Willy Aditya

Mampukah Kapolri?

Masih lekat dalam ingatan masyarakat ketika personel kepolisian masuk ke dalam kampus Universitas Nasional dan terlibat baku pukul dengan mahasiswa. Bentrokan serupa terjadi pula baru-baru ini di Makassar dan Kupang. Pertikaian, perselisihan dan bentrokan ini melihatkan gunung es ketidakpercayaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kepolisian. Lebih jauh, bentrokan polisi dengan warga ini menunjukkan citra dan cita-cita polisi di era demokrasi masih belum bersesuaian.

Ketika Jenderal Bambang Hendarso Danuri terpilih Kapolri, perbaikan citra ini dijanjikan melalui perbaikan pelayanan publik. Program pembenahan pelayanan publik oleh kepolisian ditegaskan berulang kali oleh Kapolri mulai dari pidato selama mengikuti proses fit and proper test di DPR hingga pidato di hadapan para perwira kepolisian. Komitmen Kapolri dalam pembenahan pelayanan publik pada dasarnya difokuskan pada sentra-sentra pelayanan kepolisian, seperti tempat penerima laporan/pengaduan oleh masyarakat, pengurusan SIM/STNK dan BPKB, SKCK serta pelayanan para pencari keadilan melalui fungsi reserse. Kapolri menegaskan janji tidak ada lagi pungutan liar yang membebani masyarakat, serta menghilangkan sikap arogan dan kegemaran mempersulit masyarakat yang justru mengharapkan perlindungan Polri.

Pelayanan Publik dan Good Governance

Di beberapa negara, reformasi sektor keamanan merupakan bagian integral dari reformasi pemerintahan yang populer disebut Security Sector Governance (SSG). Ann Fitzgerald (2004) menyatakan, dalam mengawal Security Sector Governance harus didasari pada pilar, konsep dan arah pembangunan, keamanan, dan demokratisasi di negara tersebut. Pelaksanaan konsep ini tentunya menuntut penerapan kaidah good governance termasuk prinsip transparansi dan akuntabiltas.

Pergeseran sistem kenegaraan sesuai kaidah good governance secara langsung berimplikasi terhadap hubungan struktural di tubuh kepolisian. Peralihan dari sistem otoritarian ke demokrasi tentu akan mempengaruhi perilaku organisasi dan individu polisi. Dalam sistem otoritarian, polisi cenderung lebih represif dalam menegakkan peraturan. Sementara dalam sistem demokrasi, polisi haruslah menegakkan peraturan sesuai dengan norma-norma hak asasi manusia. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI adalah produk hukum yang mencerminkan pilar kemajuan demokrasi di Indonesia pascapemisahan Polri dan TNI, menegaskan bahwa Polri memiliki peran sebagai penegak hukum, pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat.

Tentunya bukan semudah membalik telapak tangan untuk menjalankan reformasi di sektor keamanan khususnya dalam tubuh kepolisian. Masih banyak kendala untuk mewujudkan civilian in uniform sesuai dengan pilar reformasi kepolisian yaitu struktural dan kultural. Fondasi sosial warisan rezim otoritarian yang meletakkan kepolisian sebagai ''penguasa'' pemegang otoritas dipaksa bertransformasi menjadi penegakan hukum, pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat.

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pemenuhan hak dasar, menerbitkan regulasi sebagai payung hukum sampai pada ranah memastikan alokasi anggaran dan personel untuk melayani masyarakat.

Dalam konteks good governance, pelayanan publik merupakan gerbang utama reformasi birokrasi karena pelayanan publik adalah ruang di mana masyarakat dan aparatus negara berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Pelayanan publik seharusnya lebih responsif terhadap kepentingan publik karena akan terpantau secara transparan. Paradigma pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government). Karakter pelayanan publik haruslah bersandar pada fungsi pembangunan regulasi yang menjamin pelayanan kepada masyarakat, prinsip kemudahan (accessible), desentralisasi urusan dan kewenangan serta melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung sebagai bagian integral quality control.

Polisi sebagai kewenangan pemerintah pusat, aparatur dan abdi negara juga pada hakikatnya merupakan abdi masyarakat. Kepolisian harus mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan masyarakat dengan semangat pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Konsep ''meminta'' seolah-olah menjadi kegiatan pembenaran bagi tugas polisi pada masa lalu terutama dengan berbagai alasan keterbatasan biaya operasional yang biasanya dijadikan tameng permakluman. Padahal dalam semua tataran manajerial organisasi polisi diharapkan mampu mengubah citra ''minta dilayani'' itu menjadi ''memberi pelayanan''.

Polisi yang humanis merupakan suatu outcome dari konsep civilian in uniform di mana terjadi transformasi perilaku polisi baik secara individu dan organisasional. Di sinilah konsep melayani merupakan tindakan proaktif dan preventif terhadap sumber, potensi dan kerawanan gejolak dalam masyarakat. Komitmen polisi masyarakat harusnya menempatkan masyarakat sebagai stakeholder dalam memecahkan permasalahan tidak hanya dengan memperluas struktur organisasi dan penambahan beban anggaran. Setelah itu menerapkan kaidah proporsional, tidak diskriminatif, responsif dan terukur dalam setiap jenis pelayanan yang disampaikan.

Seiring dengan peningkatan profesionalisme kepolisian, tuntutan ke arah perbaikan kinerja dan citra kepolisian sebagai pelayan masyarakat telah menjadi agenda reformasi kepolisian. Daya kritis masyarakat sipil terhadap kinerja dan citra kepolisian adalah cerminan kuatnya aspirasi dan tuntutan atas hak-hak masyarakat. Dalam konteks ini, kepolisian perlu memformulasikan instrumen-instrumen yang membuat ucapan Kapolri tidak sekadar “kecap nomor satu” tetapi secara nyata menggelindingkan reformasi kepolisian sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Instrumen Pelayanan

Polisi mempunyai fungsi pelayanan keamanan kepada individu, komunitas dan negara. Pelayanan keamanan bertujuan menjaga, mengurangi rasa ketakutan dari ancaman dan gangguan serta menjamin keamanan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat yang dilayaninya. Dalam memberikan pelayanan keamanan, polisi berwenang menegakkan hukum dan keadilan serta memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat, warga komunitas dan negara. Penerbitan administrasi lalu lintas pelayanan surat izin mengemudi (SIM), pelayan surat tanda nomor kendaraan (STNK), pelayan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB), informasi (rambu, marka, telepon, dll) dan pengaduan kehilangan, kecelakaan, kematian, keramaian dan lainnya merupakan bentuk pelayanan terhadap masyarakat.

Ada beberapa instrumen dikembangkan dalam peningkatan kinerja dan pengembangan kapasitas, di antaranya penyusunan dan penerapan suatu standar pelayanan dan pembangunan inovasi pelayanan. Untuk merespons hubungan antara masyarakat dan kepolisian dibutuhkan suatu standar yang sesuai dengan semangat good governance yaitu standar pelayanan minimum (SPM). SPM merupakan ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang minimum berhak diperoleh setiap warga. Penyelenggaran pelayanan dasar merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib pemerintah.

Semangat SPM menjawab hal-hal penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam penyediaan pelayanan dasar yang bermuara pada penciptaan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat merupakan tujuan bernegara yang dijamin oleh konstitusi. Dalam penerapannya, SPM harus menjamin akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar dari pemerintah daerah sesuai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah. SPM mengandung prinsip-prinsip berikut: sederhana, konkret, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian (Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2005).

Instrumen kedua adalah pembangunan inovasi pelayanan publik yang secara acak sudah dikembangkan di beberapa daerah seperti di DKI Jakarta dan Jawa Timur. Penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi oleh Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Paradigmanya adalah mengutamakan peran daripada wewenang serta sadar akan tugas utama adalah melayani dan mendapat pengakuan berstandar internasional yaitu sertifikat ISO 9001 : 2000. Di Jawa Timur dikembangkan pelayanan Drive Thru untuk memudahkan pembayaran PKB (pendaftaran ulang/pengesahan STNK) yang mudah, cepat, transparan dan akurat kepada wajib pajak. Pemilik kendaraan baik mobil maupun motor tidak perlu turun dari kendaraannya untuk melakukan pembayaran. Masyarakat cukup menunjukkan BPKB, STNK dan KTP lalu 5 menit kemudian perpanjangan STNK di loket mobil keliling ini sudah selesai.

Pengembangan sistem pelayanan publik dilakukan dengan prinsip aksesibilitas, keterukuran, kecepatan, simpatik, ramah, sopan, serta tanpa pembebanan yang tidak semestinya. Secara konkret, berbagai keberhasilan fungsi di tubuh kepolisian (tidak hanya lalulintas) secara intensif harus direplikasi ke jenis pelayanan dan wilayah lainnya. Prasyarat utama dalam replikasi inovasi adalah ada komitmen yang tinggi antara kepala daerah dan pihak Kepolisian dalam peningkatan pelayanan sehingga ada suasana kompetitif dalam melaksanakan program inovasi pelayanan publik.

Netizen Murka Disebut Suara Paslon 02 Nol: Mungkin Aku yang Dimaksud Angin Tak ber-KTP
Xabi Alonso

Peluang Liverpool Gaet Xabi Alonso Mengecil

Keinginan Liverpool mendatangkan Xabi Alonso untu musim depan nampaknya menjadi semakin kecil. Karena dikabarkan pelatih asal Spanyol itu mau bertahan di Bayer Leverkusen

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024