Timur Tengah Menarik Bagi Konstruksi Nasional

VIVAnews - Kawasan Timur Tengah dan Afrika masih merupakan tempat yang potensial untuk sektor konstruksi nasional. Namun, konstruksi nasional menghadapi tiga masalah utama yaitu kurangnya modal, jaminan berusaha serta peraturan pajak yang belum diterima.,

Di tengah melemahnya pasar konstruksi nasional, pilihan pasar konstruksi di luar negeri cukup menjanjikan, di Timur Tengah yang dalam lima tahun bisa mencapai US$978 miliar.

Pemain Bintang Jakarta Pertamina Enduro Tampil di Laga Persahabatan Lawan Red Sparks

Negara Timur Tengah tersebut di antaranya UAE US$294 miliar, Kuwait US$211 miliar, Saudi Arabia US$201 miliar, Qatar US$ 115 miliar, Iran US$97 miliar, Oman US$33 miliar, dan Bahrain US$27 miliar, serta di Jordania mencapai US$35 miliar.

"Nilai kontruksi di Timur Tengah lebih dari Rp 10.000 triliun, belum lagi negara Afrika," kata Kepala Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Departemen PU Sumaryanto Widayatin pada Temu Wartawan di Departemen PU, Kamis, 16 April 2009.

Rehabilitasi di Irak dan Palestina pasca perang membuat peluang konstruksi di daerah tersebut masing-masing senilai US$150 miliar dan US$12,7 miliar. "Kontraktor Indonesia bisa masuk ke pembangunan bandara, pelabuhan, perumahan dan infrastruktur," katanya.

Unas Bentuk Tim Pencari Fakta Usut Dugaan Plagiat Prof Kumba Digdowiseiso

Sementara itu, potensi pasar konstruksi di negara Afrika juga menjanjikan, semisal Aljazair yang mencapai US$80 miliar dan Libya US$200 miliar.

Besarnya potensi tersebut, kata Sumaryanto, belum optimal dimanfaatkan karena kendala permodalan industri konstruksi domestik. Tapi Beberapa pemerintah negara lain seperti Korea, Pakistan dan India mendorong kontraktor asal negaranya dengan bantuan modal.

Sementara hal serupa belum terjadi di Indonesia, dengan peraturan Bank Indonesia yang tidak membolehkan pembiayaan di luar negeri karena dianggap pelarian modal (capital flight).

"Harus ada perjanjian antar pemerintah (G2G) yang memberi keamanan dan sektor kontruksi Indonesia agar kompetitif diantara negara lain," katanya.

Sumaryanto mengilustrasikan, untuk mengatasi kendala arus modal, Pemerintah Indonesia dan Libya bisa mengadakan perjanjian impor minyak dengan ekspor konstruksi ke negara tersebut.

Semua Pihak Diminta Tunjukan Kedewasaan Politik dan Menerima dengan Lapang Dada Hasil Pemilu

Apabila impor minyak Indonesia dari Libya senilai US$400 juta, pemerintah Indonesia mengirimkan konstruksi senilai US$200juta dan sisanya dibayar di Indonesia.

"Kita bisa membuat model sets off pembayaran yang menghemat cost of money menguntungkan tapi tidak mengganggu aturan WTO," ujar Sumaryanto.

Ketentuan negara asal, dia menambahkan, mengenai foreign capital share, serta belum adanya perjanjian double tax free juga menjadi hambatan tersendiri. Menurutnya, di beberapa negara perubahan regulasi dapat terjadi setiap saat dan langsung berlaku.

Jaminan perbankan Indonesia yang belum bisa diterima turut menyulitkan arus modal dalam pasar konstruksi. "Bank Indonesia yang belum bisa menjamin, membuat biaya provisi semakin besar," katanya.

Kendala lainnya, dia menambahkan, adalah visa on arrival tidak diperbolehkan bagi tenaga kerja asal Indonesia, tapi diizinkan bagi tenaga kerja asal Singapura, Malaysia dan Filipina.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya