Pemilihan Umum Kita

VIVAnews - Sebagaimana yang terjadi sejak kita diberi nama Indonesia, pemilihan umum kita barulah berlangsung 105 tahun kemudian, di tahun 1955. Setelah ditanggalkannya Undang-Undang Dasar 1945, diganti dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat  (RIS) yang sekitar setahun kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).

Hakim Geram ke Saksi di Sidang Korupsi Tol MBZ: Proyek Triliunan Gini kok Main-main

Berdasarkan UUDS itu, pemilu 1955 diadakan untuk memilih calon-calon anggota Dewan Konstituante yang akan menyusun Undang-Undang Dasar Negara. Republik Indonesia Serikat yang menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Belanda Juliana di penghujung tahun 1949 sesuai persetujuan yang dinamakan persetujuan atau hasil Konferensi Meja Bundar atau KMB.

Calon-Calon Legislator yang Sekarang Disebut Caleg

Pada waktu itu ada dua macam calon. Pertama, calon-calon dari partai-partai peserta pemilu. Kedua, calon non-partai atau independen tetapi masuk ke dalam daftar calon partai.

Kebanyakan calon dari partai adalah tokoh-tokoh yang sejak zaman kolonial sudah berkecimpung di area politik dalam berbagai partai ketika itu dan ada juga dari kalangan muda yang aktif menjelang proklamasi dan perjuangan melawan pihak Belanda sampai KMB. Walau ada yang meneruskan dari perlawanan tetapi dihancurkan oleh Tentara Republik Indonesia Serikat.

Mereka itu dikenal oleh masyarakat-bangsa dari kegiatan-kegiatan mereka sebelumnya; di era kolonial dan selama perjuangan gerilya setelah proklamasi.

Geger Seorang Wanita Dilarang Naik Kendaraan Online Gegara Bernama Ini

Selama puluhan tahun mereka menggugah kesadaran masyarakat-bangsa untuk melawan penjajahan dengan menempuh resiko ditangkap, dipenjarakan sampai diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang meneruskan jalan-jalan perjuangan dalam melanjutkan revolusi 1945 yang berbeda, dengan jalan yang ditempuh pemerintah Republik Indonesia ketika itu yang menempuh jalan “berdamai” dan “berunding”, dengan pihak Belanda yang melahirkan persetujuan Linggarjati, Renville dan puncaknya persetujuan KMB.

Mereka itu digempur dan sejumlah korban tewas, akibat dari sikap mereka menolak dan menentang persetujuan-persetujuan dengan pihak Belanda dan mereka ditamatkan setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) menjelma. Masyarakat-bangsa juga menyaksikan di antara mereka itu tidak ada yang menjadi kaya apalagi kaya-raya.

Dalam menjalankan kampanye untuk pemilu waktu itu bisa dikatakan berlangsung perbedaan sampai pertentangan yang cukup sengit, tetapi tidak ada yang bermuara pada permusuhan apalagi kerusuhan dan kekerasan. Misalnya di waktu yang bersamaan dua partai menyelenggarakan kampanye pemilu bersamaan di lapangan terbuka dan aman-aman saja. Pada waktu itu dalam wilayah politik tidak ada ruang untuk “keberingasan”. Barangkali kuncinya ialah pikiran dan hati jernih unruk kemaslahatan masyarakat-bangsa.

Begitu juga setelah mereka yang terpilih dan menjadi anggota Konstituante dalam persidangan-persidangan baik sidang pleno, komisi dan Badan Perancang Konstitusi (BPK) sering berdebat sampai sengit hingga larut malam.  Memaparkan dan menderetkan argumentasi masing-masing paling tinggi sampai ke titik “jengkel” tidak ada yang menyala menjadi kemarahan. Seperti yang terjadi dalam suatu sidang pleno ketika Asmara Hadi, seorang dari kubu Pancasila menguraikan argumentasinya mengapa menghendaki Pancasila sebagai Dasar Negara, beruntun-runtun diinterupsi oleh kubu yang menolak Pancasila sampai akhirnya si pembicara mengarahkan bicaranya kepada pemimpin sidang dengan mengatakan;

“Saudara ketua biarlah anjing menggonggong, kafilah berlalu. Boleh saya lanjutkan pidato saya?”

“Silahkan,” sahut pemimpin sidang.

Dia melanjutkan pidatonya dan interupsi pun reda. Para anggota Dewan ketika itu, sesengit apapun perdebatan berlangsung dalam sidang-sidang, seusai sidang mereka rukun-rukun saja satu sama lain. Duduk bersama di kantin sambil berkelakar dan minum kopi. Sering jalan kaki bersama ke penginapan yang tidak jauh letaknya sambil ngobrol.

Sebuah Catatan

Mereka itu setidaknya dikenal oleh masyarakat, ketika mereka melakukan perbuatan dan kegiatan yang bukan untuk kepentingan sendiri atau keluarganya dalam kurun waktu yang cukup panjang sampai puluhan tahun lamanya.

Barangkali inilah bedanya dengan yang berlangsung setelah dekade 60-an. Honor mereka Rp 50.000 (lima puluh ribu) sebulan, satu blok tiket kereta api kelas 1 disertai prioritas I yang berisi 10 lembar, rasanya uang sidang juga sama dengan pleno dan komisi. Sedikit yang absen dan langka yang tidur.

Tidak lama lagi di hadapan kita terbuka peluang untuk menggunakan hak pilih. Jika dihitung dengan pemilihan kepala daerah sudah berpuluh kali berlangsung pemilihan yang didahului oleh pidato-pidato, hingga dangdut, semacam debat terbuka yang disiarkan televisi, visi-misi dan janji-janji. Apa yang selanjutnya berlangsung kita semua menyaksikan dan merasakannya.

Sudah waktunya masyarakat-bangsa membaca dan mempelajari Undang-Undang Dasar Negara untuk menjaga dan mengawal pelaksanaannya dan bersamaan dengan itu mencatat visi-misi dan janji-janji untuk membantu si tukang janji mentaati dan melaksanakannya dengan jalan tegur sapa dan hanya jika terpaksa “mencopotnya” lewat petisi.

Terpulang pada masyarakat-bangsa yang adalah pemilik sah negeri yang luas, subur dan kaya sumber-sumber alamnya yang bernama Indonesia.

Depan Kebonwaru Medio, Januari 2009
Petani Tua

Samsir Mohamad, mantan anggota Konstituante, penasihat Mediabersama.com

Chandrika Chika Ditangkap karena Kasus Narkoba, Netizen: Udah Benar Joget Papi Chulo Aja

Logo Media Bersama

Liverpool vs Everton

5 Fakta Menarik Jelang Duel Everton vs Liverpool di Premier League

Liverpool akan menyambangi markas Everton dalam lanjutan Premier League di Stadion Goodison Park pada Kamis dini hari nanti, 25 April 2024, pukul 02.00 WIB.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024