Blok Politik

Mega vs. SBY

VIVAnews - SELASA, 14 April 2009. Tenda putih berdiri tegak di halaman rumah. Hari itu laksana ada kondangan di kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Ada banyak kursi. Makanan terhidang di mana-mana.

Berpakaian necis, para elit partai banteng ketaton, seperti Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP Taufiq Kiemas, Sekretaris Jenderal Pramono Anung dan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Tjahjo Kumolo, bersiap menunggu tamu. Yang akan datang bukan tokoh sembarang. Mereka adalah para pemimpin partai politik yang bertarung dalam Pemilu 2009.

Sri Sultan Hamengkubuwono X, anggota Dewan Pembina Partai Golkar, adalah yang pertama muncul sekitar pukul 09.00 WIB. Menebar senyum dia langsung menghilang di balik pintu. Sekitar pukul 10.40, Sri Sultan keluar didampingi Megawati, Taufiq, dan Tjahjo. “Sultan bukan mewakili Golkar,” Pramono menjelaskan.

Setelah Sultan pulang, datang Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra. Dia didamping Ketua Umum PBB dan Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban. Alur kedatangan mereka seperti Sultan barusan.

Sejam berselang, hadir mantan Presiden Abdurrahman Wahid ditemani istri dan putrinya, Sinta Nuriyah dan Yenny Wahid. Berturut-turut setelah itu, datang sederet tokoh politik yang tak kalah menarik: Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto, lalu diikuti Rizal Ramli dan para pemimpin partai “nol koma”—partai yang perolehan suaranya pada pemilu lalu diperkirakan hanya nol koma sekian persen.  

Sekitar pukul 14.30 wib, para elit partai itu keluar menemui wartawan. Berbusana batik coklat, Mega duduk diapit Wiranto dan Prabowo. Kilat kamera berebut menyambar mereka. Maklum, ini pemandangan langka. Ketika Orde Baru berkuasa, Mega memimpin partainya melawan represi rezim Soeharto yang sempat kukuh dikawal Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo. Tak hanya itu, Wiranto dan Prabowo lama dikabarkan terlibat perang dingin. Kini, kata Wiranto dengan senyum mengembang, “Dia (Prabowo) saudara saya.”

Mega meminta Wiranto untuk berbicara mewakili kelompok politik yang kini dijuluki Blok Teuku Umar itu. Kepada wartawan, Wiranto mengatakan mereka sepakat untuk mempermasalahkan keabsahan Pemilu Legislatif 2009, khususnya tentang kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dalam pencontrengan lalu, banyak warga mengeluh tak bisa masuk ke bilik suara karena namanya tak ada dalam daftar.  

“Pemilu ini terburuk sepanjang sejarah reformasi, jauh dari jujur, adil, bermartabat dan demokratis,” kata bekas ajudan Soeharto itu. Blok Teuku Umar menuduh pemilu telah dicurangi dan mendesak KPU dan pemerintah untuk menegakkan hukum.

Toh, tak satu pun dari tokoh-tokoh itu yang bersedia mengakui koalisi telah terbentuk. "Kalau ini (persoalan DPT) sudah beres, baru kami bahas koalisi, soal calon presiden dan wakil presiden," kata Wiranto.  

Prabowo seia sekata dengan bekas seterunya itu. “Yang penting sekarang kami cocokkan nilai-nilainya dulu,” kata Prabowo. “Kami kumpulkan unsur merah putih.” Menarik untuk dicatat, di penghujung era Orde Baru, analis politik dan militer pernah mengelompokkan para jenderal ke dalam dua kelompok: merah-putih (nasionalis) dan hijau (Islam). Prabowo ketika itu kerap dimasukkan ke dalam kelompok yang kedua.

Untung ada Taufiq Kiemas yang bicara lugas. Pada Sabtu 11 April 2009, dia memastikan PDIP berkoalisi dengan Partai Hanura dan Partai Gerindra. “Sudah pasti bergabung,” katanya. Taufiq menyatakan mereka juga sedang berupaya menggandeng Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).



Usai Pemilu Legislatif pada 9 April lalu, kekuatan-kekuatan politik mulai gencar bermanuver menyusun koalisi. Menyongsong pemilihan presiden mendatang yang kemungkinan besar akan menghadap-hadapkan dua kandidat terkuat, SBY dan Megawati, PDIP memang perlu bergegas merapatkan barisan.

Menurut hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, Demokrat menempati urutan pertama dengan perolehan suara 20 persen lebih. Sedangkan suara PDIP tergerus menjadi 14 persen saja, setara dengan Golkar.

Hasil sementara tabulasi KPU hingga 18 April 2009 pun menunjukkan gejala serupa. PDIP belum beranjak dari angka 14,3 persen. Masih di bawah Demokrat yang 20,3 persen, bahkan telah dilampaui Partai Golkar dengan 14,6 persen suara.  

Di atas kertas, jika katakanlah PDIP berhasil merangkul Gerindra, Hanura,  dan sejumlah partai papan bawah lain, fondasi Blok Teuku Umar diperkirakan hanya akan ditopang tak lebih dari sekitar 40 persen suara pemilu legislatif. Perkembangan terakhir menunjukkan, Golkar dan tiga partai papan-tengah seperti PKS, PKB, dan PPP sedang dengan penuh hasrat melirik bakal pemenang pemilu legislatif, Partai Demokrat.

Sudah begitu, perlu dicatat bahwa agregat suara partai-partai pada pemilu legislatif besar kemungkinan tak akan sejalan dengan peta suara di pemilihan presiden pada 8 Juli mendatang—yang akan lebih bertumpu pada figur kandidat ketimbang preferensi partai.

Jajak pendapat yang digelar empat lembaga terkemuka sekaligus—CSIS, LIPI, LP3ES, dan Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia—pada Februari 2009, misalnya, memprediksi pada pemilihan presiden, SBY akan meraih 46 persen suara, sementara Mega yang berada di posisi kedua hanya akan didukung 17 persen pemilih.  

Lebih parah lagi, pada pemilu presiden, PDIP ternyata akan punya masalah dengan loyalitas pemilihnya. Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil exit-poll LSI, pemilih PDIP yang menyatakan akan mencentang Mega sebagai presiden hanyalah 65 persen. Sisanya menyebar ke calon partai lain, khususnya menyeberang ke SBY. Hubungan paling solid ditemukan pada pemilih Demokrat. Sebanyak 86 persen pemilih Demokrat menyatakan akan mencontreng SBY.  



Senin 13 April 2009, sehari sebelum pertemuan Blok Teuku Umar. Sebuah kabar menarik beredar di kalangan elit dan wartawan politik.

Setelah sekian lama tak berhadapan muka, SBY akan bertemu Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Golkar. Disebutkan, pertemuan akan berlangsung di kediaman SBY di Puri Cikeas Indah, Bogor. Iring-iringan pengamanan presiden telah mulai bergerak pukul 17.15 WIB meninggalkan Istana menuju Cikeas. Tapi hingga pukul 19.00 WIB, pertemuan tak kunjung berlangsung.

Berselang tiga jam kemudian, sebuah Mercedes Benz S-500 bernomor polisi B 8293 FO muncul di Cikeas. Dikawal empat mobil, sedan itu memasuki halaman rumah SBY. Dari dalamnya keluar JK. Dia langsung masuk ke dalam rumah. JK sendirian, tanpa didampingi petinggi Golkar. SBY bersama Ketua DPP Partai Demokrat Andi Mallarangeng. Pertemuan hanya berlangsung sebentar, tak lebih dari 30 menit.

Rupanya dialog berlangsung buntu. Kabar bahwa pada pertemuan itu akan kembali disepakati duet SBY-JK pada pemilu presiden mendatang, tampaknya tak berakhir dengan happy ending. Indikasi itu terungkap keesokan harinya. Sebelum memimpin sidang paripurna yang dihadiri seluruh anggota kabinet, sembari berjalan dari Istana Negara menuju Kantor Presiden, SBY menjelaskan kepada wartawan bahwa pada pertemuan itu “tak ada yang luar biasa.”  

Yang menarik, meski status duet SBY-JK jadi kian tak jelas nasibnya, Golkar justru mulai menegaskan hasratnya untuk masuk ke dalam koalisi yang dipimpin Demokrat.

Empat hari setelah pertemuan di Cikeas itu, pada 17 April 2009 berlangsung rapat pleno DPP Golkar di Slipi, Jakarta Barat. Di sini, beberapa pemimpin daerah Golkar memutar haluan 180 derajat. Semula menyatakan ingin mengusung calon presiden sendiri, kini mereka ramai-ramai mengusulkan koalisi Golkar-Demokrat.  "Ya, benar kami usul begitu,” Ketua DPD Golkar Gorontalo Fadel Muhammad menegaskan.

Tak cuma itu, Golkar yang terseok-seok dengan perolehan suara sekitar 14-15 persen pada pemilu legislatif tampaknya tak akan lagi mengusung calonnya sendiri pada pemilu presiden. Petinggi Partai Beringin kini bahkan sudah menyusun daftar calon wakil presiden mereka untuk mendampingi SBY. Mereka adalah: Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, dan Surya Paloh. Di kalangan amat terbatas telah beredar kabar, sebuah “kejutan besar” akan muncul tak lama lagi.

Lebih jauh, Ketua DPP Golkar Priyo Budi Santoso kini bahkan mengimbau agar Demokrat menggandeng partai lain selain Golkar. Ia menyebut PKS, PAN dan PKB. "Untuk membentuk dream team lima tahun ke depan," katanya penuh semangat.  

Perkembangan terakhir menunjukkan Demokrat sedang serius menggodok koalisi bersama empat partai, yakni: Golkar, PKS, PPP, dan PKB. Jika ini terjadi, mengacu pada hasil berbagai quick count, di atas kertas Blok Cikeas sudah akan menguasai sekitar 53-54 persen suara pemilu legislatif. Belum lagi kalau PAN dengan perolehan sekitar 6 persen suara ikut masuk barisan. “Semua sedang kami jajaki,” kata Wakil Ketua Umum Demokrat, Achmad Mubarok.

Menurut salah satu ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, fenomena koalisi sudah terjadi di tingkat rakyat. Ia merujuk pada hasil exit poll LSI yang menemukan ada banyak pendukung partai di luar Demokrat yang menyatakan akan memilih SBY sebagai presiden ketimbang ketua umum partai pilihan mereka. Ia menyitir data: 45,1 persen pemilih Golkar menginginkan SBY sebagai presiden. Adapun Kalla ternyata hanya didukung 22,2 persen pemilih Golkar. Pendukung PKS yang memilih SBY bahkan mencapai 65,7 persen, sedangkan PKB 55,3 persen dan PPP 53,7 persen.  Karena itu, masih kata Anas, “Koalisi politik di tingkat elit bisa jadi akan berlangsung paralel.”

Tak Sidang, Besok MK Cuma Terima Kesimpulan dari Para Pihak Sengketa Pilpres
Ilustrasi kantung jenazah

Mayat Perempuan Ditemukan di Dermaga Pulau Pari, Kondisi Wajah Hancur

"Terdapat anting di telinga kanan kiri berwarna kuning bermotif kupu-kupu. Terdapat kalung dan liontin berwarna kuning bermotif kupu- kupu (di mayat perempuan tersebut)."

img_title
VIVA.co.id
15 April 2024