Rakernas PDIP

Menghitung Derajat Calon Wakil

VIVAnews – DI forum itu Sri Sultan Hamengku Buwono X hanya duduk menyimak. Dia tak bicara. Bersama istrinya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas,  dia mendengarkan Profesor Soedarjito, ahli dari Universitas Negeri Jakarta, mengurai problem pendidikan nasional, di satu restoran di Jalan Walter Monginsidi, Jakarta.

Polisi Benarkan Yudha Arfandi Lakukan Kekerasan ke Tamara, Sudah Dilaporkan?

Hujan turun sepanjang petang, pada Selasa, 13 Januari 2009 itu. Tapi, tamu terus mengalir. “Saya bergetar bicara di depan Sultan”, kata Soedarjito. Dia dulu sekretaris pribadi Sultan Hamengku Buwono IX saat di Jerman. Kini, di restoran sesak hadirin itu, dia berbicara di depan anak bekas junjungannya.

Sultan tak bicara. Acara itu memang bertajuk 'Sultan Mendengar'. Soedarjito membedah sistem pendidikan tiga zaman: orde lama, orde baru dan masa reformasi. Acara ini adalah kedua, dan rupanya akan berlangsung tiap bulan. Tujuannya, Sultan mendengar masukan para pakar untuk beragam isu penting. Sebelumnya, ada tema maritim dan identitas kebangsaan.

Rasyid Nikkaz, Sosok Miliarder yang Rela Bernasib Miris Demi Membela Muslimah Bercadar

“Dialog di forum ini akan menjadi masukan bagi kebijakan strategis Sultan jika terpilih menjadi presiden,” kata Willy Aditya, koordinator acara. Benar, inilah serial kegiatan Tim Pelangi Perubahan, tim sukses Sultan maju ke kursi RI 1. Acara itu sengaja berjudul 'Sultan Mendengar'. Alasannya, kata Willy, selama ini pemimpin lebih banyak bicara, daripada bekerja.

Target acara ini, kata Willy, adalah kelas menengah kota. Satu survei politik dari Indonesian Research and Development pada Juli 2008, menyimpukan popularitas Sultan masih rendah pada segmen kelas sosial terdidik itu. Sultan berada di nomor empat, atau 9,6 persen. Angka tertinggi direbut Susilo Bambang Yudhoyono 44,8 persen, lalu Hidayat Nur Wahid 22,4 persen, dan Megawati Soekarnoputri 14,4 persen.

Isu Jokowi Digadang Jadi Ketum, Elite Golkar: Minimal Jadi Kader 5 Tahun

Di segmen sosial berpendidikan rendah, Sultan juga terpuruk. Dia nomor lima setelah Megawati, Yudhoyono, Wiranto dan Jusuf Kalla. “Makanya, ada program kedua,” kata Willy. Untuk basis sosial ini, Sultan tak hanya mendengar. Judul programnya  'Sultan Menyapa'. “Sultan datang menyapa masyarakat. Tujuannya, mengetahui langsung kondisi mereka,” ujar Willy, anggota tim sukses itu menambahkan.

Lewat kegiatan Sultan Menyapa ini, Raja Jawa menyapu berbagai kelas sosial dan profesi. Semuanya dihimpun oleh Merah Putih Nusantara, atau disingkat Merti Nusantara. “Ada 20 elemen masyarakat yang memberi tempat bagi Sri Sultan,” kata Untoro Hariadi, Sekretaris Jenderal Jaringan Nasional Merti Nusantara, kepada VIVAnews.

Merti Nusantara adalah mesin politik Sultan mengumpulkan dukungan. Organ itu pertama kali muncul saat acara Pisowanan Agung di Yogyakarta, 28 Oktober 2008. Di muka 200 ribu hadirin itu, Sultan menyatakan siap maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden 2009.

Setelah sabda Sultan, Merti Nusantara pun bergerak cepat. Jaringannya kini hadir di 33 provinsi. Simpulnya bahkan terbenam sampai daerah tingkat dua. “Lebih dari 200-an kabupaten dan kota,” ujar Untoro. Pada 6 Februari nanti, Sultan akan meresmikan Merti Nusantara Jawa Barat, dan juga cabang di Tasikmalaya.

Merti Nusantara tidak dirancang sebagai partai. “Organ ini fasilitator Sultan dan sarana sosialisasi ke tingkat akar rumput,” ujar Untoro. Dia menambahkan kalau nanti Sultan maju melalui partai politik, itu soal lain.

Betapapun, Sultan tetap membutuhkan dukungan partai politik. Menurut Willy, timnya terus melobi sejumlah partai. Sejauh ini, baru satu partai setuju mencalonkan Sultan sebagai presiden: Partai Republika Nusantara. “Tapi RepublikaN saja kurang signifikan. Target kami partai nasionalis seperti PDIP dan Golkar,” ujarnya. Sultan mengusung platform nasionalis-pluralis. Dia menghindari partai non-nasionalis.

Tapi, jelas itu bukan soal mudah. Di PDIP, Megawati Soekarnoputri jauh hari telah didapuk menjadi calon presiden. Partai banteng bulat itu hanya berminat melirik Sultan sebagai wakil presiden. Untuk kursi RI-2, Sultan adalah calon kuat. “Dalam survei internal PDIP, Sultan rangking pertama sebagai calon wakil Megawati,” ujar Tjahjo Kumolo, Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan.

Hasil survei independen lain juga menguatkan pernyataan Tjahjo. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menemukan fakta 22,6 persen respoden memilih Megawati, juga memfavoritkan pasangan Megawati-Sultan. Setelah Sultan, kata hasil survei itu, pasangan lain yang cocok dengan Megawati adalah Prabowo Subianto, 12,1 persen. Lalu,  Akbar Tandjung 11,7 persen, Jusuf Kalla 9 persen, dan Agung Laksono 4,9 persen.

Melihat fakta itu, PDIP pun merintis jalan. Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP Taufik Kiemas bertandang ke Yogyakarta, 16 Januari lalu. Acaranya makan malam bersama Sultan di sebuah hotel. Suasana meriah, Sultan bahkan menyumbangkan satu lagu dalam acara itu.

Berhasil? Belum. Pertemuan itu, kata Taufik, tak bicara koalisi Megawati-Sultan. Tapi, kemungkinan itu selalu terbuka. “Nanti, setelah ada kesepakatan dalam Rapat Kerja Nasional PDIP,” ujar Taufik.

Sebagai balasan, Sultan pun berkunjung ke rumah Megawati, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, 21 Januari lalu. Mereka makan bubur berdua. Apakah keduanya bicara koalisi? "Intinya, bagaimana saya diundang dalam Rakernas PDIP tanggal 27 dan 28 itu,” kata Sultan. Belum ada obrolan Sultan diminta menjadi calon wakil presiden.

Karena belum jelas ujungnya, Sultan tetap call tinggi. “Orang PDIP menelepon saya, bertanya apakah Sultan bersedia menjadi wakil,” kata Willy. Dia menjawab seperti  pesan Sultan bahwa target mereka adalah menjadi RI-1.

Tim itu juga mencermati kalau Susilo Bambang Yudhoyono adalah calon terkuat saat ini. “Megawati juga tak akan bisa mengalahkan Yudhoyono,” katanya. Sementara, menurut Willy, Sultan berpeluang mengalahkan SBY.  Betapapun, Sultan adalah kader Golkar yang bisa masuk ke basis massa PDIP. “Dia bisa meraup suara PDIP dan Golkar sekaligus,” kata Willy.

Sebaliknya, Megawati sulit masuk ke basis massa Golkar. Pemilihan Presiden 2004 membuktikan koalisi PDIP-Golkar, saat itu mencalonkan Megawati, gagal total. Tapi, perhitungan ini tentu berdampak pada gengsi politik. “Apakah Mega mau menjadi Hillary Clinton-nya Barack Obama? Mega memberi jalan pada Sultan untuk maju dari PDIP,” ujar Willy.

Itu sebabnya, Sukardi Rinakit, manajer kampanye Tim Pelangi Perubahan, menghitung opsi pertama bagi Sultan adalah maju dari PDIP. "Peluang kedua, melalui Partai Golkar," kata Sukardi. Meski saat ini Partai Golkar berduet dengan Partai Demokrat memerintah, dia yakin, pada Pemilu nanti terbuka kemungkinan koalisi ini pecah.

Sukardi membuat analisis. Jika suara Golkar naik, tentu Ketua Umum Jusuf Kalla akan maju sebagai calon presiden. Jika suara Golkar turun, maka posisi Kalla pun melorot pada bursa pencalonan. "Posisi Jusuf Kalla itu maju kena, mundur kena," ujar Sukardi.

Jika kedua cara itu gagal, barulah dilakukan opsi ketiga, menggandeng partai-partai menengah mencalonkan satu nama saja. “Sekarang masih ada waktu sampai detik terakhir pendaftaran calon presiden,” kata Willy.

Tapi, seberapa kuat pasangan Mega dan Sultan, atau “Megabuwono” itu? Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tak begitu yakin. "Menurut hitungan mistik mungkin Megabuwono itu barangkali ya bagus,” ujarnya. Tapi, kalau hitungan politik, mereka tak akan menghasilkan dukungan kuat",  kata Andrinof, Kamis, 18 Desember 2008.

Masalahnya ada pada basis dukungan sosial berhimpitan, baik Mega maupun Sultan, sama-sama membidik wong cilik. “Jadi tidak banyak penambahan basis,” ujar Adrinof. Melihat fakta itu, Adrinof malah mengusulkan Mega menyiapkan mudur saja dari bursa, dan menyiapkan calon presiden PDIP untuk 2014.

Prabowo Subianto

Selain Sultan, calon potensial lain adalah Prabowo Subianto. Bekas Panglima Kostrad itu  tampaknya punya kesan positif terhadap Megawati.  “Ketika naik ke tampuk kekuasaan, ia tak melakukan balas dendam politik,” kata Prabowo tentang Megawati dalam buku ‘Mereka Bicara Mega’, yang diluncurkan 12 Desember 2008 itu.

Dalam buku itu,  Prabowo mengatakan telah mengenal  Megawati sejak kecil. Waktu itu keluarga mereka berseberangan secara politik.  Ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, adalah penentang Sukarno. Ketika Bung Karno tumbang, Sumitro didapuk Suharto sebagai salah satu arsitek ekonomi orde baru.

Saat roda sejarah berputar, giliran Megawati naik kekuasaan setelah reformasi 1998. Dia, kata Prabowo, tak memilih membalas dendam kepada Suharto. "Ketika masih berada dalam kekuasaan, Megawati berusaha membantu keluarga kami, selagi itu dalam koridor hukum berlaku. Megawati tak pernah memperlakukan saya, atau saudara lain, sebagai lawan," ujar Prabowo, calon presiden Partai Gerakan Indonesia Raya.

Menjelang Pemilihan Presiden 2009 ini, keduanya kian akrab.  Menurut Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung, sudah tiga kali Mega dan Prabowo bertemu muka. Prabowo rupanya termasuk tokoh incaran PDIP sebagai calon wakil presiden.

Tapi, meski sudah bertemu tiga kali, Prabowo menyatakan "Belum ada tawaran (dari PDIP menjadi calon wakil presiden) ke saya.” Lagi pula, Prabowo tetap dengan amanat Partai Gerindra, bahwa dia maju sebagai presiden. “Kalau jadi calon wakil presiden, apa kata konstituen saya nanti," kata Prabowo di Bogor, 19 Januari lalu.

Sebagai calon presiden, popularitas Prabowo adalah fenomenal. Dia meroket cepat enam bulan terakhir. Bahkan survei dari Indonesian Political Marketing Research, lembaga riset politik milik MarkPlus, menemukan fakta Prabowo lebih populer daripada Mega. Survei itu digelar awal Desember 2008.

Berdasarkan survei itu, calon presiden yang paling pantas adalah Susilo Bambang Yudhoyono, 62,8 persen dari 16.800 responden pantas sebagai calon presiden. Jumlah 62,8 persen ini terdiri dari 35,3 persen disebut pertama oleh responden, 18,5 persen secara spontan ketika diajukan pertanyaan dan 9,1 persen ketika dibantu. Prabowo meraih 45,3 persen dan Megawati 37,7 persen.

Tapi Megawati lebih banyak disebut pertama yakni 15,2 persen, dibandingkan Prabowo 9,2 persen. Berikutnya baru Sri Sultan yang mendapat 28,9 persen dari total 16.800 responden di 33 provinsi.

Di survei yang lain, posisi Prabowo turun naik antara ketiga dan keempat. Lembaga Survei Indonesia, misalnya, mereka popularitas Prabowo bersaing ketat dengan Sultan dalam kisaran angka 5 persen. Survei itu dilakukan 10-22 Desember 2008. Sementara angka Mega 19 persen, dan Yudhoyono 43 persen.

Prabowo sepertinya sulit merundingkan posisinya untuk calon wakil presiden. Basis dukungannya terancam merosot. Bahkan Probosutedjo, adik tiri bekas Presiden Suharto, mengancam membatalkan dukungan. “Saya bilang ke Prabowo, kalau kamu cuma jadi calon wakil presiden, nggak usah maju saja,” kata Probosutedjo pada Rabu, 21 Januari lalu.

Menurut peneliti politik Adrinof Chaniago koalisi Mega-Prabowo akan membuat sebagian pendukung Prabowo lari. Para pendiri Gerindra, kata Andrinof, adalah mereka yang tak puas dengan Partai Golkar dan PDIP. Jika Prabowo berkoalisi dengan Megawati, maka bekas kader PDIP di Gerindra bisa lari. "Suaranya pindah ke Partai Demokrat atau Partai Golkar atau Hanura," kata Andrinof. Artinya, dukungan bisa kempis dan bukan tambah buncit.

Hidayat Nur Wahid

Kalau Sultan dan Prabowo berada pada jalur basis sosial dukungan sama, yaitu kelompok nasionalis, maka Hidayat Nur Wahid adalah calon dengan tawaran basis dukungan berbeda. Tokoh Partai Keadilan Sejahtera itu juga tak banyak dilirik sebagai calon presiden. Memang, untuk kursi RI-1, dia mendapat 17,8 persen dukungan, berdasarkan Riset dari Indonesian Research and Development Institute pada 6-13 Oktober 2008.

Nama Hidayat justru mencorong sebagai wakil. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini rupanya punya basis dukungan lumayan. Sejumlah survei membuktikannya. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) misalnya, menemukan 40,21 persen dukungan bagi Hidayat kalau dia berdampingan dengan Megawati.

Setelah Hidayat adalah Sutiyoso (11,19 persen), Akbar Tandjung (8,1 persen), Prabowo (10,01 persen) dan Sultan (9,87 persen).  Survei itu dilakukan 24 November – 3 Desember 2008. menilai Hidayat paling layak sebagai pendamping Megawati.  Survei itu dilakukan 24 November – 3 Desember 2008.

PKS adalah partai dengan basis sosial Islam perkotaan. Ini yang membuat pengamat Andrinof Chaniago yakin bahwa kalau pasangan Mega-Hidayat akan punya dampak perluasan basis. Perbedaan ideologis, nasionalis-Islam, lalu juga geografis, bisa menambah kekuatan baru. “Mega populer di Jawa, Bali, Lampung dan Indonesia timur. Sementara Hidayat basisnya nggak banyak di situ, tapi menyebar di kota," ujar Andrinof.

Di atas kertas, keduanya punya potensi pasangan yang saling melengkapi. Itu membuat Hidayat Nur Wahid punya nilai lebih bagi Mega dalam Pemilihan Presiden nanti. Tapi, sejauh ini belum ada tanda keduanya saling mendekat. Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung mengatakan dialog baru dibuka dengan PKS, belum dengan Hidayat. Itupun cuma sebatas hubungan kepartaian saja. “Belum ada kesepakatan-kesepakatan," kata Pramono Anung, Rabu, 21 Januari lalu.

Sementara PKS sendiri menunggu hasil Pemilu 9 April nanti. "Kita memutuskan setelah Pemilu legislatif. Hidayat Nur Wahid itu kan tidak maju sendirian tetapi maju atas dukungan PKS. Nanti akan diputuskan oleh Majelis Syura, jadi bukan keputusan satu orang," kata Presiden PKS, Tifatul Sembiring, 10 Desember 2008 lalu.

Akbar Tandjung

Matahari Jakarta sedang teriknya pada suatu siang, awal 1970-an di Jakarta. Akbar Tandjung baru keluar dari kelas kursus Bahasa Inggris di Lembaga Indonesia-Amerika (LIA). Saat itulah, Akbar melihat Megawati hendak pulang. Dia lalu menawarkan tumpangan. “Saya bawa mobil Fiat waktu itu,” ujar Akbar Tandjung. Mereka pulang bareng. Akbar mengantar Mega ke kawasan Menteng, tempat tinggal Megawati.

Keduanya sudah kenal lama.Mereka sama-sama sekolah di Sekolah Menengah Pertama Cikini. Akbar kakak kelas Megawati. Saat SMP itu, tak ada kesempatan bagi Akbar Tandjung berkenalan dengan Megawati, yang saat itu berstatus anak Presiden. Megawati terikat protokoler kepresidenan. Apalagi Megawati masuk pagi, sementara Akbar masuk siang.

Lepas SMP, Akbar melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Kanisius, sementara Mega ke SMA lain. Namun mereka kembali bertemu saat sama-sama mengambil kursus Bahasa Inggris di LIA.  “Bahkan, saya pernah mengantarnya pulang setelah kursus. Artinya, kami telah menjalin hubungan silaturahmi sejak masih muda,” kisah Akbar dalam buku ‘Mereka Bicara Mega’.

Politik lalu membuat keduanya berbeda arus. Akbar Tandjung adalah anggota Himpunan Mahasiswa Islam, sementara Megawati aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Belakangan Akbar bergabung dengan Golkar, sementara Megawati ke PDI. Lalu nasib kian mempertajam posisi keduanya. Akbar pendukung orde baru Suharto. Megawati mengambil jalan oposisi.

Setelah reformasi, Megawati dan PDIP menjadi kekuatan poltik penting dalam pemilu 1999.  Golkar yang dipimpin Akbar Tandjung kemudian berkoalisi dengan sejumlah partai Islam menaikkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden menggantikan BJ Habibie. Mega, si pemenang Pemilu, hanya menjadi wakil presiden.

Di pertengahan kepemimpinan Gus Dur, peta politik berubah. Akbar Tandjung menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menyokong pelengseran Gus Dur dan menyokong penuh Megawati sebagai presiden. Mega naik sebagai Presiden pada tahun 2001. Keakraban Akbar dan Mega kembali terjalin.

Pemilihan Presiden 2004, ketika pasangan calon Golkar, Wiranto-Salahuddin Wahid, gagal di putaran pertama, Akbar mengalihkan dukungan Golkar ke PDIP. Golkar dan PDIP membangun Koalisi Kebangsaan, dengan calonnya: Megawati-Hasyim Muzadi.

Meski gagal memenangkan Megawati, Koalisi Kebangsaan berhasil menempatkan Agung Laksono sebagai Ketua DPR periode 2004-2009. Golkar pun sukses disulap Akbar sebagai partai pemenang Pemilu dengan perolehan suara 21 persen.

Akbar tak lama menikmati sukses itu. Selang dua bulan setelah Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik, dia kalah dalam pemilihan Ketua Umum Golkar. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sebelumnya berkelana di luar, berkat tandem dengan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil merebut pucuk jabatan Golkar. Sejak itu Akbar seperti terbuang. Koalisi Kebangsaan antara PDIP-Golkar pun tinggal sejarah.

Menjelang Pemilihan Presiden 2009, nama Akbar kembali muncul setelah PDIP menyebut dia sebagai salah satu calon wakil presiden buat Megawati. Akbar diundang  dalam Rapat Kerja Nasional IV PDIP di Solo, 27-29 Januari nanti. Tentu, Akbar menyatakan bersedia hadir.

Sebetulnya, Akbar tidak pernah menyatakan siap menjadi wakil presiden. Dia membidik posisi calon presiden dari Partai Golkar. Pernah Partai Bintang Reformasi menawarkan dia menjadi calon presiden, tapi ditampiknya. "Saya katakan terus terang saja pada Pak Bursah (Ketua Umum PBR), mohon maaf karena saya masih melihat dulu peluang di Partai Golkar," kata Akbar.

Tapi, politik internal Golkar sudah berubah sejak ditinggal Akbar. Faksi Akbar Tandjung kini adalah terlemah di partai itu. Upaya mengadakan konvensi calon presiden dari Partai Golkar seperti menjelang Pemilihan Presiden 2004 kandas begitu saja. Ketua Umum Golkar, Jusuf Kalla, tak setuju. “Tunggu hasil Pemilu legislatif,” kata Kalla.

Taruhlah konvensi itu jadi digelar, Akbar juga bukan calon terkuat dari Partai Golkar. Dia masih kalah dengan Sri Sultan dan Jusuf Kalla. Lihatlah survei Indonesian Political Marketing Research. Di sana, nama Akbar tak muncul sama sekali sebagai calon presiden pilihan.

Dalam survei Reform Institute pada November-Desember 2008, nama Akbar bahkan muncul di deret belakang.  SBY tetap bercokol di nomor satu, dengan dukungan 42,18 persen. Kader Golkar paling top adalah Sultan (10,48 persen), kemudian Jusuf Kalla (1,49 persen), baru Akbar Tandjung (0,87 persen) dan Surya Paloh (0,17 persen). Jelas, dengan hasil itu, peluang Akbar sangat kecil.

Yang menarik, justru Akbar dianggap cocok bergandeng dengan Wiranto. Hasil survei Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengatakan 16,8 persen pemilih Wiranto  sebagai calon presiden ingin Akbar menjadi calon wakil presidennya. Sementara pemilih Megawati menaruh Akbar pada pilihan ketiga sebagai calon wakil presiden, atau 11,7 persen, setelah Sultan (22,6 persen) dan Prabowo (12,1 persen).

Sutiyoso

Sutiyoso adalah calon lain yang menyelinap di antara nama para calon presiden. Dia menyatakan maju sebagai calon RI-1 jauh sebelum rame-rame Pemilu, tepatnya sejak 1 Oktober 2007. Deklarasinya dihadiri ratusan orang di Ballroom Ulos, Hotel Four Season, Jakarta.

Bekas Panglima Kodam Jaya dan Gubernur DKI itu tak punya partai. Tapi dia yakin, selusin partai akan datang memberi dukungan. Sebelum maju, dia sempat menemui Megawati Soekarnoputri, BJ Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya kan harus positive thinking. Inilah membuat hubungan saya dengan mereka baik," ujarnya waktu itu.

Tapi, bersama jalannya waktu, rupanya tak banyak partai berdiri di belakang Sutiyoso. Dia cuma punya dukungan satu partai kecil: Partai Indonesia Sejahtera. Nama Sutiyoso kembali melintas menjelang Rapat Kerja Nasional IV PDIP 27-29 Januari ini. Dia disebut salah satu kandidat pendamping Megawati dalam Pemilihan Presiden.

Sutiyoso memang masuk dalam daftar tamu undangan Rakernas PDIP. Tapi, belum ada isyarat yang bikin lega dari Mega. “Tidak ada tawaran soal calon wakil presiden,” ujar Sutiyoso usai bertamu di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu, 21 Januari lalu.

Sutiyoso pun tampaknya tahu diri. Dia tak mengangkat dagu sebagai calon presiden. Sepertinya, posisi calon wakil presiden pun tak soal. "Kita lihat setelah Pemilu. Saat ini semua bisa berubah," katanya. Beragam survei memang menyimpulkan Sutiyoso lebih pantas sebagai calon wakil presiden.

Tapi, untuk posisi itupun, dia harus berjuang keras. Data survei LP3ES,  menemukan Sutiyoso hanya masuk jajaran lima besar calon wakil presiden, jika yang menjadi calon presiden adalah Sri Sultan, Prabowo dan Wiranto. Sebanyak 6,5 persen pemilih Sultan memfavoritkan Wiranto atau di tempat ketiga setelah Prabowo dan Hidayat. Sementara pemilih Wiranto dan Prabowo sama-sama menjadikan Sutiyoso pilihan kelima.

Dengan hasil survei itu, Sutiyoso jelas bukan kuda hitam. Survei Reform Institute pada November-Desember 2008 misalnya, menempatkan Sutiyoso pada urutan ke-11, persis di bawah Abdurrahman Wahid, dengan perolehan 0,17 persen. Tapi, siapa tahu di Rakernas PDIP di Solo pekan ini, nasibnya akan lebih baik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya