Transparansi Kebijakan Anggaran

VIVAnews - Kebijakan anggaran seharusnya memuat alokasi penganggaran yang dapat mengintervensi pengurangan kemiskinan dan upaya meningkatkan kesejahteraan. Jika saban tahun anggaran dibahas, disahkan dan kemudian di-impelementasikan tetapi kemiskinan tak kunjung berkurang bahkan justru bertambah, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah belum berupaya secara maksimal.

Wow, Pegawai ASN yang Pindah ke IKN Bakal Dapat Satu Unit Apartemen Layak Huni

Anggaran juga belum berfungsi secara maksimal sebagai instrumen pengurangan kemiskinan tersebut. Ini boleh jadi karena memang anggaran tidak pernah memuat alokasi anggaran yang pro-poor atau pro pemenuhan hak-hak dasar. Jika sudah memuat pun, tapi menyimpang pada ranah implementasi.

Sudah menjadi suatu masalah akut, bahwa ketidakjelasan alokasi anggaran dalam APBD, sangat erat berkait dengan persoalan proses penyusunan anggaran yang tertutup, atau tidak transparan mulai dari proses penyusunan-perumusan-pembahasan sampai akhirnya menyimpang pada implementasi.

Pembangkangan Terhadap UU Telekomunikasi, Pengusaha Ilegal Ini Diancam Hukuman Pidana

Di negeri kita ini, wabilkhusus di daerah tercinta ini, proses penyusunan anggaran masih menjadi wilayah eksklusif atau menjadi domain para elit eksekutif dan legislatif, sehingga segala sesuatu misalnya yang berkenaan dengan dokumen perencanaan dan dokumen anggaran itu hanya dapat diakses di kalangan elit.

Dalam kasus ini, meskipun masyarakat merupakan pemegang kedaulatan sejati, yang dengan susah payah menyumbangkan pendapatan bagi negara melalui kontribusi pajak dan retribusi, namun tak memiliki kedaulatan yang setara untuk ikut serta berpartisipasi dan pastinya tersingkir dari proses penyusunan anggaran.

KPK Eksekusi Sanksi Etik Eks Karutan Achmad Fauzi soal Kasus Pungli

Jadi bukan hal yang baru jika saban tahun selalu terdengar cerita bahwa anggaran masih tidak berpihak kepada pemenuhan hak-hak dasar rakyat, karena memang rakyat tak pernah diberikan ruang untuk menelaah, mengajukan usulan, mengkritisi dan mengawasi anggaran.

Karena partisipasi dalam hal ini dianggap menjadi masalah oleh elit, dan transparansi akan menjadi kuburan bagi ladang basah penyelewengan anggaran. Bagi elemen masyarakat sipil, hal ini sudah terlihat jelas dengan tidak diprioritaskannya anggaran terhadap pemenuhan hak-hak atas pendidikan, kesehatan, keterbukaan lapangan kerja dan sebagainya.

Hampir di semua daerah, alokasi anggaran selalu timpang. Secara persentase lebih besar pada belanja aparatur pemerintahan dan belanja yang tak tentu ‘rudu,’ baik di belanja langsung dan tak langsung. Kalau pun secara angka ada yang dialokasikan cukup besar di anggaran belanja publik yang bersifat pelayanan, tapi biasanya tetap ditumpangi dengan adanya belanja aparatur, belum lagi peluang penyimpangan impelementasi anggaran karena lemahnya pengawasan.

Berkaitan dengan Pemilu, dari cerita yang sudah-sudah, harapan pemilihan langsung dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berpihak kepada rakyat pemilih ternyata adalah harapan hampa.

Kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah dan legislator yang dipilih melalui prosedur demokrasi, tidak representatif dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat, malah menyalahgunakan mandat rakyat secara lebih kasar untuk memenuhi pundi-pundi keuangan pribadi.

Persoalan rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran di Indonesia, dikarenakan selain rakyat yang memang masih lemah dan butuh pembelajaran dalam berpartisipasi. Juga karena sistem yang memang sengaja diciptakan oleh yang berkuasa untuk melanggengkan ‘eksklusivitas’ dalam proses penyusunan anggaran.

Meskipun berbagai peraturan sudah dilahirkan guna memayungi hak-hak berpartisipasi rakyat. Namun tetap saja dalam implementasinya, hak-hak ini dikebiri oleh eksekutif dan legislatif, sehingga tak jarang sering didengar adanya Musrenbang mulai dari desa sampai kecamatan, tapi usulan itu ‘mentah’ di pembahasan anggaran.

Seringkali prosedur-prosedur partisipasi itu sekedar menjadi pelengkap untuk justifikasi penyusunan-perumusan anggaran yang sepenuhnya dikuasai oleh eksekutif dan legislatif. Tak mengherankan jika proses pengambilan keputusan perencanaan dan penganggaran lebih kental dipengaruhi oleh hubungan patronase antara eksekutif dan legislatif.

Termasuk dipengaruhi oleh pesanan pihak ketiga dalam hal ini pengusaha rekanan ataun kontraktor proyek anggaran. Jika sudah begini maka anggaran pastinya rawan manipulasi, korupsi dan kolusi. Masalah partisipasi yang dikebiri menjadi satu hal yang menghalangi publik. Seiring dengan itu, masalah transparansi juga kerap dipersoalkan dalam penyusunan-perumusan dan implementasi anggaran.

Partisipasi masyarakat yang masih lemah dengan berbagai hambatan dan kendala yang sistemik. Diperparah dengan ketertutupan pihak-pihak elit dalam membuka akses publik terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan anggaran, ketidakterbukaan jelas sekali terjadi.

Dalam berbagai kasus advokasi anggaran yang kerap dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat sipil, selalu saja membentur dinding tebal ketidak-transparanan ini. Elemen-elemen masyarakat sipil tersebut selalu dihadapkan pada tertutupnya akses public terhadap informasi anggaran.

Dokumen-dokumen perencanaan anggaran dan juga dokumen anggaran seperti RKA-SKPD, RAPBD, APBD dan DPA selalu susah untuk diperoleh. Alasannya simpel saja, bahwa itu dokumen milik eksekutif dan legislatif yang seakan-akan ‘haram’ untuk diakses oleh masyarakat.

Pengalaman-pengalaman seperti ini pernah kami alami sendiri, bahkan biasanya dalam upaya mengakses dokumen-dokumen itu, di-pingpong kesana-kemari. Mentalitas ini masih sangat sulit diubah, karena memang sudah bermasalah.

Seiring dengan adanya UU KIP, besar harapan bahwa transparansi terhadap informasi publik akan berjalan, meskipun sepertinya masih berupa angan-angan. Untuk konteks Kalimantan Barat, belum satu pun daerah yang sudah menerapkan prinsip partisipasi dan transparansi untuk menjalankan pemerintahannya termasuk dalam proses penyusunan-perumusan dan implementasi anggaran.

Meskipun Kalbar dan Kota Pontianak sudah memilik Perda Transparansi, saya kira masih terjebak pada demokratisasi prosedural dengan asumsi jika sudah ada Perda maka seakan sudah transparan.

Beberapa hari lalu Walikota Pontianak juga sudah mengisyaratkan di media, bahwa kebijakan-kebijakan, termasuk anggaran beserta data-informasinya dapat di akses oleh masyarakat. Mudah-mudahan bukan sekedar janji, tapi dapat ditepati! Semoga… (Rudy Handoko)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya