VIVAnews - Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan parlemen, Eva Kusuma Sundari, mengatakan sistem suara terbanyak bakal menyingkirkan calon anggota legislatif perempuan berkualitas dari parlemen.
“Perempuan biasa yang hanya mengandalkan kerja, tapi punya kapasitas dan kapabilitas sebagai politisi, akan tersingkir,” kata Eva kepada VIVAnews, Rabu 31 Desember 2008.
Putusan Mahkamah Konstitusi telah membatalkan sistem nomor urut (list sistem) Undang-undang Pemilihan Umum. Selanjutnya mengganti dengan sistem suara terbanyak. Artinya, hanya calon yang meraih dukungan banyak yang sukses masuk parlemen.
Perubahan sistem itu, kata Eva, merusak budaya kerjasama calon anggota legislatif perempuan dan laki-laki di PDIP. Menurut Eva, mekanisme suara terbanyak hanya memicu persaingan tiap calon. “Maka yang punya peluang menang adalah pemodal, pelawak, artis dan sejenisnya,” kata dia.
Eva mengatakan sistem nomor urut sebenarnya tepat. Sistem itu di PDIP diterapkan melalui gotong royong. Calon perempuan yang berkualitas, tapi tidak mempunyai modal, dapat kerjasama dengan calon laki-laki.
“Kami yang jalan ke komunitas dengan bantuan dana atau materi dari calon laki-laki yang mapan,” kata Eva. “Orientasi kami adalah menang sebanyak-banyaknya melalui coblos tanda partai terutama di basis dengan pemilih tradisional.”
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan penerapan sistem suara terbanyak justru makin sulit menjaring kandidat perempuan yang berkualitas.
“Justru yang terjadi dikhawatirkan cuma demagog-demagog yakni orang yang mampu menggunakan uang dan pengaruhnya yang bisa menjaring suara,” kata Wakil Ketua Badan Legislatif parlemen itu.