Ekspor Wajib LC

Setahun, Eksportir CPO Rugi US$ 8,75 Juta

VIVAnews - Kewajiban menggunakan kredit ekspor (LC) dalam pembayaran transaksi ekspor berbasis sumber daya alam sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 10/2009 disinyalir akan merugikan eksportir jutaan dolar.

5 Fakta Mengerikan Jelang Duel Brighton vs Manchester City di Premier League

Pasalnya, eksportir terutama komoditas minyak sawit mentah (CPO) harus menanggung biaya penerbitan LC yang diperkirakan mencapai US$ 8,75 juta dalam setahun.

"Untuk mencairkan LC, harus ada proses negosiasi setidaknya tiga minggu, sehingga butuh waktu hampir dua bulan untuk mencairkan LC di bank penerbit maupun bank pembayar," kata Bussiness Development PT Wilmar International, salah satu eksportir CPO, Max Ramajaya di Jakarta, Senin, 30 Maret 2009.

Dia menambahkan, selama dua bulan uang yang sebelumnya disetor untuk membuka LC berputar di bank dan harus dibayar bunganya. "Okelah, waktu buka LC, kita setor uang tapi tidak ada biaya karena tidak bayar bunga, tapi setelah melayang di bank selama dua bulan, eksportir harus membayar 0,5 persen dari nilai ekspor untuk membayar bunga," kata Max.

Belum lagi, dia menambahkan, dengan fee negosiasi bank dan bank pembuka bisa mencapai 0,5 - 0,75 persen dari nilai ekspor. "Jadi total, eksportir yang menanggung pembukaan LC harus membayar setidaknya 1,5 persen dari nilai ekspor," ujarnya.

Padahal untuk ekspor CPO, kata Max, sekali transaksi ekspor minimal mengirimkan 5 ribu ton per shipment. Dengan harga CPO sekitar US$ 550 - US$ 600 per ton maka sekali pengapalan minimal ekspor minimal senilai US$ 2,75 juta - US$ 3 juta. "Sekali pengapalan harus siap membayar paling mepet US$ 25 ribu untuk biaya LC," katanya.

Setiap tahun, rata-rata eksportir mengirimkan 7 juta ton sehingga jika dibagi 5 ribu ton per pengapalan, maka satu eksportir saja akan melakukan 350 kali pengapalan. "Kalikan saja 350 kali pengapalan dengan biaya US$ 25 ribu, itulah ekonomi biaya tinggi yang ditanggung dengan adanya LC," ujarnya.

Dengan kerugian sebesar itu, akan sangat wajar jika berpengaruh pada harga tandan buah segar (TBS) sawit di level petani. "Kalau begitu, efeknya akan sampai ke belakang. Bisa menekan harga TBS," ujarnya.

Kalaupun biaya LC tidak ditanggung eksportir, kerugian masih menghantui eksportir. Dalam jangka pendek, Max mengatakan, buyer importir akan banyak yang mundur dan memilih negara lain misalnya Malaysia untuk beli CPO. Menurutnya, wajib LC hanya mengurangi daya saing kompetitif produk CPO Indonesia jika dibandingkan dengan negara penghasil CPO lainnya.

Masalahnya, menurut dia, siapa yang akan menanggung ekonomi biaya tinggi ini. Kalau importir yang menanggung, maka buntutnya ekspor akan menurun. Tapi kalau eksportir yang menanggung, maka marjin keuntungan siap-siap berkurang.

Namun, sebagian besar eksportir CPO lebih memilih mengurangi marjin keuntungan dan menekan harga TBS dibandingkan mengurangi daya saing kompetitif produk mereka dibandingkan negara penghasil lainnya.

Ngeri! Penampakan Angin Puting Beliung 'Hadang' Nelayan di Perairan Madura
Syahrul Yasin Limpo (SYL), Jalani Sidang Perdana

Anak Buah SYL Video Call Bahas 'Orang KPK' dan 'Ketua': Siapin Dolar Nanti Kami Atur

Mantan Sespri Sekjen Kementerian Pertanian, Merdian Tri Hadi menyebut terdakwa Kasdi Subagyo sempat berkomunikasi dengan seseorang melalui video call.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024