Kontroversi Adam Malik Agen CIA

Setelah Menunggang Ombak

VIVAnews - Lelaki itu mengenang kembali Indonesia, yang  terpecah dua pada Oktober 1965. Ratusan ribu pendukung Partai Komunis Indonesia menjadi buruan. Mereka yang tertangkap massa anti Komunis, bisa dipastikan tumpas. Ketegangan merambat di setiap lorong kampung.

Lelaki itu Marshall Green, seorang diplomat kawakan. Saat tragedi berdarah itu meletus, dia menjabat Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta. Barangkali, dia mencatat angka ini dengan miris: tiga atau empat ratus ribu jiwa tumpas. Indonesia guncang. Saat itu, setelah peristiwa Gerakan 30 September, Indonesia seperti kehilangan akal sehat.

Dua tahun kemudian, laporan pembantaian massa komunis di Indonesia menjalar ke dunia. Green lalu bersaksi di sidang Sub-Komite Hubungan Timur Jauh Senat Amerika Serikat, di Washington DC.  “Saya kira kita harus menaikkan taksiran itu barangkali mendekati angka 500.000,” ujarnya.

Seorang senator Arkansas, yang juga Ketua Komite itu,  J. William Fullbright, terhenyak. Dia mencecar Green dengan pertanyaan lirih. “Kita terlibat dalam  kudeta itu?”, ujarnya. “Tidak, Pak,” kata Green.

Fullbright curiga apakah CIA, badan intelijen raksasa itu, turut bermain di balik peristiwa berdarah. Di Indonesia, Amerika pernah memainkan petualangan sama pada 1958. Suasana di ruang itu agak tegang. Fullbright ingin mengejar  Green  lagi. Tapi, dia sadar, pertanyaan itu akan berujung pada pembongkaran sebuah operasi rahasia.

“Jadi anda tidak tahu apakah CIA terlibat atau tidak,” ujar Fullbright. “Tidak, Pak,” Green menjawab.

Maka, episode akhir dari tragedi itu kian buram. Indonesia jatuh kediktatoran baru, dipimpin Jenderal Suharto, tokoh yang didukung Amerika Serikat pada saat konflik dengan rezim Sukarno.  Satu juta orang menjadi tahanan politik.  Ada yang mati, dan tetap terus meringkuk di penjara sampai hampir tiga dekade.

Selama 40 tahun pula, Amerika Serikat tetap menyangkal terlibat dalam opearsi antikomunisme di Indonesia itu. "Kami tidak menciptakan ombak-ombak itu. Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai," kata Green.



Dengan narasi memikat, dialog itu dicatat rapi oleh Tim Weiner, wartawan peraih Hadiah Pulitzer yang menulis buku "Legacy of Ashes: The History of CIA" . Versi bahasa Indonesia berjudul "Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya."

Weiner bekerja pada New York Times. Dia meramu karangannya dengan 50.000 arsip CIA, wawancara mendalam dengan ratusan veteran CIA, dan pengakuan sepuluh direkturnya. "Buku ini mengalir bagaikan thriller, yang menempatkan penulisnya sebagai tukang cerita kelas wahid," tutur komentar di sampul belakang buku itu.    

Tapi, Weiner bukan hanya membongkar kebobrokan operasi CIA di penjuru dunia. Di Indonesia, bukunya membuat heboh.  Dia menyebut Adam Malik, bekas wartawan dan diplomat ulung itu sebagai agen  CIA.

Tentu, tuduhan itu menyengat.  Adam Malik adalah tokoh besar, dia dicatat sebagai pejuang kemerdekaan, dan diplomat ulung. Dia juga mendirikan Asean, wadah bagi Negara-negara di Asia Tenggara.  Sebelum wafat, dia juga tercatat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Weiner menelisik data dari tumpukan arsip CIA yang sudah dibuka buat publik. Dia melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh.

Hasilnya, dia mengungkapkan pemerintah AS melalui Kedutaan Besar di Jakarta dan CIA mengandalkan Malik sebagai tokoh lokal mendukung operasi anti-komunis di Indonesia yang mereka sponsori. Dia mengutip pengakuan seorang perwira operator CIA bernama Clyde McAvoy. Si perwira inilah bertemu Adam Malik pada 1964.

Dalam buku itu, McAvoy mengaku datang ke Indonesia dengan tugas menyusup ke dalam PKI dan pemerintahan Sukarno. Avoy pun mengontak sumber-sumber lokal. "Yang pasti, stasiun CIA memiliki seorang agen yang punya posisi baik: Adam Malik, mantan Marxis (penganut aliran Karl Marx) berusia 48 tahun yang mengabdi sebagai duta besar Sukarno di Moskow dan menteri perdagangannya," tulis buku itu.

Adam Malik dikenal juga sebagai kader Partai Murba, satu partai yang didirikan oleh Tan Malaka, tokoh perintis Komunisme di Indonesia pada dua dekade sebelum kemerdekaan. Murba yang sosialis itu berseberangan dengan PKI, dan juga Sukarno.



Suatu hari pada 1964, tulis Weiner,  McAvoy bertemu Malik di sebuah tempat rahasia dan aman di Jakarta.  "Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik," ujar McAvoy kepada Weiner dalam suatu wawancara tahun 2005.

McAvoy mengaku bahwa Malik merupakan "pejabat tinggi Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut." Dia diperkenalkan dengan Malik oleh seorang pengusaha Jepang di Jakarta dan mantan anggota sebuah partai komunis di Jepang.

McAvoy tidak menjelaskan bagaimana dia bisa sampai merekrut Malik dan apa iming-imingnya. Tahu-tahu kisah di buku itu menyatakan bahwa "setelah perekrutan Malik oleh CIA, Dinas mendapat persetujuan untuk meningkatkan program operasi rahasia buat mendorong sebuah baji politis di antara kelompok kiri dan kanan di Indonesia.

Setelah kudeta gagal 30 September 1965 pecah, CIA berupaya membentuk pemerintahan bayangan, terdiri atas tiga serangkai, yaitu Adam Malik, sultan yang memerintah di Jawa Tengah (mungkin yang dimaksud adalah Sultan Hamengkubuwono IX), dan perwira tinggi Angkatan Darat berpangkat Mayor Jenderal bernama Suharto. Komposisi itu memang terwujud setelah Suharto resmi menjadi presiden pada 1967, dimana wakil presiden adalah Sultan Hamengkubuwono IX, dan Adam Malik tampil sebagai menteri luar negeri.     

Weiner juga mengungkapkan bahwa Malik memanfaatkan hubungannya dengan CIA mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan duta besar Amerika Serikat yang baru, Marshall Green. Dia menilai Malik sebagai "salah satu orang terpintar yang pernah dia temui." Lewat suatu pertemuan rahasia, Green mengaku mendapat "gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Suharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan," untuk membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut Kap-Gestapu, demikian isi buku itu. 

Maka, lewat CIA, AS membantu kekuatan baru politik Indonesia di bawah Suharto untuk menumpas sisa-sisa kekuatan komunisme melalui Kap-Gestapu. Namun, Green mengingatkan bahwa bantuan kepada anti komunis di Indonesia tidak boleh berasal dari Pentagon atau Departemen Luar Negeri.

Oleh karena itu, baik Green maupun penasihat keamanan nasional McGeorge Bundy dan asisten menteri luar negeri untuk Timur Jauh William Bundy sepakat bahwa bantuan itu harus ditangani oleh CIA. Bantuan AS tersebut diantaranya, "14 buah walkie-talkie milik kedutaan AS yang diberikan kepada Suharto untuk digunakan sebagai komunikasi darurat," kata Green.

Selain itu, pemberian alat komunikasi tersebut merupakan cara CIA untuk memonitor apa yang sedang mereka kerjakan. Tak hanya bantuan komunikasi. Menurut buku Weiner, bantuan juga bantuan obat-obatan untuk militer Indonesia senilai US$500.000, yang dikirim melalui CIA. Obat-obatan itu tidak langsung dipakai, melainkan dapat dijual untuk mendapatkan uang tunai.



Adam Malik kembali disinggung dalam operasi CIA ini.  Weiner mengutip pesan telegram Green kepada William Bundy, yang merekomendasikan pembayaran uang dalam jumlah cukup besar kepada Malik.

"Ini untuk menegaskan persetujuan saya sebelumnya bahwa kita menyediakan uang tunai sebesar Rp. 50 juta (sekitar US$10.000) buat Malik untuk membiayai semua kegiatan gerakan Kap-Gestapu. Kelompok aksi yang beranggotakan warga sipil tetapi dibentuk oleh militer ini masih memikul kesulitan yang diakibatkan semua upaya represif yang sedang berlangsung...Kesediaan kita untuk membantu dia dengan cara ini, menurut saya, akan membuat Malik berpikir bahwa kita setuju dengan peran yang dimainkannya dalam semua kegiatan anti PKI dan akan memajukan hubungan kerja sama yang baik antara dia dan angkatan darat. Kemungkinan terdeteksinya atau terungkapnya dukungan kita dalam hal ini sangatlah kecil, sebagaimana setiap operasi 'tas hitam' yang telah kita lakukan."

Buku tersebut juga mengungkapkan bahwa pada pertengahan Oktober 1965, seorang perwira politik senior Kedutaan Besar AS, Bob Martens, mengirim suatu informasi yang tidak bersifat rahasia kepada Malik. Isinya, daftar 67 pemimpin PKI, yang Martens rangkum dari kliping-kliping surat kabar komunis.

Menurut Martens, dokumen itu bukan daftar orang-orang yang akan dibunuh, melainkan "sekadar alat bagi non-komunis yang pada dasarnya sedang berjuang mempertahankan nyawa mereka...untuk mengenal organisasi pihak lawan," kata Martens.



Tak jelas bagaimana peran CIA selanjutnya dalam pembersihan komunisme di Indonesia. Ihwal Adam Malik pun hanya disinggung dari satu sumber, yaitu McAvoy.
Meskipun sejumlah arsip rahasia milik CIA dibuka pada publik pada 2001, menyebutkan Adam Malik berhubungan dengan sejumlah pejabat Amerika Serikat.
“Tidak mungkin Adam Malik itu agen CIA,” ujar Hadidjojo Nitimihardjo, salah seorang penerus Partai Murba di Jakarta, Senin 24 November 2008.

Dia menyesalkan Weiner, yang  tidak memberi tambahan data kecuali pengakuan Mc Avoy. Akan halnya McAvoy, kata Hadiodjojo, telah meninggal pada Maret 2008 lalu.
Hadidjojo mengenang Adam Malik sebagai sosok nasionalis yang pro keadilan. Sewaktu Malik menjadi ketua sidang Majelis Umum PBB (1971-1972) di New York, dia malah menggugurkan banyak agenda Ameriksa Serikat soal masuknya Cina.

Kalau benar Malik agen CIA, tentu agenda Amerika akan banyak yang lolos. “Adam Maliklah yang berjasa memuluskan masuknya Cina ke PBB”, ujar Hadidjojo. Alasannya sederhana. Hadidjojo pernah bertanya pada Malik, mengapa Cina yang di bawah rezim komunis itu diloloskan jadi anggota PBB.

“Tak adil, “ kata Malik, seperti dikutip Hadidjojo. Cina, kata Malik,  punya satu miliar lebih penduduk, dan dia berhak duduk di PBB, yang tak mungkin diwakilkan kepada Taiwan belaka.

Kontroversi benar tidaknya Adam Malik berhubungan dengan CIA masih samar. Sama seperti halnya kabut sejarah di balik peristiwa Gerakan 30 September. Apalagi, setelah mereka yang pernah menunggang ombak itu pergi.

10 Kampus Bisnis Terbaik Dunia Tahun 2024
Tiga bakal Capres Ganjar, Anies dan Prabowo diundang makan siang Jokowi di Istan

MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, Rosan: Mari Bersatu Wujudkan Indonesia Emas

Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Rosan Perkasa Roeslani menegaskan pemilu 2024 sudah selesai setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perselis

img_title
VIVA.co.id
23 April 2024