Antara Jangkar dan Samurai

VIVAnews - Suatu kali, kawan saya bercerita tentang pengalamannya mendatangi Museum Bahari yang termasyhur itu. Dalam salah satu bagian ceritanya, ia berkata ada sebuah jangkar besar yang, demi getuk lindri yang kini jarang ditemui, ia anggap sebagai, “jangkar terbesar yang pernah ia lihat selama hidupnya (yang tentu saja banyak ia habiskan di darat).”

Sambil Menangis, Tyas Mirasih Ungkap Kebaikan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina

Lama ia termenung setelah membagi kekagumannya akan jangkar tersebut kepada saya. Saya memandangi kerut di dahinya yang membanyak, dan bola matanya yang menabrak jagad lain. Tangannya yang tremor mengetuk-ngetuk lantai. Lalu ia berkata, “Tapi, kok gue merasa aneh ya? Gue takjub sama itu jangkar, tapi kenapa gue harus melihatnya di museum, bukan di pantai begitu.”

Saya mencoba memandangi titik yang dicari oleh matanya yang cemas itu. Saya tak memiliki jawabannya. Dan memang tidak ingin mencari jawaban atas pertanyaannya. Namun, saya jadi berpikir tentang jangkar itu, tentang sesuatu yang menahan sesuatu agar tak karam, agar sedikit berada dalam kendali.

Agaknya, jangkar pada kapal itu semacam pekerja bangunan, pengemudi angkutan umum, atau sejuta macam profesi lain dalam kehidupan kita yang tak pernah kita bicarakan di coffeeshop atau kafetaria kantor.

Mereka 'hadir' ketika kita berada dalam 'ranah' mereka: jembatan darurat yang baru dibikin, bis kota, ataupun montir kendaraan. Kita mau tak mau menaruh kepercayaan terhadap mereka; bahwa yang mereka sedang, atau telah, kerjakan, takkan membuat kita celaka atau gulana.

Tips Aman Meninggalkan Rumah Saat Mudik Lebaran, Jangan Lupa Pasang CCTV

Misalkan, kita hanya bisa pasrah bahwa jembatan darurat di depan kita tidak akan rubuh ketika kita melewatinya; bis kota yang kita naiki tidak akan menabrak pembatas jalan; atau kendaraan yang kita bawa ke bengkel tidak akan lepas mesinnya ketika dalam perjalanan pulang.

Pada momen-momen semacam itu, betapa kata kepercayaan melambung pada tempat yang tertinggi di hati kita. Kata itu betapa tak tergantikan, dan karena itu membuatnya begitu istimewa. Mungkin, begitu istimewanya sehingga kadang kita tak sudi lagi memikirkannya.

Bagi para pelaut, jangkar adalah yang menghubungkan mereka dengan hasrat ingin merasakan kembali ke daratan—dimana istri, kekasih, atau kegemaran berhimpun—atau melanjutkan perjalanan.

Pimpinan Golkar di Daerah Minta Airlangga Dipilih secara Aklamasi di Munas, Menurut Sekjen

Jangkar adalah penaut mereka dengan daerah yang penuh kata 'pulang' (daratan), dan domain yang sarat kata 'bertualang' (lautan). Sungguhpun saya tak lagi tahu, apakah 'kepulangan' mereka menuju daratan atau lautan maha luas.

Namun, satu hal yang pasti, jangkar yang kokoh akan tetap menjaga impian-impian dan harapan-harapan mereka tetap utuh. Jangkar yang tak gemetar digerus arus akan menenangkan mereka yang sekadar singgah di pasar-pasar untuk mencari cinderamata, atau ke kota, tempat kesenangan dan kegirangan tumpah-ruah. Jangkar yang tak lapuk akan membuat sang kapal—kantor, atau bahkan rumah bagi mereka sekalian—untuk tetap menunggu.

Saya jadi teringat film Seven Samurai.

Akira Kurosawa, sang sutradara film tersebut, yang mengilhami film The Magnificent Seven (bagi yang menonton Kite Runner, kedua protagonis, Hasan dan Amir, sangat gandrung pada The Maginificent Seven), menyelesaikan film tersebut pada pertengahan tahun 1950-an dan mengambil latar ketika Jepang sedang mengalami perang antar klan di dalam negeri.

Film itu bercerita tentang sekumpulan petani yang tinggal pada sebuah desa yang selalu didatangi perampok ketika masa panen tiba. Mereka memutuskan untuk menyewa samurai untuk memerangi para bandit tersebut dengan hanya menawarkan beras sebagai bayarannya. Hingga pada akhirnya, tujuh samurai pun terkumpul untuk melumpuhkan sekitar 40-an garong.

Pada awalnya, mereka tak mempecayai pada samurai tersebut. Mereka berpikir bahwa jika para samurai tersebut tiba di desa, mereka hanya akan mengganggu anak-anak perawan para petani tersebut. Tersebutlah, para samurai merasa bahwa penduduk desa tak menerima mereka.

Salah satu samurai—yang sebenarnya hanya petani—kesal dengan para petani. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri. Mereka tak berpikir bahwa beruntung mereka dapat menyewa samurai-samurai tanggguh hanya dengan upah beras. Kritik tersebut menggugah para petani. Mereka pun akhirnya menaruh kepercayaan terhadap para samurai yang kelaparan tersebut.

Tersebutlah. Di akhir cerita, para perampok berhasil dibikin kalap dan kalah, walaupun tiga samurai harus mati demi membulatkan tekad itu. Para petani kembali dapat hidup dengan tenang, sedangkan para samurai yang tersisa kembali melanjutkan perjalanan, mencari orang yang percaya terhadap keahlian mereka.

Saya kadang tertegun dengan para samurai, jajaran jangkar-jangkar, yang tinggal dekat dengan kita namun seakan-akan ada di tempat yang jauh. Sungguh berat hidup ini tanpa kehadiran orang-orang seperti mereka. Namun ada yang berpikir, bahkan mungkin saya, sungguh ringan hidup ini seandainya tak memikirkan mereka. Itu mungkin pikiran yang busuk. Tapi, bukankah yang busuk itu lebih nyata?

(Ditulis untuk mengenang mereka yang cuma bisa ada di pojokan, di tepian)

Pelatih Arema FC, Widodo Cahyono Putro

Widodo Beri Motivasi Pemain Arema FC Usai Takluk Dari Persebaya

Pelatih Arema FC, Widodo Cahyono putro berusaha memberi motivasi para pemain usai kembali menelan kekalahan secara beruntun di Liga 1. Mereka kalah dari Persebaya.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024