Ian Buruma

Beban China

VIVAnews - Bulan lalu kita menyaksikan peringatan 50 tahun peristiwa yang disebut kalangan aktivis Tibet sebagai "Hari Perlawanan Nasional Bangsa Tibet." Itulah hari di saat rakyat Tibet di Kota Lhasa berontak atas pemerintah komunis China.

Pemberontakan berhasil ditumpas. Dalai Lama mengungsi ke India. Satu dekade kemudian, situasi kian buruk: banyak orang Tibet, kemungkinan berjumlah lebih dari satu juta jiwa, menderita kelaparan hingga mati selama era "Lompatan Jauh ke Depan" yang diberlakukan Ketua Mao Zedong - pemimpin China saat itu.

Kemudian, di era Revolusi Budaya, banyak kuil dan biara dihancurkan, sebagian dilakukan oleh Garda Merah Tibet. Banyak nyawa melayang selama kekerasan di era itu.

Tak hanya peringatan Tibet, para pejabat China juga mengantisipasi peringatan 20 tahun Tragedi Tiananmen. Maret lalu, saya berada di kota Chengdu, provinsi Sichuan, dimana banyak terdapat orang Tibet.

Di kota itu, turis asing yang tak tahu-menahu peringatan 50 Tahun Perlawanan Tibet tak luput dari pemeriksaan polisi di pinggir jalan untuk mengantisipasi tanda-tanda pemberontakan. Suasana di distrik Tibet yang tadinya penuh semangat jadi mencekam. Di kota ini, bukan saja dilarang memotret, berjalan pun tak leluasa. 

Namun, media massa China menulis artikel mengenai peringatan Tibet dengan menggambarkan seolah-olah orang Tibet bergembira setelah bebas dari feodalisme dan perbudakan selama berabad-abad. China Daily, misalnya, menggambarkan era "pra-pembebasan" di Tibet tak ada beda dengan tinggal di neraka. Maka, orang Tibet kini senang dan bersyukur bisa menjadi warga negara Republik Rakyat China.

Sebagian orang Tibet mungkin membenarkan berita itu, namun tak sedikit yang membantahnya. Masalahnya, bila propaganda China menggambarkan masa lalu Tibet dengan begitu kelam, orang-orang Barat yang bersimpati dengan perjuangan bangsa Tibet juga sering kelewat sentimentil. 

Daya tarik Dalai lama, berpadu dengan aliran kebajikan spiritual ala Himalaya, telah menciptakan kesan bahwa rakyat Tibet yang mistis, bijaksana, dan cinta damai tengah dihantam oleh kekaisaran yang brutal. Namun bukan berarti tak ada kaum terpelajar di Tibet yang menyambut baik Komunis China di dekade 1950-an. Bagi mereka, kekuasaan ala biarawan Budha dipandang picik dan opresif, sedangkan Komunis China menjanjikan modernisasi.

Pesan seperti itulah yang disampaikan pemerintah China dalam beberapa dekade terakhir. Lhasa, kota yang dulu terpencil 30 tahun lampau, kini menjelma menjadi kota yang memiliki alun-alun yang luas, memiliki gedung-gedung bertingkat dan pusat perbelanjaan, dan terhubung dengan kota-kota lain di China berkat jaringan rel kereta api.

Memang benar bahwa orang Tibet, yang jarang terwakili di pemerintahan lokal, mungkin belum menikmati hasil pembangunan seperti halnya orang Han di kota-kota seperti Lhasa. Orang-orang Han datang ke Lhasa, ada yang sebagai tentara, pedagang, bahkan juga ada pekerja seks. Keberadaan para pendatang itu membuat warga asli khawatir bahwa kebudayaan Tibet bisa musnah, kecuali hanya untuk daya tarik wisata oleh pemerintah.

Tak diragukan lagi bahwa desa-desa di Tibet juga berubah menjadi kota yang modern. Artinya, mereka memiliki fasilitas listrik, pendidikan, rumah sakit, dan fasilitas umum lain yang kini lebih baik. Argumen ini tidak hanya dilontarkan para pejabat China, namun juga oleh hampir semua warga Negeri Tiongkok. Pandangan itu dianggap sebagai pembenaran menyatunya Tibet ke dalam China. 

Argumen demikian memiliki sejarah yang panjang. Para imperialis Barat dan Jepang menggunakan penjelasan yang serupa di awal abad ke-20 untuk membenarkan "misi" mereka dalam "memperadabkan" kaum pribumi. Taiwan, yang saat itu dibawah penduduk Jepang, lebih modern ketimbang China. Begitu pula dengan India, yang menjadi modern berkat pembangunan pemerintahan, jalur kereta api, universitas, dan rumah sakit oleh penjajah Inggris.

Namun, di luar kaum chauvinis yang bangga dengan kenangan masa lalu, banyak orang Eropa dan China tidak lagi yakin bahwa modernisasi merupakan pembenaran yang layak untuk menjajah. Modernisasi harus dijalankan oleh penduduk setempat yang memiliki pemerintahan yang mandiri, bukan didikte oleh kekuatan asing. Dengan kata lain, rakyat Tibet harus diperbolehkan memodernisasi diri mereka sendiri.

Namun, pemerintah China punya argumen yang terdengar lebih masuk akal dan mungkin lebih modern. Mereka bangga dengan keberagaman etnik di China.

Jadi, mengapa rasa kebangsaan harus didefinisikan dengan bahasa atau kedaerahan? Bila orang Tibet harus diperbolehkan berpisah dari China, mengapa kondisi serupa tidak terjadi pada orang Wales dari Britania Raya (Inggris), orang Basque dari Spanyol, orang Kurdi dari Turki, atau orang Kashmir dari India?

Dalam kasus-kasus tertentu, jawaban yang muncul adalah well, mungkin mereka juga harus demikian. Namun kedaerahan sebagai ukuran utama kebangsaan adalah konsep yang samar-samar dan berbahaya karena justru mengesampingkan semua kaum minoritas.

Jadi, apakah salah untuk mendukung perjuangan Tibet? Haruskah kita mengesampingkannya sebagai hal sentimentil yang omong kosong? Tidak perlu. Masalahnya bukan pada kebudayaan atau spiritualitas, atau bahkan kemerdekaan nasional Tibet, namun ini menyangkut masalah politik.

Dalam hal ini, nasib orang Tibet tak lebih buruk dari warga-warga China lainnya. Monumen-monumen bersejarah dibuldoser dimana-mana di China demi pembangunan. Kebudayaan disterilkan, diseragamkan, dan dibuat tidak bebas dan tidak spontan di semua kota di China, bukan hanya di Tibet.

Semua warga China, baik itu etnis Han, Tibet, Uighur, maupun Mongolia, bisa menentukan apakah partai yang sedang berkuasa bisa lengser dari puncak. 
 
Masalahnya bukan sekadar kebangsaan atau diskriminasi, namun sentimen politik. Pemerintah China mengklaim bahwa penduduk Tibet telah bahagia.

Namun, tanpa ada kebebasan pers dan hak untuk memilih, tak ada yang bisa memastikan klaim itu. Tindakan-tindakan kekerasan kolektif secara sporadis, diikuti oleh tekanan yang sama kerasnya, mungkin menafikkan klaim itu. 
     
Tanpa reformasi demokratik, lingkaran masalah tidak akan berakhir. Kekerasan pun menjadi ungkapan khas bagi mereka yang hidup tanpa kebebasan berpendapat. Situasi demikian tidak hanya terjadi di Tibet, namun juga di penjuru China.

Orang Tibet hanya akan bebas bila semua orang China juga bebas. Oleh sebab itu, semua orang China tanpa terkecuali sama rata dan sama rasa.

Penulis adalah pengarang buku The China Lover. Artikel ini disadur di laman Project Syndicate (www.project-syndicate.org). Copyright: Project Syndicate, 2009.

Soal Konflik Israel-Iran, Airlangga Cermati Dampak ke Sektor Logistik Minyak Mentah Dunia
Presiden Joko Widodo (Jokowi)

Survei LSI: Tingkat Kepuasan Publik pada Jokowi Naik 76,2 Persen

LSI merilis temuan terbarunya terkait dinamika Pemilu 2024, salah satunya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi mengalami kenaikan, yakni 76,2 persen.

img_title
VIVA.co.id
18 April 2024