VIVAnews - Kalangan anggota DPR mengkhawatirkan suntikan bagi Indover bisa menimbulkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia jilid kedua.
"DPR tak mau ini menjadi kasus BLBI kedua," ujar anggota Komisi Keuangan DPR, Dradjad Wibowo seusai rapat dengan manajemen Indover di gedung DPR, Jakarta, Rabu, 22 Oktober 2008. Namun, dia mengingatkan kasus ini tidak sebesar dengan BLBI yang dikucurkan pada saat krisis moneter 1998.
Rapat tersebut membahas mengenai nasib Indover setelah pengadilan Belanda membekukan kegiatan usaha bank ini. Manajemen Indover ke DPR untuk menjelaskan persoalan Indover agar bisa diselamatkan oleh pemerintah atas persetujuan DPR. Penyelamatan bank ini diperkirakan membutuhkan dana Rp 7 triliun.
DPR, menurut Dradjad, tidak mau terburu-buru. Apalagi, perincian neraca Indover oleh manajemen tidak jelas. Jika dibilang menyangkut harga diri bangsa sebaiknya menulis langsung surat ke DPR. "Saya tidak mau dipanggil Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)," katanya.
Dia mengingatkan putusan ini harus diserahkan ke Presiden. Selanjutnya, pemerintah menyurati DPR soal usulan penanganan anak perusahaan Bank Indonesia ini.
Dradjad kecewa dengan manajemen Indover. Dulu, saat Indover dijadikan tempat bank-bank menyimpan duit bermasalah tidak pernah melaporkan ke DPR. Namun, setelah ada kasus tiba-tiba disampaikan ke DPR.
Anggota DPR, Agung Rai Wirajaya menyatakan kekecewaannya atas laporan yang disampaikan manajemen Indover Bank terkait upaya penyelamatan bank ini dari pembekuan oleh Pengadilan Belanda. "Indover tidak memberikan gambaran jelas sehingga kami belum bisa mengambil sikap," katanya. Menurut dia, Indover tidak mengetahui berapa dana yang diperlukan untuk menyelamatkan Indover.
Sedangkan, Direktur Pelaksana Indover Nana Supriana menyatakan bahwa pihaknya sudah berusaha mencari dana dari bank Eropa dan Arab untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Namun, soal putusan nasib Indover, dia menyerahkan kepada pemegang saham dan DPR.