Krisis Ekonomi Global

Memulihkan Kembali Model Ekonomi Amerika

Para pejabat keuangan dari mancanegara akhir pekan ini (9-14 Oktober 2008) berkumpul di Washington DC dengan perasaan gundah gulana. Pasalnya, pertemuan di ibukota Amerika Serikat (AS) tersebut bukan lagi sekadar menghadiri forum tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Mereka tengah dituntut mencari cara bagaimana mengatasi krisis keuangan – yang ironisnya berawal dari AS – yang telah mengancam ekonomi dunia.

Namun, alih-alih ingin mencari upaya bersama memerangi ancaman ekonomi yang berawal dari gejolak di lantai bursa-bursa saham, para pemimpin mancanegara bisa jadi lebih sibuk menyamakan sikap bahwa sumber malapetaka adalah model ekonomi yang dikembangkan AS. Masalahnya, model ekonomi neo-liberal dagangan Washington sudah terlanjur menjalar ke banyak negara. Jadi pertanyaan yang berguna saat ini adalah bagaimana membetulkan “model” yang tengah sekarat tersebut?

Seperti dikutip surat kabar The Christian Science Monitor, Menteri Keuangan Jerman sudah memprediksi bahwa dampak dari krisis ini membuat AS tidak akan lagi dipandang sebagai “kekuatan adidaya” di kancah keuangan global. Sedangkan presiden Prancis, Nicolas Sarkozy, juga yakin bahwa model ekonomi “laissez-faire” sudah “tamat.” Bahkan Presiden Dmytry Medvedev dari Rusia sudah menganggap ekonomi AS sudah menjadi “bagian dari masa lalu.”

Memang wajar bila ekonomi AS jadi sasaran tembak para pemimpin dunia atas krisis keuangan yang juga mulai merusak ekonomi mereka. Krisis tersebut muncul karena institusi-institusi keuangan di AS percaya begitu saja dengan para debitur yang menandatangani kontrak hipotek yang pada akhirnya tidak sanggup mereka bayar.

Seperti rantai makanan, pinjaman-pinjaman tersebut kemudian mengalir ke para investor mancanegara dengan sedikit pengawasan. Para investor tidak waspada dengan risiko para debitur pembeli rumah tidak sanggup membayar kewajiban dan saat harga sewaktu-waktu jatuh. 

Investasi sektor hipotek akhirnya menjadi bisnis yang menggelembung (bubble bisnis) dengan menghiraukan risiko pinjaman yang sifatnya “untung-untungan.” Pada saat gelembung itu pecah, pupus pula harapan semu bahwa para investor asing akan memikul beban dari naiknya harga di pasar perumahan AS. 

Siapa yang memberi mereka harapan semu? Ternyata bukan semata-mata dari lemahnya peraturan, tapi juga akibat dari peraturan yang salah. Peraturan itu yang mencoba meredistribusi kemakmuran dengan mendorong institusi-institusi keuangan swasta untuk memenuhi target pemerintah dalam menyediakan rumah-rumah murah.

Beberapa undang-undang seperti Community Reinvestment Act (1977) dan peraturan yang mendukung perusahaan-perusahaan pembiayaan dukungan pemerintah seperti Fannie Mae pada akhirnya memaksa perbankan dan pedagang perantara ke dalam bisnis pemberian pinjaman dengan syarat ringan.  

Hasilnya? Terlalu banyak pinjaman hipotek diberikan kepada debitur yang tidak memiliki penghasilan yang layak. Sementara itu pasar khawatir bahwa harga-harga rumah yang ditetapkan ternyata tidak berdasarkan mekanisme pasar, yang umum diterapkan dalam model ekonomi AS. 

Akhirnya, ketika debitur menjual rumahnya akibat tidak sanggup membayar cicilan pinjaman, aset tersebut susah laku karena harga jualnya rata-rata dianggap pasar tidak lagi realistis. Parahnya lagi, aset-aset bermasalah tersebut kemudian digabung jadi satu paket dengan aset hipotek yang nilai jualnya dianggap masih realistis.

Paket tersebut lalu dijual dalam bentuk obligasi kepada para investor. Harapannnya, para investor tidak memperhatikan adanya aset-aset yang cacat atau adanya mitos bahwa pemerintah tidak akan pernah membiarkan harga-harga rumah jatuh.     

Permainan tak jelas semacam ini jelas sangat berisiko dan bukanlah model Amerika. Situasi tersebut justru menciptakan iklim ketidakpercayaan dalam sistem keuangan internasional yang kini coba dipulihkan oleh para pejabat dari mancanegara. Namun bagaimana mungkin pemerintah banyak negara bisa memulihkan kepercayaan dan transparansi penentuan harga di pasar hipotek yang tengah goyah dan memulihkan kembali kredit macet? 

Reaksi pertama saat ini adalah menyelamatkan perbankan dengan menurunkan suku bunga, membeli aset-aset bermasalah, menyediakan pinjaman, serta menjamin deposito. Untuk hal ini AS sudah bertindak lebih cepat ketimbang negara-negara Eropa. Namun perlu ada upaya lebih lanjut untuk mencegah resesi global.

Selain itu para investor perlu memulihkan kembali kepercayaan mereka bahwa bisnis hipotek di AS tidak akan lagi tercemar, seperti saat dijual di bawah tekanan pemerintah kepada para pembeli yang tak jelas pendapatannya. Langkah-langkah baru untuk menyelamatkan para pembeli berisiko tersebut untuk tetap tinggal di rumah mereka justru akan memperpanjang krisis dan mencegah stabilnya kembali harga rumah.  

Kabar baik saat ini adalah bahwa sejumlah bank, seperti Wells Fargo dan Bank of America, kini telah membeli sejumlah institusi keuangan yang bermasalah dengan kredit macet. Akuisisi tersebut tentu berdasarkan perhitungan atas nilai pinjaman secara realistis. Dengan langkah pemerintah yang membeli Freddie Mac dan Fannie Mae, perusahaan-perusahaan tersebut menghadapi perubahan yang radikal.

Selain itu, untuk mengurangi rumitnya mengatasi kesulitan keuangan, perlu lebih banyak lagi hipotek yang dikuasai secara lokal dengan bank yang tahu betul dengan nasabahnya. Nilai pinjaman pun harus ditentukan berdasarkan logika manusia bukan mengandalkan perhitungan komputer. Dengan demikian risiko akan berkurang dan kekhawatiran akan reda.  

(Sumber:  The Christian Science Monitor, www.csmonitor.com / IMF, www.imf.org)

Peringatan Nuzulul Qur'an Tingkat Nasional, Kemenag: Spirit Bawa Indonesia Menjaga Keragaman
Tempat camping

6 Lokasi Camping Populer di Luar Negeri, Ayo Kunjungi!

Hobi camping? Kunjungi lokasi kemah populer di luar negeri ini bersama pinjaman bunga rendah yang praktis!

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024