Pemilu 1977

Raja Dangdut Dilarang Kampanye


Tiada lain yang diuntungkan dari  fusi partai pada 1973 kecuali Golongan Karya. Dengan menggunakan alasan “trauma” terhadap kekacauan politik akibat sistem multipartai di tahun 1950-an, Orde Baru mengelompokan partai-partai berdasarkan kategori ideologi. Kategori itu tidak lain semata karena tujuan Orde Baru yang ingin menempatkan kekuatan politik selain Golkar di bawah kontrol kekuasaan.

Untuk kali pertama pada 1977 pemilu diikuti oleh tiga peserta, yakni, pertama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang lahir pada 5 Januari 1973 sebagai hasil penggabungan NU, Parmusi, PSII dan Perti, kedua, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai fusi lima partai: PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba, dan IPKI dan ketiga, Golongan Karya (Golkar) sebagai mesin politik Orde Baru. Penyederhanaan itu semakin diperkuat dengan terbitnya UU 3/1975 tentang Parpol dan Golkar dan UU 4/1975 tentang Pemilu.

Dengan menyatukan berbagai unsur kekuatan politik ke dalam dua partai maka kemungkinan konflik internal pun semakin besar. Dengan demikian dua partai hasil penyederhanaan itu rapuh dan secara tidak langsung telah dikebiri oleh penguasa. Perolehan suara pun tidak terpecah-pecah ke dalam beberapa partai sehingga Golkar bisa meraih suara lebih banyak di dalam pemilihan 1977.

Pemerintah Orde Baru juga melakukan intervensi ke dalam partai untuk membuat partai tetap dalam keadaan “mandul”. Misalnya pemerintah melarang Guntur Soekarnaputra untuk menjadi juru kampanye PDI. Rezim yang berkuasa khawatir kalau kharisma Bung Karno melalui Guntur akan memeroleh banyak simpati dari rakyat yang pada akhirnya bisa membawa PDI keluar sebagai pemenang Pemilu. Selain Guntur, Rhoma Irama si raja dangdut pun dilarang berkampanye untuk PPP.

Golkar semakin berada di atas angin ketika Menteri Dalam Negeri Amirmachmud yang juga menjabat Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) menerapkan kebijakan monoloyalitas untuk seluruh pegawai negeri. Kebijakan itu banyak disebut-sebut sebagai “politik bulldozer” yang membuat Golkar selalu memenangi Pemilu. Dalam Pemilu 1977 Amir diolok-olok dengan sebutan “wasit yang ikut menendang bola”.

Masa kampanye Pemilu 1977 berlangsung selama 60 hari, sejak 27 April – 25 Juni 1977. PPP yang didukung massa berbasis Islam menggenjot para jurkamnya untuk berkampanye semenarik mungkin. Usaha mereka memang tidak sia-sia, paling tidak mereka mendapatkan 99 kursi di DPR. Suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah lima kursi dibanding gabungan kursi empat partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.
Sementara itu PDI yang secara internal rawan konflik hanya mendapatkan 29 kursi di DPR. Golkar yang didukung oleh kebijakan monoloyalitas pegawai negeri meraih 232 kursi, sekaligus menduduki posisi pertama di dalam perolehan suara nasional. Sejak 1977 inilah konsolidasi Golkar sebagai generator politik Orde Baru semakin dimantapkan, terlebih ketika PPP berhasil “mencuri” suara Golkar.

Seperti biasa, sebagai akhir cerita dari Pemilu ini adalah Sidang Umum MPR yang hasilnya bisa ditebak: Soeharto jadi presiden (lagi). (Bonnie Triyana)

Kwarnas Curigai Upaya Terselubung di Balik Penghapusan Ekstrakurikuler Wajib Pramuka di Sekolah
Habib Aboe Bakar Al HAbsyi di DPP PKB bersama elite PKS dan PKB

PKS Bakal Gelar Halal Bihalal Sabtu, Prabowo-Gibran dan Semua Parpol Diundang

PKS akan menggelar acara halal bihalal pada Sabtu, lusa, di kantor DPP PKS. Semua paslon capres cawapres diundang, termasuk parpol

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024