Kekuasaan Bukan Induk Kebenaran

VIVAnews - Tidak ada yang mesti disesali dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi tentang calon presiden non-partisan, hingga perjuangan Fadjroel dan Mariana dan kawan-kawan kandas. Sebab, kekuasaan bukanlah induk kebenaran.

Suatu ketika, di mana pun, kekuasaan bisa berlaku keliru; untuk kekeliruan kecil itu kita harus maklum. Bila kekeliruan terus berulang terjadi sampai jadi kesalahan yang fatal, maka tenang saja, pasti ada ganjaran yang setimpal.

Sistem politik di Indonesia hari ini sudah berjalan sesuai dengan relnya, jadi terserah kepada pemutus kebenaran versi terakhir atas pilihan penumpangnya: mau naik atau tidak. Tapi jangan pula Anda takut terlambat atau merasa sudah ketinggalan kereta.

Sebab, sekali lagi, kekuasaan politik bukan induk kebenaran terhadap hak-hak warga untuk mencicipi sekerat kue demokrasi sejak bergulirnya bola liar pemilihan umum sepuluh tahun silam. Tak ada yang perlu disedihkan lagi.

Yang perlu disedihkan adalah salah seorang pengamat politik semalam menyatakan keluhan mengenai sulitnya partai politik (apalagi partai  baru) merekrut kader, betapa pun rekor moral founding-fathers partai-partai itu nyaris tidak tercela.

Saya berpikir, bila suatu saat nanti si pengamat politik itu menanggalkan prinsip kebenaran objektifnya dan latah mendirikan (ataupun cuma mendukung) partai politik tertentu dalam sistem politik yang berjalan di atas rel tua ini, mungkin tetap akan banyak orang yang berpikir seribu kali untuk masuk (ataupun cuma mendukung) partainya. Walaupun secara moral dan politis, dia tidak tersangsikan.

Mayoritas nasionalis yang terdiamkan lagi, mungkin menganggap dunia politik masih berupa "dunia atas angin" yang belum benar-benar pulih beranjak turun ke bumi. Hal itu terlihat dari proses rekrutan yang seret dan kader yang nyaris tak bisa dicari lantaran memang telah menghilang.  

Parameternya, berapa banyak calon legislator yang maju gagah dalam keriuhan norak baliho di tepi jalan yang merupakan kader tradisional bukan "usahawan bermodal besar" yang didukung pengikut musiman sebuah partai tertentu, termasuk partai yang sudah mapan sekali pun. Bila tidak lebih banyak ketimbang para petualang Senayan, kita tentu boleh maklum lagi menyadari bahwa taraf Indonesia merogoh kantong politik hanya sampai ke "sana".

Kantong koyak politik yang ada, maaf, di bagian belakang tubuh kita telah dirogoh secara elegan dan simbolis dengan tergagalnya upaya Fadjroel cs yang sungguh-sungguh berminat duduk belajar sabar di gerbong presidensial yang sedang berlari menuju 6 Juni 2009.

Penjelasan Kadispenal soal Anggota TNI AL Bentrok Dengan Brimob di Pelabuhan Sorong

Tapi, yakinlah, dia tetap akan dikenang sebagai orang Banjar yang berniat serius mengindonesia. Agaknya tidak pula sedikit pendamba Fadjroel for President yang diam-diam menyisihkan sepuluh ribu rupiah demi menyokong kegigihannya merayakan kebebasan negeri ini.

Tapi, seperti telah dijelaskan, untuk terakhir kali ini, kekuasaan bukanlah induk kebenaran. Hati rakyat tidak mungkin pernah menjadi kecil. Apalagi mengecil cuma gara-gara satu ketukan palu yang keras. (Arpan Rachman, kontributor mediabersama.com)

Logo Media Bersama

Dibintangi Aghniny Haque dan Bio One, Film Kereta Sajikan Cerita Menyentuh dan Gak Bosenin
Antrian Panjang di Gerbang Tol Cikampek Utama Saat Arus Balik Lebaran 2024

Urai Peningkatan Arus Balik Lebaran, Contraflow Diberlakukan Kembali di Tol Japek

Pengguna jalan diminta tidak mendahului kendaraan di lajur contraflow.

img_title
VIVA.co.id
14 April 2024