Makam Tan Malaka Dibongkar

Mari Mengenal Tan Malaka

VIVAnews - Tan Malaka memiliki nama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka. Pria asli Minangkabau ini lahir tanggal 2 Juni 1897 di  Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat.  Ia wafat tanggal 21 Februari 1949 dalam usia 52 tahun.

Tan Malaka hidup sejaman dengan Soekarno, Hatta, dan Moh. Yamin.  Sebagai aktivis pergerakan, Tan Malaka banyak menghabiskan hidup di pengasingan. Namanya masuk ke peringkat nomer satu pencarian polisi Belanda.  Atas jasa-jasanya, Tan Malaka sempat dianugerahi pahlawan revolusi nasional oleh parlemen Indonesia pada tahun 1963.

Babak pergerakan Tan Malaka dimulai  tahun 1908-1913. Pada masa itu Tan Malaka menjadi guru di sekolah pemerintah Belanda di Bukit Tinggi. Di sini dia mulai belajar bahasa Belanda. Pada tahun 1913, dia menerima beasiswa untuk meneruskan pelajaran di Belanda. Maka, selama enam tahun kemudian dia menghabiskan waktu bersekolah di Sekolah Pelatihan Guru Pemerintah (Rijkskweekschool) di Harlem, Belanda.

Pada saat tinggal di Belanda dia mulai mempelajari teori sosialis dan komunis. Dari pergaulan dengan mahasiswa Belanda dan Indonesia ini pula lah Tan Malaka yakin tak ada jalan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan kecuali lewat revolusi.  Dalam buku otobiografinya Tan Malaka mencatat Revolusi Rusia tahun 1917 sebagai puncak kesadaran baru. Revolusi itu meningkatkan kesadaran seorang Tan tentang hubungan antara kapitalisme, imperialisme dan penindasan kelas.

Karena  faktor iklim dan makanan, Tan Malaka terkena penyakit TBC saat di Belanda. Penyakit ini kemudian terus menjadi persoalan kesehatan selama hidupnya.

Setelah pelajarannya di Belanda selesai, Tan Malaka kembali ke Indonesia bulan November 1919.  Dia langsung menjadi guru anak-anak kuli kontrak di perkebunan tembakau Swiss-Jerman di pantai timur  Sumatera. Selama tinggal di Sumatera, dia mulai bekerja sama dengan Indies Social Democratic Association (ISDV) yang kelak menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).  Tan juga mulai menulis di surat kabar ISDV. Keterlibatan Tan Malaka membuat hubungannya memburuk dengan pihak perkebunan. Apalagi dia juga menjadi aktivis serikat buruh dan aktif meluncurkan pemogokan buruh pekerja kereta api tahun 1920.

Frustasi dengan kondisi di Sumatera, Tan Malaka lalu pindah ke Jawa pada Februari 1920. Di sana dia tinggal di Semarang dan menjadi guru “Sekolah Rakyat” yang didirikan Sarekat Islam (SI).  Semarang kemudian menjadi seperti surga bagi aktivitas politik Tan Malaka. Ia sempat memimpin PKI tahun 1921  menggantikan ketua sebelumnya, Semaun. Di bawah kepemimpinannya, PKI bekerja sama dengan serikat buruh dan mendukung sejumlah pemogokan.

Kegiatan Tan Malaka dilihat pemerintah belanda sebagai tindakan subversif. Dia pun ditahan di Bandung pada bulan Februari 1922, dan tanggal 24 Maret dia dibuang ke Belanda.

Namun pembuangan ke Belanda tak membuat kegiatan Tan Malaka terhenti. Dia malah bekerjasama dengan Partai Komunis Belanda (CPH). Namun tak lama, Tan Malaka pindah ke Berlin, Jerman. Lalu berangkat ke Moscow bulan Oktober 1922. Di sini dia mulai terlibat dalam Komunis Internasional (Komintern). Di sana dia berkampanye tentang pentingnya dukungan Komintren Eropa atas perjuangan warga Asia melawan penjajahan. Dia pun menjadi agen Komintern untuk Asia setelah pertemuan Komite Eksekutif Komintern bulan Juni 1923. Salah satu tugasnya adalah menulis tentang Indonesia dan kaitannya dengan Komintern. Buku itu terbit di Rusia pada tahun 1924.

Dengan dukungan Komintern, Tan Malaka bergerak ke Kanton, China, bulan Desember 1923.  Pada Juli 1925 Tan Malaka pindah ke Manila, Filipina, tempat dia bekerja menerbitkan koran. Pada saat itu lah dia mendengar PKI tengah merencanakan pemberontakan. Tapi rencana pemberontakan Borobudur itu ditentang Tan Malaka dengan alasan PKI belum siap dan aksi itu lebih merupakan petualangan. Saat pemberontakan meletus, pemerintah Belanda dengan mudah melipat gerakan PKI dan menghukum mati beberapa pemimpinnya.

Pada tahun 1926 di Bangkok, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Dalam manifesto pendirian partai dia mengkritik tindakan petualangan PKI. Dan, saat PKI bergerak di bawah tanah, hanya PARI organisasi yang memperjuangkan secara terbuka pentingnya kemerdekaan Indonesia.  Saat kembali ke Filipina Agustus 1927, Tan Malaka ditangkap polisi Amerika atas permintaan Belanda.  Tapi politisi Filipina membelanya. Dia pun dideportasi.

Tan Malaka lalu terus-menerus hidup dalam buruan. Di luar negeri ia terpaksa hidup berpindah-pindah. Dia baru kembali  Indonesia tahun 1942. Dia datang dari Sumatera sebelum tiba di Jakarta. Di saat itu pula ia menulis buku “Materialisme Dialektika dan Logika” (Madilog).

Pada masa pendudukan Jepang, Tan Malaka menyamar dengan cara bekerja sebaga klerek di Bayah, Jawa Barat. Di sana dia menyaksikan kekejaman Jepang pada era Romusha. Dia baru muncul lagi saat Jepang menyerah dan Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan bulan Agustus 1945. Dia sempat bertemu dengan Soekarno dan Mohammad Hatta, yunior-yuniornya.  Setelah itu Tan Malaka berkeliling Jawa untuk mendorong taktik kemerdekaan 100 persen yang tak didukung sepenuhnya oleh Soekarno.

Tan Malaka juga meluncurkan Persatuan Perjuangan, sebuah koalisi dari 140 kelompok kecil, di luar PKI.  Persatuan Perjuangan ini mendapat dukungan luas, termasuk dari tentara saat Jendral Sudirman menyatakan dukungannya.  Pada bulan Februari 1946 koalisi ini mendesak pengunduran diri Sutan Sjahrir selaku Perdana Menteri karena dianggap sebagai kolaborator Belanda.

Sebagai tanggapan atas gerakan Persatuan Perjuangan, pemerintah Soekarno menangkapi pimpinan-pimpinannya pada bulan Maret 1946, termasuk Tan Malaka.  Dia dipenjara hingga September 1948. Di sini ia menulis buku "Dari Penjara ke Penjara." Dia kemudian dibebaskan karena desakan berbagai organisasi, termasuk PKI.  Saat dilepas, dia menghabiskan waktu di Yogyakarta dan mendirikan Partai Murba.

Thomas Cup dan Uber Cup Kobarkan Semangat Atlet Jelang Olimpiade 2024

Saat Belanda masuk Yogya tahun 1948, Tan Malaka lari ke Jawa Timur. Dia lalu mendirikan markas di Blimbing, sebuah desa yang dikelilingi sawah.  Dia menjalin kontak dengan Mayor Sabarudin, pemimpin Batalion 38. Dalam pandangan Tan Malaka, hanya satuan Sabarudin yang masih bertempur melawan Belanda.  Namun Sabarudin saat itu juga terlibat konflik dengan kelompok tentara lainnya.  Pada tanggal 17 Februari 1949, pimpinan TNI di  Jawa Timur menuduh Sabarudin melawan hukum militer dan diperintahkan segera ditangkap. Pada tanggal 19 Februari, TNI menangkap Tan Malaka di Blimbing.  Pada tanggal 20 Februari satuan elit korps tentara Belanda (KST) memulai operasi pembersihan TNI mulai dari Jawa Timur hingga Nganjuk. Tentara Belanda  bertindak cepat dan brutal.

Saat terjepit, satuan TNI memutuskan mengungsi ke gunung-gunung tinggi di Jawa Timur seraya membawa Tan Malaka. Tan Malaka sendiri tengah dalam keadaan sakit. Puncaknya Tan Malaka  dieksekusi  Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya pimpinan Letnan Dua Soekotjo  tanggal 21 Februari 1949. Tubuh Tan Malaka lalu dimakamkan di desa Selo Panggung, lereng Gunung Wilis, Jawa Timur.

Ramalan zodiak

Ramalan Zodiak Kamis 25 April 2024, Libra Lajang Bertemu Seseorang Istimewa

Ramalan zodiak Kamis, 25 April 2024. Aries ingin menjauh dari realitas sejenak. Bagi Libra yang lajang, mungkin ada kesempatan untuk bertemu seseorang yang istimewa.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024