Pengambilalihan Bank Century

Terjungkal Modus Lama

VIVAnews - KETEGANGAN merebak di ruang rapat lantai tiga, Departemen Keuangan, Lapangan Banteng, Jakarta, pada Jumat dini hari, 21 November. Di saat orang kebanyakan tidur lelap, para petinggi tim ekonomi keuangan negeri ini justru berdebat keras membahas nasib Bank Century. Di luar ruangan, pemegang saham pengendali Century, Robert Tantular, bersama sejumlah anggota direksi cemas menanti keputusan.

Nasib Century memang di tubir jurang. Bukan saja modalnya anjlok hingga minus 2,3 persen, tapi bank itu juga terus diserbu nasabah yang menarik dana simpanan. Kekeringan likuiditas tak terelakkan. Century terpaksa memohon fasilitas pendanaan jangka pendek Bank Indonesia (BI).

“Bank ini berdarah-darah,” kata Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Rudjito, yang mengikuti rapat. Jika tak disuntik dana dua triliun rupiah, bank dengan aset Rp 15,2 triliun itu bukan saja bakal kolaps. Kabar yang bertiup kencang ihwal penarikan dana dan kesulitan likuiditas bank, bisa membahayakan seluruh industri perbankan nasional.

Departemen Keuangan, BI dan LPS berpacu dengan waktu. Rapat dari Kamis malam hingga Jumat pagi dilakoni. Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur BI Boediono, dan jajaran pejabat terkait harus bertindak cepat sebelum kasus Century merembet.

“Karena berpotensi merembet secara sistemik, pemerintah akhirnya memutuskan mengambil alih Century,” ujar Menteri Sri Mulyani.

Pada Jumat pagi, pukul 9.00, bank sentral menggelar jumpa pers mendadak. Gubernur BI mengumumkan Century diambil alih oleh LPS yang mewakili pemerintah. Semua pengurus lama dicopot. Maryono, bankir andal dari Mandiri, ditunjuk memimpin bank ini.

Untuk membuktikan adanya dugaan unsur pidana di balik kasus ini, BI segera menggelar audit investigasi untuk menelusuri sumber petaka yang mengakibatkan Century masuk kategori bank gagal. Supaya tak kecolongan, BI langsung melaporkan pemilik dan manajemen Century ke polisi secara pidana, yang berujung pada penangkapan Robert Tantular, pada Rabu malam, 26 November 2008.

* * *

Ambruknya Century sesungguhnya adalah efek domino dari persoalan yang telah sejak lama membelit.

Bank ini kritis karena surat berharga senilai US$ 200 juta lebih yang semula dianggap lancar, ternyata macet sejak Oktober 2008.

Surya Paloh Sambut Baik PKS Jika Ikut Merapat ke Koalisi Prabowo-Gibran

Menurut Deputi Gubernur BI yang membidangi pengawasan bank, Siti Fadjrijah, masalah Century bermula di 2001. Saat itu, Bank Century (ketika itu masih bernama Bank CIC) mengadakan perjanjian tukar aset dengan First Gulf Asia Holdings Ltd, perusahaan pemegang saham pengendali CIC.

CIC lalu menyerahkan hak tagih kepada Bank Putera Multikarsa senilai Rp 142 miliar. Sebagai imbal balik, CIC menerima efek utang Republik Indonesia (ROI Loans) US$ 12 juta. Namun, BI menolak surat utang ini. CIC pun menggantinya dengan surat utang berperingkat rendah yang tak masuk dalam peringkat investasi.

Celaka, surat berperingkat rendah ini ternyata ada lebih banyak dari itu. Nilainya mencapai US$ 203 juta. Semua dalam bentuk valuta asing, seperti Medium Term Notes yang disimpan di berbagai bank di luar negeri.

Pada 2004, bergabung dengan Bank Danpac dan Pikko, CIC menjelma jadi Bank Century.

Berdasarkan Peraturan BI No 7/2/PBI/2005 tentang kualitas aset produktif pada Pasal 14, surat berharga dikategorikan macet jika tidak memiliki peringkat investasi. Agar bisa dikategorikan lancar, surat utang tersebut harus dijamin.

Karena itulah, pemegang saham Century yang menguasai surat-surat berharga tersebut kemudian meneken perjanjian dengan Bank Century. Mereka berjanji membereskan kewajiban, sekaligus memberi jaminan atas surat utang tersebut.

Pemegang saham yang dimaksud adalah Rafat Ali Erizfi dari Pakistan, Hesham Alwarraq dari Arab Saudi yang juga menjadi Komisaris Utama, serta Robert Tantular dari Indonesia.

Pada Oktober 2005, Century meneken perjanjian penjaminan aset dengan First Gulf Asia Holdings Ltd., yang merupakan pengendali Century. Dalam perjanjian ini, First Gulf menempatkan jaminan US$ 40 juta.

Empat bulan kemudian, Bank Century kembali membuat perjanjian pengelolaan aset dengan Telltop Holdings Ltd., Singapura, yang bertindak mewakili pemegang saham. Perjanjian itu menyangkut penyelesaian dan penjaminan surat utang US$ 203 juta. Telltop Holding menempatkan jaminan senilai US$ 220 juta di Dresdner Bank.

Berdasarkan perjanjian itu, menurut Fadjrijah, pemegang saham Century berjanji akan membayar secara bertahap mulai 2006 hingga 2009. Pada 2006 dan 2007, pembayaran masih lancar. Tapi, untuk surat utang yang jatuh tempo Oktober dan November 2008 mulai terjadi gagal bayar. Pemegang saham tak mampu menyelesaikan kewajiban mereka senilai US$ 56 juta.

Century pun sekarat. Tak mampu menyelesaikan kewajiban, kualitas surat berharga mereka langsung amblas ke kategori macet. Padahal, pemegang saham masih menguasai surat utang senilai US$ 140 juta atau Rp 1,6 triliun dengan kurs Rp 12.000 per US$.

Menurut Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad, karena kualitas surat utang yang memburuk itulah Century bukan saja tak memperoleh pendapatan bunga, tapi  juga harus menyiapkan dana pencadangan  100 persen. Buntutnya, modal bank terjun bebas hingga minus 2,3 persen.

* * *

Disebut Hard Gumay Bakal Berjodoh dengan Mayor Teddy, Fuji: Aneh Banget Sumpah!

Trik jamin-menjamin surat berharga bermutu rendah ini, menurut seorang mantan pemeriksa Bank Century, sesungguhnya bukan kali ini saja terjadi. Modus ini pula yang dimainkan ketika bank ini masih bernama CIC. “Saat itu, CIC sudah gemar bermain surat berharga,” ujarnya.

Mirip dengan kasus sekarang, menurut dia, surat berharga valas milik CIC dulu juga dijamin oleh deposito di bank negara. Namun, setelah diperiksa ternyata surat berharga itu bermasalah. Begitu pula dengan deposito yang dijadikan jaminan. Ketika dicek ke bank penerbit, deposito itu tak diakui keabsahannya.

Itulah salah satu sebab pada Maret-September 2002 CIC masuk pengawasan khusus BI. Saat itu, modalnya jatuh hingga minus 83 persen dan butuh suntikan modal hingga Rp 2,7 triliun. Kisah ini dikukuhkan dokumen hasil pemeriksaan BI terhadap Bank CIC tahun 2002 yang didapat VIVAnews.

Saat dimintai konfirmasi soal surat berharga itu, mantan Wakil Direktur Utama Century, Hamidy, enggan berkomentar. Ia hanya menekankan bahwa Robert Tantular bukanlah pemegang saham. “Sebaiknya, Anda tanya saja kepada manajemen baru,” ujarnya.

Sejumlah pejabat dan staf Century lain, seperti Nyoman yang merupakan tangan kanan Hamidy, juga menutup mulut. “Tanya saja Pak Djoko,” kata Nyoman. Dikontak VIVAnews, Kepala Divisi Treasury Century, Djoko Hertanto Indra, tak mengangkat teleponnya.   

Direktur Utama baru Century, Maryono, menekankan mereka akan menelusuri dan melakukan uji tuntas atas surat-surat berharga tersebut. “Kami baru akan mengambil langkah setelah uji tuntas tersebut,” ujarnya.

Namun, polisi tak mau menunggu audit. Laporan sementara pengawas BI cukup menjadi bukti untuk menjerat pemilik Robert Tantular dan Hermanus Muslim, mantan Direktur Utama Century.

Mereka dibidik dengan UU Perbankan No. 10/1998, sebagai pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak mengambil langkah yang memadai untuk memastikan ketaatan bank. Juga, bahwa pemegang saham dengan sengaja memerintahkan manajemen dan pegawai bank melakukan tindakan-tindakan yang melabrak ketentuan.

Selasa sore, 25 November 2008, di kantornya di kawasan Senayan, Jakarta, Robert Tantular hanya berpasrah diri saat polisi datang memborgolnya. Di sel tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, bankir lihai ini tinggal menerka-nerka ancaman hukuman yang menantinya: 7–15 tahun penjara plus denda Rp 10–200 miliar.

* * *

Ilustrasi keamanan siber.

Jika Lolos Tes Ini, Keamanan Siber Bank di Indonesia Sudah Tangguh

Empat dari sepuluh bank terbesar di Indonesia menaruh kepercayaan kepada Spentera perihal keamanan siber.

img_title
VIVA.co.id
27 April 2024