Pilihan di Antara Kerakusan Pariwisata

VIVAnews - Penampilan Kadek Sukadana tidak berubah ketika dia menjadi pemandu lokal. Kaos biru tua dan celana pendek yang dia kenakan tidak berbeda dengan penampilannya sehari sebelumnya. Rabu (8/4) lalu, warga Nusa Ceningan, Desa Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung ini menjadi pemandu bagi tujuh turis mancanegara dan domestik di desanya.

Sukadana, sehari-harinya petani rumput laut, ini tidak harus mengubah penampilan hanya karena sedang menjadi pemandu lokal kegiatan pariwisata. Biasanya pemandu wisata di Bali mengenakan pakaian khas seperti pakaian adat madya dengan udeng (ikat kepala) dan kamen (sarung) atau setidaknya seragam.

Tapi tidak dengan Sukadana. Dia bahkan hanya bersandal jepit meski mereka melewati rute perjalanan naik turun dan berbatu. Pagi itu, Sukadana bersama para turis sedang melakukan tracking menjelajah sebagian pulau.

Tak hanya tentang berbagai potensi pulau seluas 306,5 hektar ini, Sukadana juga menjelaskan bagaimana warga setempat akhirnya memilih untuk tidak menyerah kalah pada pariwisata. Warga Nusa Ceningan tak hanya melawan kekuasaan besar yang kini hampir menjajah seluruh wilayah Bali ini tapi juga menawarkan alternatif bagaimana agar warga lokal tidak harus tersingkir dari tanahnya sendiri atas nama pariwisata. Mereka membentuk Jaringan Ekowisata Desa (JED).

Jaringan yang terdiri dari empat desa ini dibentuk pada 4 Juni 2002 lalu. Selain Nusa Ceningan, tiga desa lain dalam jaringan ini adalah Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung; Desa Tenganan Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem; dan Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Empat desa ini memiliki cita-cita sama: menjadi tuan atas pariwisata di tanahnya sendiri.

Warga Nusa Ceningan termasuk kelompok yang hampir jadi korban keserakahan pariwisata ini.

Pada tahun 1999, sebuah proyek bersama PT Puri Loka Asri, Bali Tourism Development Corporation (BTDC), dan Pemkab Klungkung akan dilaksanakan di Ceningan. Proyek untuk membangun Green Island di Nusa Ceningan ini dilaksanakan oleh konsorsium bernama Nusa Penida Devindo Wisata. Pulau seluas 306,5 hektar ini akan dijadikan pusat pariwisata seperti halnya di Nusa Dua, Badung. Ada fasilitas mewah seperti hotel berbintang dan lapangan golf.

Konsekuensinya, warga lokal harus menyingkir dari tanahnya sendiri. Sebab pulau itu sudah dibeli investor. Warga hanya mendapat sisa kurang dari 20 persen dari luas pulau dari awalnya.

“Kami hanya diberi tanah masing-masing empat are sebagai tempat tinggal,” kata Sukadana. Sekitar 1.500 warga harus tinggal di daerah yang sudah ditentukan oleh investor. Mereka dilokalisir disertai janji dari investor bahwa warga akan mendapat listrik gratis dan pekerjaan di fasilitas pariwisata tersebut.

Ide besar itu tidak langsung diterima warga lokal. Mereka membentuk Forum Komunikasi Nusa Ceningan (FKCN) yang mengkaji rencana pembangunan tersebut secara lebih mendalam.

“Setelah melihat lebih detail, kami baru tahu bahwa pembangunan tersebut lebih banyak jeleknya dibanding bagusnya,” kata Gede Lama, salah satu anggota FKCN. Dampak buruk itu, menurut Lama, antara lain ancaman limbah hotel yang bisa merusak rumput laut, sumber penghasilan utama hampir seluruh warga Ceningan.

Hal paling penting adalah terancamnya generasi warga serta leluhur mereka. “Kami hidup terus bertambah, lalu di mana anak cucu kami harus tinggal kalau tanah kami sudah dibeli semua,” tanya Lama.

“Kalau pura-pura kami digusur untuk pembangunan, lalu di mana kami harus menghaturkan sesaji untuk leluhur kami,” tambahnya.

Istana Tegaskan Dua Menteri PKB Bertemu Jokowi Tak Bahas Hak Angket

Suasana Pagi di Nusa Ceningan

Menimbang dampak buruk yang lebih banyak dibanding dampak baiknya, warga sepakat menolak proyek pembangunan tersebut. Mereka juga belajar dari dua kasus penggusuran lain di Bali yang berakhir dengan ketidakjelasan nasib warganya. “Kami belajar dari warga Serangan dan Pecatu,” kata Lama menyebut dua proyek lain di Bali yang gagal.

Kasus di Pulau Serangan, Denpasar Selatan adalah gagalnya pembangunan proyek ambisius bernama Bali Turtle Island Development (BITD). Pulau seluas 117 hektar ini direklamasi menjadi lebih dari empat kali lipat untuk pembangunan wisata. Namun proyek yang dipunyai keluarga Cendana ini gagal ketika krisis ekonomi politik terjadi di Indonesia pada 1997-1998. Sisanya adalah warga yang harus menjual tanah dan kini kehilangan pekerjaan sebagai nelayan serta rusaknya lingkungan di pulau tersebut.

Proyek lain yang gagal, dan juga punya keluarga Cendana, adalah megaproyek di Bukit Pecatu, Jimbaran. Setelah investor berhasil mengusir warga lokal di bukit seluas 650 hektar ini, proyek oleh PT Bali Pecatu Graha (BPG) ini ternyata berhenti juga. Warga terusir dan proyek tidak jelas.

Dua proyek gagal itu yang menjadi pelajaran bagi Lama, Sukadana, dan warga Ceningan lainnya. “Kami tidak menolak pariwisata di Bali. Kami hanya ingin menjadi bagian dari pariwisata itu tanpa harus terusir dari tanah kami sendiri,” kata Sukadana.

Dengan dukungan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Wisnu, Yayasan Manikaya Kauci, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, serta Politeknik Bali, warga setempat kemudian memetakan sendiri wilayah mereka. Inilah bagian dari melibatkan warga dalam upaya mengenali wilayahnya sendiri tersebut.

Perkenalan dengan beberapa LSM tersebut, terutama Yayasan Wisnu, membuat warga Nusa Ceningan juga mengenal desa lain yang punya persoalan kurang lebih sama, mimpi terlibat dalam kegiatan pariwisata. Tiga desa lain yang sebelumnya sudah menjadi mitra Yayasan Wisnu dan punya koperasi primer di desa masing-masing kemudian membentuk JED.

Sebagai jaringan, JED menitikberatkan pada kerjasama antar koperasi primer. Masing-masing koperasi itu, ditambah dengan Yayasan Wisnu, punya saham atas JED. Yayasan Wisnu, LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dan lingkungan, itu sekaligus sebagai operator JED.

I Gede Astana Jaya, Koordinator JED mengatakan ada empat hal yang membedakan mass tourism dengan ekowisata, jantung dari pariwisata ala JED. Ekowisata bersandar pada komunitas, pendidikan, budaya, dan lingkungan. “Empat hal ini harus berjalan secara seimbang,” kata Gede. Pertama, komunitas lokal harus terlibat dan diberdayakan sejak penyusunan, pelaksanaan, hingga evaluasi wisata. Kedua, wisata harus jadi media belajar bagi turis maupun masyarakat. Ketiga, budaya setempat harus diberi tempat agar tetap bertahan di tengah derasnya budaya dominan lain. Serta, keempat kegiatan wisata ini harus memperhatikan kelestarian lingkungan.

Gede mencontohkan keterlibatan warga, yang sebagian besar adalah petani, di masing-masing desa. Mereka sendiri yang melakukan pemetaan, perencanaan, pelaksana, sampai evaluasi. Kalau ada turis berkunjung ke satu desa, maka warga lokal yang menjadi pemandu, bukan karyawan travel agent.

Rabu pekan lalu misalnya, dua warga dari desa lain juga menjadi pemandu bagi turis yang berkunjung ke Nusa Ceningan. Gede Wiratha, petani dari Desa Pelaga, dan Komang Gede, warga Desa Sibetan menjadi pemandu turis sejak keberangkatan dari Denpasar dan selama melakukan aktivitas dua hari di Ceningan sampai turis kembali ke Denpasar. Sekali lagi, dua orang ini bukan pemandu wisata profesional tapi warga yang terlibat langsung dalam pariwisata.

Toh, hal ini justru menjadi nilai tambah bagi turis. “Mengesankan. Saya suka dengan informalitasnya. Tidak ada yang dibuat-buat selama mereka melayani kami,” kata Hendrikus Gego.

“Sangat bagus. Saya akan ke sini lagi kapan-kapan,” kata Steff Deprez, warga Belgia yang kini tinggal di Denpasar. Steff dan Hendrikus adalah dua di antara 20 turis yang Rabu lalu melakukan aktivitas wisata di Nusa Ceningan.

Informalitas yang dimaksud Hengki, panggilan akrab Hendrikus Gego, adalah suasana cair yang terjalin antara turis dengan warga lokal. Turis yang berkunjung ke desa JED terlibat langsung dalam kegiatan warga setempat. Bisa saja turis itu melihat proses produksi wine di Desa Sibetan, memetik kopi di Desa Pelaga, atau budidaya rumput laut di Nusa Ceningan.

Tiadanya jarak antara turis dan warga pun terlihat saat makan. Warga ikut langsung dengan turis. Mereka sama-sama duduk di bawah tenda beratap klangsah (daun kelapa kering) di belakang kantor koperasi Sarining Segara milik warga Nusa Ceningan. Koki masakan tersebut bukan koki profesional ala hotel tapi ibu-ibu anggota koperasi. Masakannya juga sederhana, nasi putih dengan ikan laut bakar dan goreng beserta sambal matahnya.

“Karena seperti masakan rumah, rasanya jadi jauh lebih nikmat,” ujar Hengki.

Tak seperti makanan di hotel yang sophisticated dan seringkali menggunakan bahan impor, masakan di sini juga menggunakan bahan-bahan lokal. Kopi untuk tamu adalah kopi dari Desa Pelaga dan beras yang dimakan adalah beras dari Tenganan. JED memang sekaligus menjadi salah satu alat distribusi hasil pertanian di antara empat desa anggotanya. “Tapi distribusinya tidak terlalu berjalan baik,” kata Wiratha, petani kopi Pelaga yang ikut jadi pemandu di Ceningan pekan lalu.

Inilah salah satu kekuatan ekowisata ala JED, menggunakan sumber daya lokal dalam pariwisata. Hal ini termasuk rumah warga sebagai tempat penginapan selain dua cottage di atas bukit yang disewakan untuk turis. Karena rumah warga yang digunakan, maka fasilitasnya pun tak jauh berbeda dengan rumah biasa.

Berkano di Nusa Ceningan Bali

Begitu pula saat turis melakukan aktivitas naik kano sebagai salah satu kegiatan wisata di Ceningan. Kano yang digunakan adalah kano milik warga Ceningan yang sehari-hari digunakan untuk bertani rumput laut, bukan kano khusus untuk wisata seperti halnya di Sanur, Denpasar.

Dengan keterbatasan fasilitas dan promosi, peminat ekowisata ini termasuk jauh lebih kecil dibanding jenis pariwisata massal lain. Toh dua tahun ini jumlah pengunjung terus meningkat dengan jumlah berbeda-beda di tiap desa. Misalnya di Sibetan, dalam kurun waktu enam bulan hanya ada 18 pengunjung. Tapi di Pelaga mencapai 112 orang pada saat yang sama.

Menurut Gede Astana Jaya bedanya jumlah pengunjung ini karena paket ekowisata JED memang bisa memilih ke satu desa, dua desa, atau seluruh desa. Harganya berbeda-beda tergantung lokasi desa, antara Rp 495 ribu sampai Rp 1.170.000. Harga itu untuk satu orang ke satu desa minimal untuk dua orang.

Penentuan harga tersebut ditentukan oleh warga desa di mana 75 persen masuk ke kas koperasi desa. Sisanya ke operasional JED, yang juga milik warga desa melalui koperasi skunder. Karena sistem pembagian hasil itu pula, maka di desa mana pun turis itu memilih perjalanan wisata, hasil akhirnya tetap akan lari ke desa-desa peserta JED.

Dengan segala keterbatasannya, ekowisata seperti yang diterapkan JED bisa menjadi alternatif bagi kegiatan wisata di Bali yang cenderung hanya mengedepankan jumlah pengunjung (mass tourism) dibanding kualitas wisata bagi warga lokal.

“Kalau dalam mass tourism, yang untung adalah investor. Kalau ekowisata kan kami sendiri yang mendapat hasilnya. Meski hanya sedikit apa yang didapat, kami tetap bangga karena kami bisa mengelola milik kami sendiri,” kata Sukadana. [b]

Waketum Golkar Sebut Tak Ada Alasan Majukan Jadwal Munas

logo balebengong

Menteri Keuangan Sri Mulyani rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI

Komisi XI DPR Cecar soal Anggaran Makan Siang Gratis, Sri Mulyani Minta Maaf

Anggota komisi XI mencecar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal makan siang gratis yang dikabarkan sudah masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. 

img_title
VIVA.co.id
19 Maret 2024