VIVAnews - Pemerintah Indonesia tidak melakukan hedging atau lindung nilai terhadap pinjaman luar negeri Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia tidak menerapkan kebijakan seperti Mexico yang melakukan hedging atas harga minyak ekspor mereka.
Indonesia, menurut Menteri Sri Mulyani, tidak melakukan hedging atas pinjaman luar negeri. Indonesia lebih memilih mengalokasikan dana dalam bentuk risiko fiskal yang disiapkan untuk berjaga-jaga.
"Misalnya, ada perubahan kurs yang tidak sesuai dengan asumsi di APBN," kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa malam, 28 April 2009.
Akibat pelemahan kurs rupiah terhadap dolar, utang valuta asing baik oleh swasta atau pemerintah memang mengalami lonjakan. Perusahaan yang melakukan hedging atas pinjaman valasnya cukup aman dari fluktuasi kurs, kendati beberapa perusahaan lainnya tidak akan lantaran rupiah melemah melebihi kontrak yang diteken.
Meski ada perubahan kurs, Indonesia tergolong negara yang patuh membayar cicilan utang. Di APBN, pemerintah selalu mengalokasikan anggaran untuk pembayaran cicilan utang, baik pokok dan bunga utang. Total utang luar negeri Indonesia saat ini sekitar US$ 76 miliar.
Menurut Sri Mulyani, besaran dana yang dianggarkan untuk risiko fiskal dibahas bersama dengan Panitia Anggaran DPR. Selain untuk mengantisipasi perubahan asumsi makroekonomi, cadangan risiko fiskal digunakan untuk mengantisipasi jika ada penurunan penerimaan negara.
Pada APBN tahun ini, pemerintah mengalokasikan dana cadangan risiko fiskal sebesar Rp 4,1 triliun. Jumlah ini turun 73 persen dari usulan semula sebesar Rp 15,8 triliun.