Pelantikan Presiden AS

Resep Obama untuk Jalur Gaza

VIVAnews - KISAH ini terjadi dua pekan lalu.  Presiden George Walker Bush berpidato di Philadelphia, Amerika Serikat. Inilah pidato terakhirnya sebagai presiden di kota itu. Tanggal 20 Januari ini Barack Hussein Obama dilantik. Bush tamat. Dalam pamitan di Philadelphia itu dia berkisah tentang prestasinya.

Thailand Prime Minister Welcomes Albino Buffalo to Government House

Nun jauh dari podium George Bush itu, di ibu negara Israel Tel Aviv, Ehud Olmert sedang gundah gulana. Perdana Menteri Israel itu resah sebab 15 negara anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bermarkas di New York segera membahas resolusi nomor 1860. Resolusi itu memaksa Israel angkat kaki dari Palestina.

Semua negara sudah setuju. Amerika Serikat, sekutu setia yang selama ini sigap melindungi Tel Aviv tampaknya juga setuju. Boleh dibilang tinggal ketuk palu. Dan Olmert jelas cemas.

Peluang Liverpool Gaet Xabi Alonso Mengecil

Tiba-tiba George Walker Bush menghentikan pidatonya. Ada telepon super penting. Si penelepon adalah Ehud Olmert. Jarang-jarang presiden negeri adidaya itu turun dari podium hanya untuk sekedar menerima telepon.

Ajudan Presiden Bush sesungguhnya sudah berusaha membendung  Olmert: Bush tidak bisa diganggu, sedang berpidato. Tapi kepada sang ajudan  Olmert bersuara keras,“ Saya tidak peduli. Saya mau bicara dengan dia sekarang”. Dan Bush pun turun panggung.

Netizen Murka Disebut Suara Paslon 02 Nol: Mungkin Aku yang Dimaksud Angin Tak ber-KTP

Olmert penuh semangat menuturkan cerita ini kepada wartawan di Tel Aviv,Senin pekan ini. Perdana Menteri yang tengah didera skandal korupsi itu seperti ingin menunjukan kepada rakyat Israel bahwa dia berhasil menekan  Bush menolak resolusi 1860 itu.

Olmert kemudian melanjutkan. “ Saya bilang kepada Bush bahwa Amerika Serikat tidak bisa mendukung seruan Dewan Keamanan PBB itu”. Bush, kata Olmert, akhirnya memanggil Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice dan memerintahkan agar menolak resolusi itu.

Dewan keamanan PBB memang tetap menerbitkan resolusi itu tanpa dukungan Amerika Serikat. Dan itu menjadi alasan bagi Israel untuk mengabaikannya. Hingga hari ini serdadu negeri itu tetap mengempur Jalur Gaza. Lebih dari seribu tewas.

Cerita Olmert secara telanjang menjelaskan bahwa dalam perkara penyerbuan ke Jalur Gaza  sikap politik luar negeri Amerika Serikat bisa disetir dari Tel Aviv.

Bahwa Amerika Serikat tidak lagi seperkasa November 2007, ketika Presiden Bush begitu enteng memaksa Olmert duduk di meja perundingan dengan petinggi Hammas di Annapolis. Bahwa Amerika Serikat tidak lagi sekuat 17 September 1978 ketika Jimmy Carter memaksa Menachem Begin duduk semeja dengan Anwar Sadat dalam perjanjian Camp David.

Memudarnya keperkasaan Washington itu  sesungguhnya sudah dirasakan hampir semua negara di kawasan Timur Tengah setahun terakhir. Setelah Bush sukses menundukkan Afganistan dan menyeret Sadam Hussein ke tiang gantungan, tapi terus-terusan tunduk terhadap Israel, rakyat di Timur Tengah kerap kali melawan Washington dalam rupa-rupa cara, termasuk dengan cara membanyol.

Lihatlah apa terjadi setelah Muntadar Al Zaidi melempar sepatu ke wajah Bush, di Baghdad, 14 Desember 2008. Rakyat di sejumlah negara di Timur Tengah ramai-ramai membeli sepatu yang mirip dengan sepatu itu.

Sebuah pabrik meningkatkan kapasitas produksi sepatu sejenis dan laku 30 ribu pasang tiap hari. Facebook Muntadar dibanjiri 110 ribu pendukung. Sejumlah ayah menawarkan anak gadisnya menikah dengan si Muntadar ini.

Sejumlah game online mengenang peristiwa itu dalam  permainan adu ketangkasan melempar Bush dengan sepatu. Salah satunya berjudul Sock and Awe. Jumlah pengunjungnya sampai 40 juta.

Pelecehan terhadap Bush dan tentu saja Amerika Serikat kini sedang jadi trend di Timur Tengah. Dalam sejumlah aksi protes atas invasi Israel ke Jalur Gaza, Bush dilukiskan sebagai macan ompong.  Warga Irak bukannya berterima kasih atas keringat  Bush  menyudahi  Sadam Hussein, tapi mereka malah menghujatnya habis-habisan.

Tidak sekedar menghujat, banyak pula negara di Timur Tengah yang masih menyimpan bara dengan  Washington. Iran yang  disebut poros setan oleh Bush, petinggi Taliban di Afganistan, sisa kekuatan Sadam di Irak, Hammas di Palestina dan sejumlah negara lain.

Dan  wajah bopeng Washington itulah yang diwariskan George Walker Bush kepada Obama pada 20 Januari ini. Paul Kennedy, seorang analis politik melukiskan situasi itu di Wall Street Journal edisi 15 Januari ini, dengan satu kalimat: American Power is on Wane, Kekuatan Amerika Tengah Memudar.

Amerika, tulisnya, seperti seorang pasien yang sedang sakit parah. Sakit karena krisis ekonomi yang berujung pada defisit anggaran US$ 1,2 triliun.

Selain diguncang krisis ekonomi, para elit politik di Amerika tengah sibuk dengan transisi kekuasaan. Kebijakan apapun yang dilakukan Bush dalam politik luar negeri sudah tak bernyawa sebab  tak lagi punya pengaruh dominan di Kongres. Dia tinggal menunggu pensiun. Obama dan timnya hingga kini masih sibuk menyusun kabinet dan  kebijakan baru di Timur Tengah.

"Krisis ekonomi dan transisi kekuasaan yang tengah melanda Amerika membuat pengaruh negara tersebut tidak lagi sekuat dulu. Akhirnya, momen ini dimanfaatkan Israel untuk habis-habis menggempur bangsa kami di Gaza," begitu hipotesis Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Mehdawi, dalam wawancara khusus dengan VIVAnews beberapa pekan lalu.

Analisis yang sama juga muncul dari sejumlah musuh Amerika Serikat di Timur Tengah. "Runtuhnya kekuatan Amerika merupakan salah satu alasan utama bagi Israel melancarkan agresi yang tergesa-gesa dan barbar di Gaza dengan mengambil kesempatan dari hari-hari terakhir Bush di kantornya," kata Osama bin Laden dalam rekaman suara yang dipantau intelijen Amerika Serikat.

Runtuhnya kekuatan politik Amerika turut membuat situasi politik di negeri itu kian buram. Sebab cuma negeri itulah yang mampu menyeret Israel ke meja perundingan.

Pengamat CSIS Middle East, Jon Alterman, menilai sebagai sekutu terdekat Israel, AS selalu menjadi tumpuan masyarakat internasional termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengendalikan aksi Israel di Timur Tengah.

"Amerika-lah yang selama ini dipandang mampu mengajak para pemimpin Israel untuk duduk bernegosiasi berhadap-hadapan dengan Palestina dan negara-negara Arab. Siapapun presiden Amerika, dia harus memiliki pengaruh atas Israel dalam membawa perdamaian di Timur Tengah," kata Alterman dalam suatu diskusi di USINDO Jakarta beberapa waktu silam. 
 

 
Obama dan tim kabinetnya tentu telah memperhatikan buruknya citra Amerika dalam beberapa tahun terakhir, yang berujung pada peristiwa memalukan yang dialami Bush. Sebelum meluncur ke Gedung Putih, Obama sudah berjanji bahwa Timur Tengah  menjadi salah satu prioritas utama.

"Saya akan menanggapi krisis di Gaza dan gejolak-gejolak lain di Timur Tengah pada hari pertama (menjadi presiden)," demikian tekad Obama dalam wawancara eksklusif dengan USA Today, yang dipublikasikan Kamis 15 Januari 2009.   

Begitu duduk di Oval Office, Obama akan berupaya untuk memulangkan pasukan AS sekaligus mengakhiri Perang di Irak, menuntaskan perang melawan Taliban dan al-Qaeda di Afganistan, mencegah Iran benar-benar mengembangkan teknologi nuklirnya menjadi senjata, dan kembali berupaya menjadi jurudamai atas konflik Israel-Palestina.

Menteri Luar Negeri kabinet Obama, Hillary Clinton, menjabarkan suatu pendekatan berbeda yang akan mereka jalankan di Timur Tengah dan isu-isu lain di penjuru dunia. Pendekatan itu dia sebut sebagai "smart power," kekuatan cerdik.

"Kita harus secara aktif menerapkan strategi smart power di Timur Tengah, dengan mewadahi kepentingan keamanan Israel dan aspirasi politik dan ekonomi rakyat Palestina," kata Clinton, saat memaparkan visi dan garis besar rencana program kerjanya sebagai menteri luar negeri di depan para anggota Senat, Selasa 13 Januari 2009.

Menurut Clinton, pendekatan smart power jelas berbeda dengan yang dilakukan Bush dan timnya. Selama delapan tahun terakhir, Amerika di bawah Bush lebih mengedepankan pendekatan hard power (kekuatan bersenjata), lebih suka bertindak sendiri dengan mengatasnamakan pendekatan kolektif dan kurang memperhatikan aspirasi negara-negara lain. Perang di Irak merupakan salah satu contohnya.

Lalu apakah pendekatan smart power itu? Menurut profesor hubungan internasional Joseph Nye, smart power bukanlah pendekatan yang baru karena merupakan varian dari konsep soft power yang dia perkenalkan pada tahun 1970. Inti dari pendekatan tersebut, menurut Nye, adalah Amerika harus "belajar untuk bekerjasama dan mendengarkan" bila ingin menjadi "pemimpin dunia yang diakui," kata Nye dalam pendapatnya di surat kabar The Times.

Maka, dalam menjalankan smart-power, menurut Nye, Amerika perlu mengedepankan penyelesaian masalah melalui mekanisme kolektif seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, NATO, rezim perdagangan bebas, dan lain-lain. "Di sini Amerika tampil menjadi pusat mekanisme bersama dan tidak bertindak sendiri," demikian menurut Nye.

Obama dan Hillary pun menyadari betul filosofi dari pendekatan smart power. "Amerika tidak dapat mengatasi masalah-masalah besar secara sendirian, dan dunia pun tidak bisa mengatasi masalah-masalah tersebut tanpa Amerika," kata Clinton.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya