Gugatan UU Pemilu

Penerapan Ambang Batas Bagi Partai Diperlukan

VIVAnews – Mahkamah Konstitusi mendengar keterangan saksi ahli gugatan uji materiil Undang-undang Pemilihan yang dihadirkan pemerintah, Rabu 4 Pebruari 2009. Dua saksi yang dihadirkan adalah Lili Romli, pengamat politik, dan Zudan Arifaturullah, ahli hukum administrasi negara.

Waspada! DBD di Indonesia Melonjak Hampir 3 Kali Lipat pada Kuartal I 2024

Di persindangan, Lili mengatakan sistem multi partai belum dapat memberi dukungan pada sistem pemerintah yang dianut Indonesia, yaitu presidensial.

Kata Romli, agar sistem presidensial dan sistem kepartaian sesuai, maka memerlukan penyederhanaan dengan sistem distrik. Akan tetapi, kata Romli, itu juga belum realistis bila diterapkan di Indonesia.

Gak Betah Jadi Duda, Anwar Fuady Bakal Nikah Lagi di Umur 77 Tahun

Maka, kata Romli, yang paling realistis untuk menyerasikan antara sistem presidensial dan sistem kepartaian adalah menerapkan parliamentary threshold (ambang batas). Tujuannya menyederhanakan partai. “Mengingat multi partai tidak efektif untuk mesujudkan sistem presidensial,” kata dia.

Zudan mengatakan tidak terdapat unsusr diskriminasi seperti yang dipersoalkan partai dalam penerapan parliamentary threshold. Menurut dia, semua partai berada dalam posisi yang setara. Norma ini, kata Zudan, diterapkan sebelum pemilu dilaksanakan. Dan itu diterapkan di dalam partai politik.

Koalisi Perubahan Selesai, Surya Paloh Tetap Ingin Bina Hubungan Baik Dengan PKS

“Partai politik bisa besar dan kecil, baru bisa ditentukan pelaksanana pemilu,” kata dia.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia merupakan kuasa hukum 11 partai yang mengajukan uji materiil beberapa pasal di UU Pemilu. Di antaranya Pasal 202 yang mengatur partai dapat duduk memiliki wakil di parlemen bila meraih suara minimum 2,5 persen secara nasional di pemilihan legislatif (parliamentary threshold).

Selain itu memperkarakan pasal-pasal turunan 202 itu, yakni Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 yang juga mengatur penetapan perolehan kursi dan calon terpilih.

Pasal-pasal itu dinilai menghambat partai politik memiliki wakil di parlemen.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya