Pesta Rakyat = Derita Rakyat 5 Tahunan

VIVAnews - “Edan! ada orang yang mau dibohongi berkali-kali, dan lebih edan lagi, dibohongi kok seneng, pakai dibilang pesta, padahal pestanya untuk memulai penderitaan baru. Negara apa ini? Gak pernah pinter-pinter!”

Toyota Tarik Ratusan Ribu Unit Mobil Prius Hybrid di AS

“Maaf Mas, datang-datang langsung ngamuk, kita jadi ga enak. Kita disini lagi damai, bok ya kalau mau marah-marah di kasih prolog dulu, kita jadi ngerti duduk perkaranya”

Dengan sedikit menahan amarah, akhirnya teman yang baru datang ini mau duduk. Tapi masih nampak wajah ketidakpuasan. Kemudian dia angkat bicara tentang peta politik di Indonesia, dari pemerataan kemiskinan, pencalonan legislatif, DPD, dan banyak lagi.

Ian Wright Sebut 2 Pemain Ini Dibutuhkan Arsenal untuk Taklukkan Bayern Munich, Siapa Mereka?

Menurutnya, para pemimpin kita, termasuk di dalamnya para pemimpin politik, dari kepala negara, hingga ketua partai politik tingkat kecamatan, semuanya bertingkah laku seperti badut.

Walaupun banyak memberikan hiburan kepada kita, banyak memberikan tawa, namun pada akhirnya, kita tahu, bahwa kita tidak dapat menaruh harapan di pundak para badut. Seperti juga sinetron, membuat kita sedih, kadang termenung, kadang sedikit bersemangat, namun tidak membawa perubahan ke dunia nyata.

Balon Udara Muncul di Ketinggian 9.000 Feet, AirNav Semarang Minta Pilot Waspada

Lucunya, badut ini muncul setiap menjelang pesta rakyat lima tahunan. Dengan seluruh daya upayanya, menarik perhatian, memberikan arahan, memojokkan orang-orang yang dia tidak senangi, merangkul semua yang sepihak. Menggunakan seluruh media propaganda untuk membuat citra yang baik, melalui media elektronik, cetak, dan lain-lain.

Mencari simpati seluruh rakyat, menggalang dukungan, untuk mendapatkan tiket ke gedung Senayan yang megah. Membuat bangga setiap orang yang menggunakan emblemnya, jangankan anggota Dewan sendiri, stafnya saja sudah bisa bentak polisi, saking besarnya pengaruh kekuatan yang dimiliki anggota Dewan.

Itu buat yang anggota Dewan, belum termasuk Pilkada dan Pilpres. Lebih gila-gilaan lagi. Bukan hanya media massa yang digarap, semua jaringan dan kendaraan politik yang mengarah kepada dukungan, pasti dijadikan buruan.

Tidak heran, setiap menjelang Pemilu, pemilihan Pilkada dan Pilpres, seluruh organisasi massa, baik yang eksis maupun yang siluman, semuanya akan muncul. Seperti ditakdirkan untuk bangkit, semuanya kompak menawarkan dukungan dengan janji membawa massa yang tidak sedikit. Berujung pada tawar menawar angka dan hasil, istilah kerennya lobby-lobby politik.

Praktis hanya satu tahun, hanya satu tahun menjelang acara tersebut, semuanya menggeliat, mencari dan mengambil. Setelah itu, masing-masing memiliki lagu untuk dinyanyikan. Yang menang, menyanyikan lagu yang indah dan mengharapkan keindahan ini tidak cepat berlalu, seperti lagu Iwan Fals, “Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...”. Yang kalah, membuat lagu makian dan berjuang lagi. Kalau diajak naik ditengah jalan, lain lagi lagunya.

Semua itu adalah ulah para politisi, baik senior, setengah senior, junior, junior tua, junior muda, semuanya sama. Tapal batas basa-basi mereka adalah, bagaimana menjadi, dengan segala daya upaya. Berapa biaya yang keluar, bisa dicari selama setengah masa jabatan, sisanya cari untung sebesar-besarnya.

Rakyatnya dapat apa? Kaos partai atau kaos calon Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden, dan uang beberapa ratus ribu, itu saja.
Pesta rakyat, yang selalu diagung-agungkan kedatangannya, hanya bagi-bagi kaos, beras, uang dan segala sesuatu yang sifatnya konsumtif. Masa layak pakai dari seluruh produk pesta rakyat tidak lebih dari satu tahun. Ya, pesta ini tidak memberikan  bekasan yang kuat untuk rakyat, untuk pemilik pestanya, tidak lebih dari semua hal yang disebut diatas. Selebihnya.

Rakyat akan menuai seluruhnya, dan menunggu penderitaan selama lima tahun kedepan. Menunggu pemilihan yang akan datang. Sementara pesta segelintir orang baru dimulai untuk lima tahun kedepan. Rakyat kembali menjadi penonton drama panjang yang berdurasi lima tahun.

Kenapa kita tidak berubah, pembodohan ini selalu terjadi, tidak pernah ada upaya yang sistematis untuk memberdayakan masyarakat untuk lebih cerdas memilih, menganalisa sesuatu. Tidak dibiarkan untuk selalu bodoh dan terbelakang. Harus ada upaya untuk maju dan berkembang.

Jangan sampai pesta lima tahunan rakyat ini, membawa penyesalan untuk lima tahun kedepan.

Semua termangu waktu teman ini menyudahi ceritanya. Tanpa terasa, air mata ini mengalir dengan derasnya, sederas penderitaan rakyat. Dan kami pun serempak berteriak, “Edaaaaaaaaaan!”(It’s Suja’i)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya