar. Tapi kini disapu Demokrat. Di Aceh juga demikian. Aceh dulu lumbung suara Golkar. Kini daerah itu menjadi milik Demokrat.

Sebetulnya, dari waktu ke waktu, melorotnya suara Golkar sudah terbaca. Lembaga Survei Indonesia menemukan dukungan Golkar melorot sejak Februari 2009. Pada bulan itu Golkar mendapat dukungan  16 persen. Pada Maret, turun jadi 15 persen. Angkanya makin lunglai pada awal April 2009: 13 persen.



Tapi dari kubu Golkar, tak semua setuju pandangan dari luar itu. Wakil Sekjen Golkar Rully Chairul Azwar menuding, selain sistem suara terbanyak, jumlah partai yang ramai, juga penyebab menipisnya suara. Bukan hanya Golkar. Partai lain, kata dia, suaranya juga melorot.

Lalu siapa patut bertanggungjawab? Rully merasa hal itu bukan beban Dewan Pimpinan Pusat. “Daerah juga,” ujar Rully. Tokoh teras Golkar lainnya, Malkan Amin, mengaku partainya akan mengevaluasi penurunan suara itu.

Partai Golkar memang kecewa. Tapi Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar, Andi Mattalatta, mengatakan partainya tidak akan saling tuding.”Kita tidak punya tradisi menyalahkan orang," kata Mattalatta.

Suara yang mungkin harus disimak datang dari Akbar Tandjung. Belakangan namanya santer disebut calon wakil presiden bagi Yudhoyono. Kata Akbar, kegagalan Golkar karena tak mampu membagun citra sebagai partai pemerintah.

Ungkit Panasnya Debat di Pilpres 2024, Prabowo: Tapi Kita Tetap Satu Keluarga

Akibatnya, hal-hal positif dalam pembangunan tak bisa mengerek perolehan suara. Demokrat justru memetik keuntungan. Lebih tajam, Akbar menukik ke pokok soal. Kata dia: “Kepemimpinan saat ini gagal membangun soliditas partai”.

Ari Sigit, cucu mantan Presiden Suharto

4 Perempuan Pernah Jadi Istri Ari Sigit, Suci Winata Masih Setia

Baru-baru ini, Ari Sigit menjadi pusat perhatian di media sosial. Cucu Soeharto itu telah sah menjadi suami dari Suci Winata. Awalnya, perhatian terhadap mereka muncul se

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024