Catatan Perjalanan ke Polandia (III)

Menuju Auschwitz

VIVAnews - Sesuai rencana, Petr, supir sewaan kami telah menjemput tepat waktu. Minggu, 28 Desember 2008 jam 09.30 kami telah duduk di VW Caravel yang dikendarainya menuju Auschwitz. Setelah saling berkenalan dan menyebutkan nama masing-masing, Petr membawa mobil itu melaju ke daerah Auschwitz.

Prediksi Liga Europa: AS Roma vs AC Milan

Selama satu jam perjalanan dari Krakow, Petr mencoba menjelaskan kepada saya dan teman saya  beberapa tempat yang penting untuk kami ketahui. Dengan kampuan Bahasa Inggris yang sangat terbatas, Petr  tetap semangat menjadi pemandu yang baik.

Sepanjang satu jam perjalanan kami melihat desa-desa yang tertata rapi. Tanpa terasa kami pun tiba di Auschwitz pada jam 10.30 pagi. Petr mengantar kami sampai ke pintu masuk kamp konsentrasi.

Serahkan Kesimpulan Sidang Sengketa Pilpres, Anies: Semoga MK Beri Keputusan yang Baik

Sebelumnya seperti rencana, kami diantar membeli buku yang bisa menjadi pemandu kami selama di kamp tersebut.Memasuki areal kamp konsentrasi, perasaan kami menjadi tercekam. Hal ini ditambah kedatangan saya pada musim dingin dan kamp tersebut diliputi salju.

Suasana makin mencekam karena tidak banyak wisatawan yang datang hari itu. Saya membayangkan bagaimana  dulu para tawanan ini ditampung dan dipaksa serta disiksa oleh Nazi.

Pelari Indonesia, Malaysia Hingga Amerika Siap Bertarung di Trail of The Kings Danau Toba 2024

Pintu gerbangnya masih sama seperti pada tahun 1940. Tulisan ARBEIT MACHT FREI yang artinya work brings freedom masih tegak berdiri. Mencekam. Pintu kematian lebih tepatnya.

Sebelum masuk saya membaca tulisan yang mengatakan bahwa Auschwitz dikenal dunia sebagai simbol teror, genosida dan holocaust.

Jerman yang saat itu menguasai Polandia pada PD II, telah mendirikan suatu kamp konsentrasi  diluar kota Oswiecim pada tahun 1940.

Kamp konsentrasi itupun terus diperbanyak di tempat sekitar itu menjadi Auschwitz I, Auschwits II – Birkenau dan Auschwitz III – Monowitz dengan lebih dari 40 sub kamp konsentrasi.

Membaca sejarah ini saja sudah membuat saya merinding, apalagi membayangkan  apa yang ada di dalamnya. Namun perasaan ingin tahu itu terus membawa saya memasuki blok-demi blok yang dibangun untuk para tawanan tersebut.

Langkah pertama membawa saya melihat blok-blok yang suram, menyedihkan dan lebih tepatnya mengerikan. Di salah satu blok, saya membaca bahwa bahwa kamp konsentrasi ini didirikan tahun 1940 yang akhirnya oleh Nazi digunakan untuk menawan orang-orang, terutama keturunan Yahudi, dari seluruh Eropa seperti tawanan perang dari Soviet, Yahudi dari Cekoslovakia, Yugoslavia, Perancis, Austria, German bahkan keturunan Gipsi (Romani).

Awalnya kamp konsentrasi ini terdiri dari 20 bangunan dengan rincian 14 bangunan satu lantai dan 6 bangunan bertingkat. Pada tahun 1941 sampai 1942, semua bangunan diubah menjadi dua lantai dan ditambah bangunan baru sebanyak 8 gedung dengan tenaga tawanan tersebut.

Pada setiap tingkatnya dihuni antara 13.000 sampai 16.000 orang, bahkan ada yang sampai 20.000 orang . Melihat bangunan yang tidak sangat besar, saya membayangkan betapa berjubelnya orang-orang yang ditawan sementara di dalam bangunan tersebut miskin fasilitas.

Dengan semakin bertambahnya tawanan, makin menjadikan kawasan tersebut sebagai “gigantic and horrific factory of death’ sehingga harus dibangun Auschwitz II Birkenau pada tahun 1941 yang letaknya 3 kilometer dari Auschwitz I, kemudian masih ditambah lagi dengan Auschwitz II Monowice pada tahun 1942.

Memasuki blok demi blok yang bisa dilihat oleh turis, saya semakin merinding. Tidak bisa membayangkan betapa menyedihkannya hidup mereka saat itu. Berbagai foto dan keterangan yang menjelaskan kepada pengunjung bahwa mereka dibawa ke kamp tersebut dengan kereta dari daerah asalnya.

Sebagian dari mereka adalah anak- anak dan pemuda. Saat itu terdapat 232.000 anak-anak dan pemuda yang menghuni kamp tersebut. Saat para tawanan itu tiba dengan kereta, sebagian dari mereka diperiksa kesehatannya oleh dokter. Yang dianggap mampu bekerja langsung dipekerjakan, yang tidak dipersilakan untuk mandi dulu.

Mandi? Jangan pernah diartikan mandi seperti normalnya orang mandi. Namun mereka dimasukkan dalam kamar gas dan berakhirlah hidup mereka seketika. Sebagian dari orang-orang yang datang bahkan tidak sempat diperiksa oleh dokter, tetapi langsung dimandikan yang kemudian badan mereka akan dikremasi dengan sadisnya. Tempat untuk memandikan mereka paling banyak di Auschwitz II Birkenau.

Mereka yang hidup masih harus bekerja dan disika. Tidak peduli pria atau wanita. Mereka tinggal di barak dan tidur dengan kamar tidur bersusun,yang sangat menyayat hati, atau sebagian juga tidur dilantai beralas jerami. Berjubel setiap ruangannya.

Masya Allah, sarden dalam kaleng saja masih ada sela-selanya! Ini mereka tidur dalam ruangan yang gelap, bahkan ada yang harus berdiri karena sempitnya. Saya sebenarnya mencoba mengambil foto bagaimana situasi tidur mereka namun jepretan hasil colongan saya kurang sempurna untuk ditunjukkan.

Bagi yang bertahan hidup, setiap hari mereka harus antri makanan yang diberikan dalam kaleng rombeng. Sisa-sisa kaleng tempat makan mereka masih bisa dilihat dalam kamp tersebut. Tidak saja kaleng yang menjadi saksi kekejaman masa itu. Namun ada juga segunung kaki-kaki palsu, yang menunjukkan bahwa orang cacat pun tidak mendapat pengecualian di kamp tersebut, yakni harus mati!

Semakin memasuki blok tempat barang-barang bukti dikumpulkan, hati saya semakin ciut. Ngeri sekali. Saya melihat tumpukan rambut pirang yang melebihi gunung! Ini adalah rambut rambut mereka yang digunduli sebelum diidentifikasi.

Ngerinya, masih ada rambut yang dikepang utuh. Kebanyakan rambut anak-anak. Artinya cara mereka memotong rambut tentu juga tidak mausiawi. Mengerikan sekali. Setelah itu saya melihat juga tumpukan sikat gigi, sikat rambut yang banyak sekali, artinya jumlah mereka juga banyak.

Blok terakhir yang saya kunjungi adalah Blok 11 yang dikenal dengan death block atau blok kematian. Sebelum masuk blok ini nurani saya mengatakan jangan masuk karena akan melihat sesuatu yang diluar batas kemanusiaan. Tapi naluri petualang saya mengatakan masuklah dan lihatlah saksi sejarah itu dan kabarkan pada seluruh manusia untuk saling berdamai. Akhirnya jiwa petualang saya yang menang. Saya memasuki blok kematian itu.

Jalan masuk ke blok itu merupakan lorong panjang dan gelap, seperti aslinya. Di kiri dan kanan terdapat ruangan kecil-kecil tanpa jendela yang diisi oleh ratusan manusia. Tidak ada lampu, tidak ada udara bebas masuk, hanya ada satu celah kecil saja. Pengap sekali karena juga struktur ruangan yang rendah. Napas saya juga sudah semakin habis.

Makin saya masuk, rasanya makin menembus lorong waktu kembali ke masa lampau. Saya intip ruang demi ruang yang sangat mengerikan itu. Sampai diujung, ada sebuah ruangan dengan lukisan di dinding yang ditulis oleh seorang tentara yang dipenjara di ruang itu. Lukisan Yesus Kristus yang dia ukir di tembok.

Sekeluarnya dari ruangan yang gelap dan pengap tadi, saya memasuki sisi lain dari Blok Kematian itu. Diceritakan dalam diorama bagaimana pria dan wanita yang dicukur ramburnya, ditelanjangi, dimandikan kemudian dibawa ke tembok kematian untuk diantarkan nyawanya kepada sang pencipta!

Saya sempat mengambil foto diam-diam di beberapa lokasi. Hasilnya tidak bagus karena memang tidak diijinkan. Tapi di tembok kematian, saya boleh mengambil foto. Saya akhirnya berfoto di tembok itu dan tentu saja di pagar kawat berduri berlapis.

Kawan, mungkin sepanjang membaca cerita tadi anda bertanya. Berapa jumlah orang yang mati di kamp konsentrasi itu? Pertanyaan yang sama juga menghantui saya. Tidak ada jawabannya! Tidak ada seorangpun mengetahui berapa yang menjadi korban mati. Tidak saja karena dirahasiakan tetapi memang karena tidak pernah ada data, selain banyaknya jiwa yang langsung melayang setelah tiba di kamp tanpa diregistrasi dulu.

..it is very difficult to determine precisely the number of people murdered there. For many years this problem has been debated by historian from various countries. They give different numbers, most often to 1.5 million victims”. (Guide Book:  Auschwitz Birkenau, p. 6)

Itulah jawaban yang saya temukan diakhir perjalanan saya mengunjungi museum yang sangat menyentuh kemanusiaan, bagi siapapun.

Sore itu saya kembali ke Krakow dengan kesedihan. Saya jadi ingat kawan saya yang pernah mengatakan bahwa melihat museum di Polandia adalah melihat kesedihan. Dan saya memang sudah membuktikannya.

Malam hari saya kembali ke Krakow dengan kereta yang sama. Badan saya sudah lelah, dan hanya ada satu angan saya sekembalinya ke Praha. Saya ingin makan yang hangat, cukup nasi hangat dengan telor dadar kegemaran saya! Itu saja…

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. Saya sudah kembali ke Praha pagi ini, sudah menulis untuk teman-teman dan tentunya sudah menikmati nasi putih dengan telur dadar yang saya impikan sejak kemarin. (Praha, 29 Desember 2008)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya