Menikmati "Kembali" Indonesia (Bagian I)

Nostalgia di Cikini

VIVAnews - Kembali ke Indonesia setelah sekian puluh tahun bermukim di negeri orang, adalah suatu kemewahan tersendiri untuk saya, Widodo Suwardjo.

Saya meninggalkan Indonesia pada tanggal 13 Oktober 1960 untuk tugas belajar ikatan dinas di Rusia atas beasiswa pemerintah Indonesia pada masa Soekarno. Sebelumnya pada tahun 1959, saya sempat berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta jurusan Teknik Sipil. Sampai kemudian ada tawaran untuk menimba ilmu metalurgi di Rusia yang kemudian membuat saya berangkat meninggalkan tanah air.

Pada tahun-tahun terakhir masa studi, terjadilah peristiwa G 30 S. Peristiwa 30 September 1965 ini telah merubah hidup saya secara drastis. Semua rencana yang sudah disusun matang pun buyar. Bahkan saya harus kehilangan status sebagai warga negara Indonesia karena paspor bernomor 38350 A atas nama Widodo Suwardjo yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 27 September 1960, dinyatakan tidak berlaku lagi sejak akhir tahun 1966.

Saya beserta rekan-rekan senasib pun harus “kelayaban” selama puluhan tahun di negeri orang, karena kami tak bisa kembali ke tanah air yang kami cintai.

Saya pun terdampar di Havana, Kuba yang menjadi rumah saya selama lebih dari 40 tahun. Ilmu metalurgi yang saya timba di Institut Metalurgi Baja di Moskow, berhasil saya lanjutkan hingga jenjang S3 atas dukungan pemerintah Kuba, tempat saya mengabdikan ilmu saya.

Pada tahun 2001, ketika Presiden Gus Dur berkunjung ke Havana Kuba, saya sempat mendapatkan izin berkunjung selama 3 bulan ke Indonesia. Tahun 2006 ketika Presiden SBY berkunjung ke Havana untuk menghadiri KTT Non Blok, saya kembali mendapat kesempatan untuk memperjuangkan status kewarganegaraan saya. Akhirnya atas prakarsa banyak pihak, bertepatan HUT RI ke-62, saya mendapatkan kembali paspor Indonesia saya.

Setelah satu tahun lebih kembali menjadi  WNI, baru kali ini saya bisa menggunakan paspor baru ini. Maklum untuk berkunjung ke Indonesia, harga tiket dari Havana tidaklah murah. Atas bantuan seorang hamba Allah yang tak mau disebut namanya, saya bisa melepas rindu dengan keluarga dan sahabat-sahabat di tanah air.

Dalam kunjungan kangen-kangenan saya ini, salah satu agenda saya adalah bertemu dengan keluarga Bu Dina Martina, diplomat Deplu RI yang baru saja menyelesaikan tugasnya di KBRI Havana.

Pertemuan diagendakan di Restoran Menado Ny.Filly yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki, di daerah Cikini. Janji bertemu jam 1 siang, saya sudah tiba sejam lebih awal.Maklumlah, karena Jakarta adalah salah satu ibukota didunia yang terkenal macet.

Di sepanjang jalan, kendaraan bermotor yang membludak seperti semut berhenti berderet-deret, atau hanya berjalan pelan semeter demi semeter. Belum itu para pengendara motor yang menyerobot ruang-ruang sempit, yang tidak jarang menyerempet mobil mengkilat hingga jadi masalah antara pengemudi.

Oleh karena itu bila mau kencan di Jakarta harus memperhitungkan fenomena macet ini walaupun perginya naik taxi  Blue Bird maupun  mobil mewah, lebih lebih pakai angkutan kota. Bila mau cepat ya naik ojek saja, seperti yang pernah diperbuat oleh Presiden SBY, yang minta dibonceng oleh pengawalnya naik motor supaya tepat waktu dalam menghadiri suatu acara, seperti yang saya baca dalam buku karya Dr.Dino Patti Djalal berjudul Harus Bisa. Memang presiden kita ini bisa dijadikan teladan dalam soal disiplin waktu.

Karena TIM ini terletak di Jl.Cikini Raya, maka kelonggaran waktu kencan ini saya gunakan untuk “napak tilas’, menjelajah sepanjang jalan Cikini. Pada tahun 1955/1956 saya sekolah di SMP APPI (Angkatan Pemuda Pembangun Indonesia) di Jl Cikini ini, diseberang jalan setelah lewat jalan R.Saleh.

Di gedung sekolah saya ini pada pagi harinya merupakan Sekolah Rakyat Cikini , dimana waktu itu  salah satu muridnya adalah  Megawati, putri Presiden RI. Saya ingat waktu pagi dia selalu diantar oleh mobil tua dan siang hari dijemput. Pada waktu itu saya cukup bahagia dengan sepeda merek “Hima” saja.

OJK Reveals Tips to Manage Finance for Housewife

Pada suatu sore saya pernah mendengar (rumahku di Kramat) ledakan granat  yang dilemparkan kesekolah itu dalam rangka pembunuhan atas diri Presiden Sukarno, yang waktu itu sedang menghadiri pertemuan orang tua murid. Presiden selamat, tapi banyak yang luka-luka dan segera dilarikan ke RSUP.

Disamping kenangan yang dramatis itu juga ada kenangan yang indah yaitu saat kami murid-murid SMP kelas dua foto bersama dibawah pohon kemuning di depan sekolah.

Semuanya masih berwajah kanak kanak, tapi mereka nampak bergairah dan beraut muka optimis. Diantara teman temanku itu kabarnya sekarang (walau pensiunan) telah menjadi Jendral (Tedy Rusdi) dan menjadi dokter kulit yang kondang (Mulyoto).  Dan disitu berfoto juga murid putri berwajah ayu Widari Suwahyo, yang kini telah berbahagia dengan 4 cucunya..

Prabowo Sowan ke PKB, Disambut Pakai Karpet Merah

Tak terasa waktu kulihat jam sudah menunjuk 12.40 WIB, terpaksa memutus renungan masa lalu dan segra kembali ke TIM untuk memenuhi jam kencan. Jam satu tepat saya sampai di “Ny.Filly”, tapi para pengundang belum pada datang. Mendering suara SMS, ternyata  Bu Dina masih dijalan karena macet. Lupakanlah fenomena macet ini agar tidak kena stress atau gangguan psikis.

Wuling Cloud EV di IIMS 2024

Konsumen Bisa Jajal Langsung Wuling Cloud EV di PEVS 2024

Pabrikan otomotif asal China, Wuling akan memeriahkan pameran PEVS 2024 dengan menampilkan lini kendaraan listrik, salah satunya Wuling Cloud EV.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024