Gugatan Terhadap Legitimasi Pemilu

VIVAnews - Tahapan Pemilu legislatif di Indonesia yang sedang berjalan memasuki babak baru yang semakin rumit dan semakin panas. Adanya eforia demokrasi di Indonesia saat ini tampaknya setiap orang mempunyai hak bersuara untuk menggugat Pemilu.

MK Juga Surati KPU dan Bawaslu, Bakal Bacakan Dua Putusan

Setiap orang dengan mudahnya mengatakan Pemilu sangat curang. Sementara pihak lain seakan tanpa beban mengatakan bahwa KPU memihak pemerintah. Tanpa data yang akurat setiap kelompok begitu mudahnya mengatakan bahwa ini adalah Pemilu yang paling buruk di Indonesia. Tanpa fakta yang jelas dengan entengnya sebuah partai mengatakan bahwa pemilu saat ini tidak berlegimitasi.

Bahkan saat ini setiap hari media berlomba-lomba mengupas tuntas setiap kelemahan pemilu sekecil apapun untuk diangkat dalam “headlines news”. Benarkah Pemilu legislatif di Indonesia paling buruk dan berlegimitasi paling parah ? Bagaimana dampaknya bagi bangsa dan negara ini bila fenomena ini berlangsung terus menerus tidak terkendali ?

Kantongi Surat Tugas Maju Pilgub, Bobby Nasution: Tak Perlu Daftar Lagi ke Golkar Sumut

Memang harus diakui bersama Pemilu kali ini adalah termasuk pemilu yang paling besar dan mungkin paling rumit di dunia. Faktor kesulitan yang dihadapi di Indonesia adalah jumlah pemilih yang demikian besar, keadaan geografis yang relatif luas dan sulit terjangkau, administrasi kependudukan yang belum tertib dan keadaan sosial, ekonomi dan pendidikan sebagian besar masih belum terlalu tinggi.

Beban ini ditambah lagi dengan prosedur pemilihan yang relatif sulit karena banyak peserta pemilu yang diperumit dengan suara perolehan anggota legislatif terbanyak. Sehingga setiap surat suara pemilih akan berbeda dengan tempat lainnya.

Bea Cukai dan Bareskrim Polri Jalin Sinergi Gagalkan Peredaran Narkotika di Tangerang dan Aceh

Dalam hal jumlah pemilih termasuk fantastik, komisi Pemilihan Umum menetapkan jumlah pemilih untuk Pemilu 2009 sebesar 171.068.667 orang bandingkan jumlah pemilu 2004 sekitar 124 juta orang. Dengan berbagai faktor kesulitan itu, siapapun yang menjadi KPU tidak akan lepas dari cercaan dan makian berbagai pihak karena kerja yang sangat berat, luas dan banyak tersebut.

Pelanggaran yang terjadi hingga tanggal 11 April 2009 batas akhir laporan pengaduan pemilu, Bawaslu menerima 549 laporan dan informasi, pelanggaran pidana maupun pelanggaran administrasi yang terjadi di 33 provinsi.

Dari laporan yang masuk, pelanggaran terbanyak berupa pelanggaran administrasi 363 laporan, pelanggaran pidana 75 laporan, dan pelanggaran lain- lain 111 laporan. Pelanggaran terkait DPT bermasalah mencapai angka paling tinggi sejak hari-H pemilu, yakni 45 dari 154 kasus.

Bahkan angka ini masih jauh bila dibandingkan data laporan akhir Badan Pengawas Pemilu, pada pemilu 2004 terjadi 1.597 pelanggaran administrasi dan 594 pelanggaran pidana. Demikian banyak variabel yang berpengaruh dalam suatu Pemilu sangat sulit untuk menentukan kualitasnya.

Pemilu sebelumnya tidak bisa dibandingkan dengan mudahnya dengan Pemilu sekarang. Baik karena faktor banyaknya pemilih, peserta pemilu atau sistem perolehan suara terbanyak adalah hal baru yang menjadi beban kesulitan pemilu saat ini.

Permasalahan ini akan diperumit lagi dengan adanya eforia demokrasi di Indonesia dan kemajuan teknologi informasi di Indonesia. Dengan kemajuan tehnologi informasi yang sangat pesat, semua media mempunyai biro khusus yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.

Sangatlah wajar momen yang demikian besar ini dimanfaatkan berlebihan untuk kepentingan media yang harus berkompetisi sebagai televisi pemilu atau media pemilu paling handal. Apalagi kompetisi pemilu yang demikian besar ini akan membentuk kelompok yang kalah dan menang.

Pihak kalah adalah menjadi wajar karena pengorbanan yang demikian besar dalam dana dan tenaga akan menjadi kelompok “bad losser”. Dengan berbagai latar belakang seperti itu mungkin saat ini di ibaratkan suara jarum jatuh pun di ujung negeri dapat diketahui segera oleh seluruh masyarakat tanah air.

Bisa saja suara jarum jatuh bisa menjadi suara bom yang menggelegar di seluruh penjuru tanah air. Dahulu mungkin saja kecurangan besar akan mudah tertutupi. Saat ini sepertinya tampaknya semua orang bisa saja bicara kecurigaan kecurangan pemilu dengan kebablasan tanpa fakta dan data yang jelas.

Hanya dengan bukti segelintir semua pihak dapat dengan mudahnya menyimpulkan sesuatu yang besar dan penting. Legitimasi pemilu Tampaknya untuk menilai kualitas dan legitimasi Pemilu yang demikian besar dan rumit tidak semudah membalikkan tangan.

Untuk menilai legitimasi pemilu akan menjadi sesuatu yang kontroversial bila dipandang dari berbagai kepentingan yang berbeda. Persoalan DPT, surat suara yang nyasar, keberpihakan KPU pada pemerintah dan berbagai kecurigaan. Kecurangan lainnya harus diselesaikan secara proposional dan tepat.

Tetapi bila diduga terjadi kecurangan yang masif dan berat mungkin bisa saja diajukan dalam jalur hukum yang tersedia. Saksi dan partai politik dapat mengadukan melalui panwaslu atau bawaslu kecamatan, kabupaten dan propinsi. Berbagai putusan tentang gugatan pemilu semuanya diputuskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sejatinya, setiap perkara yang memperkarakan keputusan yang dibuat oleh pejabat negara atau pihak yang melaksanakan urusan pemerintahan diselesaikan di PTUN. KPU selaku pejabat Negara ketika mengeluarkan keputusan, maka memiliki peluang untuk digugat oleh individu atau badan hukum perdata.

Hanya ada satu keputusan KPU yang tidak bisa digugat oleh melalui PTUN adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum (UU no 9 tahun 2004 pasal 2 angka 7).

Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN.

Bila hal ini masih belum dapat diselesaikan dapat diajukan pada Mahkamah Konstitusi. Tampaknya hanya dengan 549 laporan bawaslu atau tambahan laporan dari pihak lain tampaknya masih sangat jauh untuk menggugat legitimasi sebuah pemilu.

Bila pelanggaran tersebut bukan sesuatu yang masif dan menyeluruh mungkin saja tidak akan mengusik legitimasi sebuah pemilu. Mungkin berbagai pelanggaran adalah sebuah hal yang harus dilalui karena faktor kesulitan pemilu yang demikian rumit dan besar ini.

Tetapi semua pihak juga harus sepakat bahwa sekecil apapun pelanggaran tersebut adalah sebuah hak politik untuk dapat diajukan pada jalur hukum. Gugatan terhadap legitimasi Pemilu yang berlebihan dan tidak berdasarkan fakta dan bukti hukum yang jelas akan menimbulkan permasalahan baru.

Pertentangan keabsahan pemilu akan menimbulkan gejolak politik dan sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempertaruhkan keamanan dan integritas bangsa. Hal ini akan semakin rawan karena korban kompetisi pemilu termasuk partai politik dan caleg yang gagal akan berpotensi sebagai “bad losser”.

Oknum inilah yang demikian mudah menggerakkan masa yang tidak mengerti permasalahan untuk membuat konfrontasi baru yang memperparah situasi. Dengan pertaruhan kepentingan bangsa yang lebih besar semua pihak harus lebih bijak dan rasional dalam berucap dan bertindak.

Demi kepentingan yang lebih besar mungkin kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah gagal dalam pertaruhan harus bisa dikorbankan. Saat ini banyak mata dan telinga masyarakat cukup cerdas untuk membedakan suara yang benar dan ucapan yang tidak rasional.

Tetapi juga tidak sedikit masyarakat yang masih belum “melek politik”. Jangan sampai kelompok ini terhasut hanya karena ucapan pemilu tidak legitimasi karena berdasarkan fakta dan bukti yang tidak banyak dan tidak jelas.

Apapun persoalan itu semua akan menjadi hikmah bagi KPU dan seluruh lapisan masyarakat untuk perbaikan dalam Pilpres berikutnya. Semua pihak tidak terkecuali bila berucap harus ada isi dan bukti, meski ini negeri demokrasi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya