Rapimnasus Golkar

Harga Diri Beringin

VIVAnews--TERDENGAR suara Sekretaris Jenderal Golkar Soemarsono berat membacakan dua catatan itu. Setelah berusaha agar kerjasama dengan Partai Demokrat langgeng, dia pun harus menyampaikan “kata akhir” itu, Rabu 22 April 2009, di markas Golkar, Slipi, Jakarta Barat.

Catatan pertama, “Koalisi dengan Demokrat tak mencapai titik temu,” ujarnya. Maka, sebagai catatan kedua, Dewan Pimpinan Pusat Golkar memberikan mandat penuh kepada ketua umum, untuk “berkomunikasi dengan partai-partai politik lain membangun pemerintahan kuat dan efektif”.

Kutukan Sungkyunkwan Scandal: 5 Pemerannya Terjerat Kontroversi Bertubi-tubi!

Pada hari itu, koalisi Demokrat dan Golkar, yang menopang pemerintahan SBY-Jusuf Kalla lima tahun terakhir, resmi tamat. Ke depan, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla boleh melirik partai lain untuk berkoalisi.

Keputusan itu memang mengagetkan. Sebelumnya, Soemarsono rapat tertutup dengan petinggi partai Golkar. Hadir antara lain Jusuf Kalla, Agung Laksono dan Aburizal Bakrie.

Putusan “cerai” dipilih karena dialog kedua tim dari partai itu tak bertemu. Golkar diwakili Tim Tiga, yaitu Soemarsono, Muladi dan Andi Mattalatta. Mereka berunding dengan Tim Sembilan dari Demokrat, pimpinan Hadi Utomo.

Perundingan, yang dikabarkan liat itu, berlangsung sepekan. Tapi, hasilnya buntu. Kedua kubu tak sepakat soal nama calon wakil presiden (cawapres). Golkar ingin mengajukan satu nama, Jusuf Kalla, sebagai calon tunggal pendamping Yudhoyono.

Bulu Mata, Salah Satu Kunci Penampilan Kris Dayanti

Tapi Demokrat menolak. Partai itu ingin Golkar mengajukan lebih dari satu nama.

Soal urusan calon tunggal wakil presiden sempat ramai di kalangan dalam Golkar. Dari daerah, misalnya, muncul sejumlah usulan nama untuk bursa calon wapres. Selain Jusuf Kalla, ada nama Akbar Tandjung, Surya Paloh, Agung Laksono, Aburizal Bakrie dan Sri Sultan Hamengkubowono X. 

Keren! Mbah Wahyuni, Pendaki Berusia 71 Tahun yang Sudah Taklukkan Banyak Gunung di Indonesia

Maka, suhu di Golkar sempat panas saat hanya nama Kalla yang muncul. Pencalonan satu nama itu diprotes keras Akbar Tandjung. Bekas Ketua Umum Golkar itu mengusulkan agar calon wapres lebih dari satu.

Alasan Akbar, usulan itu adalah aspirasi daerah. "Mereka berpendapat lebih dari satu calon akan menjaga kebersamaan Golkar," kata Akbar. Dia sendiri menyatakan siap mendampingi Yudhoyono.

Pencalonan nama wapres itu pun memperkeras variasi kekuatan faksi di Golkar. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jawa Barat Uu Rukmana, misalnya, mendukung Akbar. Nyaris semua pimpinan Golkar kabupaten dan kota di Jawa Barat, kata dia,  menolak Jusuf Kalla maju sebagai calon pendamping Susilo Bambang Yudhoyono.

"Kalau bisa kader lain yang lebih berpotensi. Itu suara arus bawah," ujar Uu Rukmana. Calon itu siapa lagi kalau bukan Akbar Tandjung.
Dukungan terbuka bagi Akbar pun bermunculan. “Akbar Tanjung lebih punya kemampuan,” ujar Dewan Pakar Golkar Marzuki Darusman.

Mantan Jaksa Agung ini mengklaim pengajuan Akbar sebagai calon wapres Yudhoyono mendapat dukungan 33 Dewan Pimpinan Daerah.
Alasan Marzuki, Akbar dipilih terbanyak setelah Jusuf Kalla dalam penjaringan internal Golkar. Itu membuktikan taring Akbar Tandjung di Golkar masih cukup kokoh.

Soal pencalonan wapres ini memang membuka banyak kemungkinan di tubuh Golkar. Rentang kutub kekuatan kian melebar. Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi Golkar, Syamsul Muarif, mengakui di tubuh Partai Golkar berkembang empat faksi soal Pemilu Presiden 2009.

Faksi pertama, pendukung Jusuf Kalla sebagai calon presiden walaupun kalah dalam pemilu legislatif. Faksi ini berasal dari aspirasi daerah. Salah satu penyokongnya Ketua Golkar Yogyakarta, Gandung Pardiman.

Gandung mengkritik keras Golkar saat melobi Demokrat. Kata dia, sikap itu mengesankan Golkar terlalu “menghambakan” diri. “Apa artinya koalisi kalau menghambakan diri?" kritik Gandung. Dia mendorong kubu beringin punya capres sendiri. "Kalah dan menang, itu soal nanti".

Faksi kedua adalah pendukung duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Aliran ini didukung Ketua DPP Golkar, Muladi, Burhanuddin Napitupulu, Firman Soebagyo, dan Rully Chairul Azwar. Juga bergabung Malkan Amin, Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, dan Priyo Budi Santoso, Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR-RI.

Faksi ketiga mendukung Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai calon presiden. Faksi ini adalah faksi lama  yang bercokol di tubuh Golkar. Pendukungnya adalah Syamsul Muarif sendiri dan Ketua DPP Golkar bidang Pertanian, Anton Lesiangi.

Dan faksi keempat, adalah kubu pendukung koalisi Golkar dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Faksi ini dipegang Ketua Dewan Pembina Golkar, Surya Paloh. Gerilya Surya Paloh menyatukan dua kekuatan besar di parlemen ini bukan barang baru.

Dua tahun lalu di Tokyo, Jepang, bersama Taufiq Kiemas, Paloh telah mengadakan persetujuan membangun koalisi strategis dengan PDI Perjuangan.  Puncak manuver faksi ini adalah mempertemukan Megawati dan Jusuf Kalla di Jakarta sebelum pemilu legislatif.

Kamis, 23 April 2009. Rapat  Pimpinan Nasional Khusus Golkar akhirnya memutuskan memilih faksi pertama. “Mencalonkan Kalla sebagai calon presiden,” kata Syamsul Muarif.

Padahal sebelumnya, menurut Agung Laksono, di Rapat Pimpinan Nasional Khusus sempat mencuat dua faksi. Yang pertama ingin membentuk tim lobi baru mendekati Demokrat. Yang kedua, mendesak Golkar berkoalisi dengan partai lain di luar Demokrat.

Dengan keputusan itu, perpisahan Golkar dengan Demokrat sudah jadi keniscayaan. Ketegangan kedua partai dalam kompetisi pemilu legislatif kemarin tampaknya memperkeras sentimen itu. Misalnya, Golkar merasa “dilecehkan” dengan sesumbar tokoh Demokrat yang menyebut suara beringin hanya akan mencapai 2,5 persen.

Muladi membenarkan keputusan menetapkan Jusuf Kalla sebagai calon presiden, sebetulnya sarat emosi. "Harga diri partai sangat menonjol di sini," kata Muladi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya