Zainal Arifin Mochtar

Dana Siluman Pemilu

VIVAnews - Pemilihan Umum 2009 tinggal menghitung hari. Aliran dana kampanye dan dana pemilihan umum mulai berseliweran di panggung politik legislatif dan presiden. Persoalannya, bagaimana aparat penegak hukum menertibkan ‘dana siluman’ pemilu?

Sejauh ini, boleh dikatakan lembaga-lembaga yang terkait dalam pemilu  tidak siap. Contoh paling dekat dari proses pemilu adalah pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Konsolidasi Bawaslu kita di daerah  belum  terjadi. Bahkan, di banyak daerah, Bawaslu  belum terbentuk. Padahal pemilu tinggal menghitung hari. Kampanye pasif pun sudah bermula.
 
Semestinya, jaringan pengaman pertama pemilu dari tindakan koruptif berasal dari pengawasan proses pemilu. Untuk menegakkan hukum secara benar, Bawaslu harus kuat dulu. Pertanyaannya sekarang, bagaimana  mau menegakkan hukum jika Bawaslu di beberapa daerah belum  ada. Bukankah kampanye juga sampai ke daerah?

Gus Miftah Curiga Jokowi Pilih Bahlil Lahadalia Jadi Menteri Karena Lucu, Bukan Prestasi

 

Untuk Pemilu 2009, hampir dipastikan masih akan diwarnai dengan aliran-aliran dana siluman seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Malah akan semakin menggila. Mengapa? Sebab, putusan Mahkamah Konstitusi soal pemilihan calon legislatif dengan cara suara terbanyak, akan memaksa para calon melakukan cara apa pun untuk mengiklankan diri mereka. Termasuk melalui politik uang (money politics).

Jika dulu money politics mayoritas beredar di partai politik --karena jualan nomor jadi dengan sistem nomor urut--  maka sekarang money politics itu terjadi pada individu calon. Ini bukan berarti putusan Mahkamah itu salah. Mekanisme pengawasan justru harus diperketat di areal individu-individu, yaitu calon legislatif dan calon presiden itu.
 
Kini, calon yang berada pada nomor urut 50, jika ada, masih punya kesempatan jadi anggota legislatif asal banyak pemilihnya. Mengawasi politik uang calon-calon seperti ini, apa boleh buat, bukan main sulitnya.
 
Ini artinya, tantangan pengawasan pemilu, sebagai jaring pengaman, semakin berat  di pemilu  2009. Masalahnya, bagaimana kita mau berharap pada petugas pemilu dan pengawas di kecamatan yang  honornya cuma Rp 300-400 ribu. Misalnya, ada calon yang memberi uang supaya dia membuang suara lawan, “Buang kertas suara itu ke sungai, nih saya kasih uang 10 juta.” 

Advokat Arif Edison Divonis 1 Tahun Penjara, Ini Tanggapan Jhon LBF dan Machi Achmad.

Rasa-rasanya, mereka tidak akan tahan pada godaan itu.  Tapi, di sinilah dilemanya. Kalau honor mereka dinaikkan, kasihan juga anggaran negara. APBN bakal membengkak.
 
Karenanya, untuk mengantisipasi aliran-aliran dana siluman itu, harus ada koordinasi antara instansi yang terlibat dalam pemilihan umum. Semisal  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga ini sebenarnya memiliki kewenangan luar biasa dalam mengawasi transaksi keuangan. Tapi kendalanya, PPATK harus minta izin dulu ke Bank Indonesia untuk mengetahui isi transaksi itu. 

Koordinasi kedua lembaga ini, Bawaslu dan PPATK dengan penegak hukum, karenanya juga penting agar aliran-aliran dana yang mencurigakan bisa langsung diusut.

Masalahnya, saat pemilu kurang tiga bulan ini, belum terlihat komitmen koordinasi ini. Apalagi selama ini yang kita lihat laporan dari PPATK jarang ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Mungkin karena data substansi transaksinya belum lengkap.

Kalau mau serius,  semua lembaga itu harus duduk bersama. Membicarakan, menganalisa dan merancang, apa yang bisa dilakukan untuk menutup lubang-lubang ini. 
 
Lembaga itu adalah Bank Indonesia,  PPATK, Departemen Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, dan polisi.

Viral Curhat Penumpang Dipaksa Transfer Uang Rp100 Juta oleh Driver Taksi Online

Persoalan lain, pelaku-pelaku koruptif itu tak  hanya berada  di lapangan saja. Pengawasan terhadap panitia pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga penting.

Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan semestinya bisa lebih  tegas mengawasi KPU. Jangan sampai dikatakan negara kita tidak pernah belajar dari masa lalu.
 
Pada pemilu 1999, misalnya, ada  nama Clara Sitompul yang terkena kasus korupsi pengadaan. Pemilu 2004, pelaku korupsi di KPU juga tak berkurang, malah makin banyak. Ada nama Mulyana W. Kusumah, Nazaruddin Syamsuddin, Daan Dimara, dan lainnya.

Bagaimana dengan Pemilu 2009? Harapannya tentu saja: jangan sampai ada lagi!
 
Disarikan dari wawancara Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya