Media Baru Jawab Tantangan Zaman

Tumbuhnya media baru merupakan tuntutan zaman yang tak terelakkan. Demikian dinyatakan oleh pengamat media baru, Ninok leksono, di acara diskusi terbatas bertajuk 'Konvergensi Media: Peluang dan Tantangan New Media di Indonesia', di restoran Harum Manis, Jakarta, Selasa 9 Desember 2008.

Siap Bersaing, Jakarta Livin Mandiri Umumkan Daftar Pemain Tim Putri di Proliga 2024

Berdasarkan riset AC Nielsen di kuartal ketiga 2008, yang dikutip Ninok, saat ini beberapa media konvensional mengalami penurunan. Contohnya, pembaca koran yang mengalami penurunan hingga 4 persen, pembaca majalah menurun sekitar 24 persen, serta pembaca tabloid yang turun sekitar 12 persen.

Sementara itu, media internet mengalami kenaikan jumlah pembaca hingga 17 persen. Media lama (media konvensional), menurut Ninok kurang bisa menyesuaikan dengan perubahan jaman.

Puslabfor Polri Selidiki Kasus Kebakaran Maut Toko Frame Mampang

Menurutnya, media konvensional kurang interaktif dan memiliki periodisasi terbit yang terlalu lama sehingga kalah dari sisi kecepatan dibanding media baru. “Media konvensional juga rawan terkena fluktuasi harga kertas yang dipengaruhi oleh nilai tukar dolar.”

Ninok mencontohkan, peristiwa tragedi Mumbai di India yang memakan banyak korban. Di saat media-media konvensional sedang sibuk mencari berita, orang sudah bisa mendapat kabar dari Internet melalui situs jejaring sosial seperti Twitter, secara seketika.

Meski begitu, Ninok mengakui banyak pula informasi yang mungkin tidak akurat. “Tetapi, lebih baik ada berita daripada tidak ada sama sekali.”

Mangkir dari Pemeriksaan, KPK Bakal Panggil Lagi Gus Muhdlor Pekan Depan

Senada dengan Ninok, Anindya Bakrie, Ketua Komite Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Indonesia, yang juga menjadi pembicara pada acara diskusi tersebut.

Menurut Anin, tren pembaca media cetak cenderung menurun, antara lain karena terlalu sibuk, beralih ke TV, atau berhenti membeli karena adanya kenaikan harga. "Media cetak menghadapi ancaman serius dari menurunnya pembaca (readership)," ujar Anindya.

Hal itu, kata Anin, menyebabkan konvergensi media menjadi sebuah keharusan. Oleh karenanya, pihak-pihak yang berkepentingan, harus mulai melakukan konsolidasi bisnis, mengantisipasi ledakan Internet dan posisi telepon seluler yang semakin penting.

"Terdapat potensi yang sangat besar, yang belum digarap secara serius, yaitu di bidang bisnis 3 screen (3 layar: layar TV, layar komputer, dan layar ponsel)."

Namun, demikian, menurut Ninok, tumbuhnya media baru juga mendapat beberapa kendala. Antara lain penetrasi internet yang masih rendah di Indonesia, yaitu sekitar 12 persen.

Selain itu, tarif bandwidth internet di Indonesia yang masih terasa mahal. Buktinya, kata Ninok, tarif bandwidth internet di Indonesia masih empat kali lebih mahal daripada di India.

Kendala lainnya adalah kegagapan sumber daya manusia (SDM) jurnalis, terhadap teknologi yang musti digunakan dalam new media."Jangankan new media, untuk mencari SDM old media saja, kadang kita masih gelagapan," kata Ninok.

Sementara pengamat politik yang juga merupakan Presiden Komisaris VIVAnews, Rizal Mallarangeng, mengatakan, kelahiran sebuah media baru, biasanya juga ditandai dengan lahirnya kepemimpinan baru yang mampu mengoptimalkan teknologi tersebut.

"Dulu di zaman teknologi penyiaran radio, lahir kepemimpinan John F Kennedy. Sekarang, Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang mampu menggunakan internet untuk meraih kemenangan."

Diskusi terbatas ini merupakan rangkaian dari acara peluncuran portal berita VIVAnews.com. Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting di kalangan media serta ICT di Indonesia.

Antara lain, Rahmat Junaidi, Erik Meijer (Bakrie Telecom), Budiono Darsono (pendiri Detik.com), A Haryawirasma (ketua IMOCA), Ishadi SK (Trans TV),  Azkarmin Zaini (ANTV), Ong Hok Chuan, Enda Nasution (blogger), pengamat media baru Nukman Luthfie, serta Tony Seno Harsono (Microsoft).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya