Kisah dari Pembaca eks Tapol

Proyek Samping (VI)

VIVAnews -  Bukan hanya tapol yang hidup prihatin, lebih nelangsa kalau melihat nasib para Wala atau Wajib Lapor, mereka benar-benar diperas, disiksa lahir-batin.

Perlakuan terhadap mereka mungkin sama dengan apa yang dilakukan para pangreh-praja dijaman Multatuli seabad lalu di Banten. Nasib mereka sedikit lebih baik dari kami karena mereka tidak disekap, tidak ditahan  dan "relatif" bebas diluar.

Mereka kebanyakan adalah buruh perkebunan, mungkin dulu bergabung dengan serikat buruh perkebunan (Sarbupri?). Setiap bulan kepada mereka dikenakan "wajib kerja tanpa dibayar" selama satu minggu. Karena tempat tinggal mereka jauh dari lokasi proyek, seperti Cikeusik-Cibiuk atau Cibaliung, untuk sampai ke lokasi proyek mereka harus berjalan kaki sehari penuh.

Praktis waktu yang disita Korem adalah 9 hari, 7 hari kerja tanpa dibayar, 2 hari untuk perjalanan pulang pergi. dan bekal harus bawa sendiri. Kalau melihat mereka menanak nasi dan lauknya tidak jauh beda dari kami para tapol, hati saya menangis!

Menangis sedih karena saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong mereka. Untuk mendekati dan mengobrol dengan mereka pun saya harus hati-hati agar tidak dicurigai petugas.

Hubungan semacam ini saya jaga pula dengan tuan rumah, yang pada awalnya menjaga jarak dan menganggap saya "kafir dan murtad!". Saya tidak sakit hati karena saya tidak pernah shalat lima waktu, untuk ini saya tidak perlu bohong dan berpura-pura.
 
"Saya tidak pernah lihat pak Djoko shalat?" celetuk ibu Hajjah Siti suatu saat. "Boro-boro mau shalat bu, saya ini kan orang hukuman. Nanti kalau saya sudah jadi orang bebas, orang normal, saya akan shalat. Sekarang saya dan teman-teman lagi jadi manusia-manusia tidak normal!"

Ibu Hajjah Siti hanya bisa manggut-manggut saja. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari saya selalu bantu dia kalau perlu daun sirih,saya ambilkan atau carikan. Kalau ada atap bocor, saya naik ke atap memperbaikinya. Kalau ada kiriman makanan dari Jakarta, semua saya serahkan padanya, beras,susu kaleng atau makanan lain dan saya hanya mengambil coklat (kalau ada) dan obat-obatan.

Yang datang dari Jakarta bisa adik kandung (yang saat itu kuliah di Jurusan sastra Perancis UI) atau saudara sepupu, Sofiati Soedarsono. Mereka kalau bawa makanan selalu dalam jumlah berlebih.

Sikap pak haji tuan rumah terhadap saya mencapai puncaknya ketika saya sampaikan bahwa seorang astronot Amerika berhasil mendarat di bulan. "Tidak mungkin, tidak mungkin, itu hanya pikiran orang kafir!"

Tetapi dia bungkam saat Komandan Detasemen Peralatan Kapten Abi Said datang ke Desa Kerta membawa Majalah Time dan ditunjukkan kepada pak haji. Pak haji hanya manggut-manggut menerima penjelasannya karena yang berbicara seorang kapten, bukan Djoko yang tidak pernah shalat (pak kapten,setahu saya juga tidak pernah shalat).

Disaat jatuh bulan puasa, saya juga tidak puasa dan ibu hajjah Siti malah masak buat saya. Saya bilang "Ibu jangan masak buat saya, kan ibu sendiri puasa!" "Tidak apa-apa sep, kan buat ibu pahalanya lebih besar kalau masak buat asep"

Itu terjadi setelah hubungan kami jadi baik. tetapi perbuatan saya mungkin dianggap suatu kekurangajaran oleh beberapa orang yang "sok menganggap diri paling Islami". Masalahnya, saya di bengkel yang terletak dipinggir jalan dan hanya dipagari bambu,  makan siang dengan tenang saat orang lalu-lalang. Saya dianggap tidak menghormati mereka yang berpuasa, itu saja.

"Kalau saya puasa, walaupun ada orang merokok atau makan di depan hidung saya, saya tidak akan terganggu. Kalau anda terganggu,berarti anda puasanya tidak ikhlas!" Orang yang menegur saya itu saya tarik dan saya ajak ke warung lewat jalan belakang dan di dalam warung mereka yang haji pakai kopiah putih dengan asyiknya makan diam-diam.

"Bapak lihat sendiri kan? bedanya mereka malu dan sembunyi-sembunyi, saya tidak perlu malu karena saya harus kerja dan tidak bisa menahan haus siang hari". Dan ibu Hajjah Siti tanpa malu juga sering menghentikan mobil lewat, pesan pada sopir :"Tolong sampaikan makan siangnya anak saya!"

Ibu Hajjah Siti suatu saat pernah bicara terus terang, kalau suatu saat meninggal ingin supaya jasadnya dibungkus kain kafan yang dari saya, yang sudah dianggap anak sendiri. Begitu terharu saya dibuatnya, padahal saat datang saya dimusuhi!

Menjelang saya diberangkatkan ke Buru dan khawatir tidak bisa melaksanakan keinginan ibu hajjah Siti yang sudah renta, saya berpesan pada adik di Jakarta supaya beli kain kafan dan serahkan pada pak guru Sjamsuddin, menantunya. bersambung..

Menkeu Sebut Jumlah Dana Pemda Mengendap di Bank Capai Rp 180,9 Triliun
Menteri Sosial Tri Rismaharini

Risma Populer di Jatim tetapi Elektabilitas Khofifah Tinggi, Menurut Pakar Komunikasi Politik

Pakar komunikasi politik mengatakan sosok Menteri Sosial Tri Rismaharini cukup populer di Jawa Timur tetapi elektabilitasnya tidak setinggi Khofifah Indar Parawansa.

img_title
VIVA.co.id
26 April 2024